Tak ada terik pada siang itu-sebuah hari dalam musim gugur, September 1921. Angin dingin menelusup lewat sela-sela kancing jas seorang pemuda yang berdiri dengan pikiran berkecamuk di satu sudut Rotterdam. Pemuda berusia 19 tahun itu bernama Mohammad Hatta. Sebagai mahasiswa baru di Rotterdamse Handelshogeschool-sebuah sekolah ekonomi bergengsi-ia mesti membeli sejumlah buku. Tapi dana beasiswa belum diterimanya. Uang saku yang dibawanya dari kampung tak seberapa. Baru sepekan dia tiba di Belanda-negeri yang 8.000 mil, dari Bukit Tinggi, tempat ia lahir dan dibesarkan. Tanpa uang di saku, ia mendekati rak buku besar di De Westerboekhandel, sebuah toko buku tua di kota itu. Ia mengambil Hartley Withers, Schar, dan beberapa buku karangan T.M.C. Asser. Ia tak tahu dengan apa semua buku itu harus dibayar. Beruntung, pemilik toko buku itu tahu bagaimana harus bersikap pada mahasiswa miskin dari Dunia Ketiga.
Dalam buku Mohammad Hatta Memoir, Bung Hatta menulis, "Dengan De Westerboekhandel aku adakan perjanjian bahwa buku-buku itu kuangsur pembayarannya tiap bulan f 10. Aku diizinkan memesan buku itu terus sampai jumlah semuanya tak lebih dari f 150". Toko buku itu nyaris sudah pupus pada musim panas tahun ini. "Apa? De Westerboekhandel? Teruslah berjalan sampai bertemu Albert Heijn. Di dekat-dekat situlah," kata perempuan muda yang funky itu setengah berteriak. Rambutnya dicat hijau, alisnya dicukur habis, diwarnai dengan pensil kebiruan. Ia mengenakan banyak piercing-anting-anting yang dicocokkan dari bibir hingga lubang hidung. Dia bekerja di sebuah kedai kopi yang juga menjual daun ganja. Secangkir kopi panas mengepulkan asap, menebarkan aroma yang sedap. Bau ganja menyengat hidung. Inilah Rotterdam 2002. Di Nieuwe Binnenweg di Rotterdam barat tempat kafe itu berada, berjejer bangunan aneka rupa. Ada rumah tinggal, kafe, kedai sayur milik orang Turki serta Maroko. Di sebelahnya terdapat toko audiovisual, salon, pusat kesehatan Cina, restoran India, gereja, toko kayu, dan toko barang antik. Di tengahnya terdapat jalur trem yang lalu lintasnya padat. Cuaca panas bulan Juni meruapkan hawa yang pengap. Dan Rotterdam bersimbah cahaya berlimpah-limpah dari matahari yang seakan cuma sejengkal dari kepala. Orang ramai. Perempuan berjalan kaki dengan gaun berkait seutas tali di pundak. Bayangan tubuh mereka terpantul pada tembok-tembok kaca. Albert Heijn, toko yang ditunjuk perempuan itu, adalah sebuah supermarket besar. Tapi tak ada toko buku tua bersejarah itu. "Westerboekhandel? Tuh, di sebelah," kata lelaki setengah baya yang bekerja di sebuah toko kayu tak jauh dari Albert Heijn. "Tapi toko itu sudah tutup satu bulan yang lalu," katanya. Sebagai gantinya, tegaklah sebuah kafe internet. Interiornya telah dirombak. "Kami menyesuaikannya dengan keperluan bisnis kami," kata satu karyawan kafe itu. Tapi bangunan luarnya tak berubah. Pintu masuk terletak di sebelah kiri, agak menjorok ke arah jalan terletak dua jendela besar. Langit-langitnya tak terlalu tinggi sehingga tak banyak cahaya masuk. Hangat tubuh Hatta seakan terasa masih ada di sana. Rotterdam, seperti juga banyak kota di Eropa, sebetulnya sebuah negeri yang tak banyak berubah. Nama jalan, susunan rumah, pasar, dan sekolah, jika tak hancur karena perang, umumnya masih ada hingga kini. Dan Hatta menghabiskan sebagian hidupnya di negeri yang tak berubah itu.
Di sana ia mendapat gelar doktor ekonomi dan menggembleng dirinya sebagai aktivis gerakan. Ia menjadi Ketua Indonesische Vereeniging dan sempat lima setengah bulan dipenjara karena dituduh menentang pemerintah kolonial. Berkeliling Eropa-selain menelusuri Belanda-Hatta telah merasakan jauhnya hidup di rantau sejak usia belasan. Dia tiba di negeri itu 5 September 1921 dengan menumpang kapal Tambora milik Rotterdamse Lloyd, yang memasuki Eropa melalui Marseille, Prancis. Kapal uap itu merapat di Nieuwe Waterweg, sebuah pelabuhan di Rotterdam. "Ketika sampai, kulihat banyak penumpang yang bingung, banyak yang gugup. Apakah ini pembawaan kaum Indo Belanda, bimbang kalau menghadapi suasana baru," tulis Hatta dalam bukunya. Di Rotterdam, mula-mula ia meng-inap di rumah seorang kenalan. Setelah itu-seperti juga pelajar inlander lainnya-ia menetap sementara di Tehuis van Indische Studenten, sebuah asrama khusus bagi mahasiswa Hindia Belanda yang terletak di Jalan Prins Mauritsplein. Ini sebuah asrama supermurah. Sewa per hari plus tiga kali makan hanya f 3 (sekarang sekitar Rp 3.000). "Pada Minggu tengah hari kami mendapat jatah nasi goreng, sedangkan pagi dan malam makan roti seperti orang Belanda," tutur Hatta. Asrama itu dikelola Van Overeem, se-orang perempuan yang pernah menjadi guru di Hindia Belanda. Atasan Van Overeem adalah dua orang direktur yang juga pensiunan guru di Indonesia. Keduanya bertanggung jawab terhadap Minister van Kolonien, semacam menteri untuk tanah jajahan. Sejarawan Belanda Harry Poeze mencatat asrama ini-sebuah bangunan besar dan megah-dibuka pemerintah Belanda pada 15 Maret 1921.
Di dalamnya ada ruang makan yang menampung 15-20 orang, ruang rapat yang luas, dan kamar tidur untuk 15 orang. Tehuis adalah bangunan terbesar di pertigaan Prins Mauritsplein, Frederik Hendriklaan, dan Prins Mauritstraat-tiga jalan besar di Rotterdam. Saat ini Tehuis telah menjadi kantor sebuah perusahaan telekomunikasi. Hampir tak ada yang berubah pada bangunan itu. Masih ada tembok bata dan halaman-yang dulu pernah ditumbuhi bunga warna-warni. Tak jauh dari situ terdapat toko tembakau yang didirikan pada 1777 dan dikelola turun-temurun oleh tujuh generasi. "Saya tak tahu Tehuis voor Indische Studenten. Mungkin opa saya yang tahu, tapi ia sekarang tak berada di rumah," kata pria penjaga toko itu. Seorang nenek lain yang melalui jalan itu juga menggeleng ketika ditanya tentang Tehuis. Di Tehuis, Hatta hanya tinggal beberapa lama. Seperti anak kos pada umumnya, ia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dia kerap menginap di rumah sesama pelajar Indonesia: Nazir Pamuntjak, Dahlan Abdullah, Ahmad Soebardjo, Hermen Kartasasmita, Darmawan Mangoenkusumo, serta aktivis pergerakan yang lain. "Suatu malam kami berkumpul di Jalan Bilderdikjstraat 1 di Leiden. Kami bicara tentang otonomi bagi Hindia Belanda," tulis Hatta dalam memoarnya. Yang banyak bicara adalah Darmawan dan Nazir. Darmawan belajar teknologi di Delf. Adik dr. Tjipto Mangunkusumo ini, menurut Hatta, adalah seorang yang radikal. Ia tak percaya pada taktik kerja sama dengan Belanda. Hatta menulis tentang diskusi itu: "Sebagai orang yang baru datang dari Tanah Air, aku diam saja. Diskusi itu berakhir pada pukul 12 malam." Bilderdikjstraat letaknya tak jauh dari kampus Universitas Leiden. Rumah pertama di jalan itu tampak kusam dan tak terawat. Jendela-jendela besar di bangunan berlantai dua itu ditutupi tirai tipis berwarna putih. Kaca jendela berdebu. Gerumbul perdu tumbuh di depannya. Tak ada sepeda atau mobil yang parkir di situ. Berawal dari pertemuan-pertemuan kecil di tempat itulah Perhimpunan Indonesia berdiri. Mula-mula bernama Indische Vereeniging, lalu Indonesische Vereeniging sebelum beralih nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Perubahan nama itu menunjukkan meningkatnya keberanian para aktivis untuk menggunakan kata Indonesia sebagai nama organisasi.
Selain menjalin gerakan, mereka juga menerbitkan banyak publikasi. Satu di antaranya Gedenkboek Indonesische Vereeniging-buku yang terbit pada April 1924, seiring dengan ulang tahun organisasi itu. "Aku masih sempat membuat karangan untuk buku peringatan itu dalam bahasa Melayu. Judulnya, 'Indonesia di Tengah-Tengah Revolusi Asia'," kenang Hatta. Terbitnya buku itu disambut oleh kritik keras pers Belanda. Mereka menuduh de Inlandsche studenten telah dihinggapi semangat revolusioner yang susah dikikis. Publikasi lainnya adalah Hindia Poetra. Beberapa dokumen menyebut rumah yang kerap dijadikan kantor redaksi publikasi itu adalah sebuah kediaman di Jalan Schoone Bergerweg 51. Ini adalah rumah tinggal Hatta yang terakhir sebelum ia kembali ke Indonesia. Di sana, ia berbagi kamar dengan Zainuddin, anak Haji Rasjid Pasar Gedang. Zainuddin adalah teman lama Hatta di Padang yang juga bersekolah di Belanda. "Untunglah, kamar itu besar. Lebarnya sama dengan lebar kamar duduk yang bentuknya segi empat," kata Hatta. Angin musim panas kembali mendesir pada siang bulan Juni silam. Beberapa orang lelaki Turki, Maroko, serta pria berkulit hitam berjalan menenteng tas belanjaan. Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Beberapa anak kecil tengah bermain-main. Rumah bernomor 51 di Jalan Schoone Bergerweg itu sepi-sepi saja-seperti tak berpenghuni. Di pintu, tertempel label nama M. Nasrullah. Meski dibel berulang-ulang, tak ada orang yang membuka pintu. Beberapa orang di sekitar situ mengaku tak mengenal Nasrullah. Siapa pun penghuni flat itu, mestinya ia adalah orang yang beruntung: sebuah sejarah pernah dicatat di sana. Sejarah memang dicatat di sepanjang jalan-jalan di Leiden, Den Haag, dan Rotterdam. Rotterdamse Handelshogeschool, kampus Hatta, kini berubah menjadi Rotterdamse Lyceum & Jeugd Theater Hoofplein, sekolah setingkat SMP dan tempat belajar teater untuk remaja. Letak gedung berlantai tiga ini menjorok agak ke dalam. Kesibukan lalu lintas di Sungai Maas, dengan beberapa kapal kecil yang lalu-lalang, hanya terdengar lamat dari sana. Di depannya terletak sekolah tinggi kelautan dan sebuah gereja Katolik. Hatta menyimpan banyak cerita di negeri Belanda. Di sana ia bergaul dengan banyak orang dan belajar menjadi manusia. Di sana ia berdebat, bertemu dengan tokoh komunis seperti Semaun dan Tan Malaka, belajar berorganisasi, juga merasakan bui kolonial untuk pertama kali. "Dua polisi datang ke rumahku membawa surat perintah. Aku dibawa ke penjara di Casius-straat. Bersama aku ditahan juga Nazir Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat," tulis Hatta di kemudian hari. Di pengadilan Hatta justru dibela oleh dua orang pengacara sosialis, Mr. Mobach dan Mr. Duys. Hatta dibebaskan 5,5 bulan kemudian karena terbukti tak bersalah. Ia belakangan populer di kalangan kelompok sosialis di sana. Hatta meninggalkan Belanda pada 20 Juli 1932 dengan menumpang kapal Jerman Saarbrucken yang berlayar melalui Paris, Genoa, lalu melaju hingga Singapura. Di Negeri Singa itu, "Ke mana-mana aku selalu diikuti polisi rahasia," kata Hatta. Di Jakarta ia diperiksa ketat. Ia memang hanya membawa pakaian. Bukunya yang 16 peti dikirim terpisah. Itu memang bukan perjalanan Hatta yang terakhir ke Belanda. Setelah itu berkali-kali ia mengunjungi negeri sejuta kanal itu untuk menghadiri perundingan Indonesia-Belanda. Terakhir pada November 1949, Hatta pergi ke Belanda untuk pulang dengan senyum kemenangan. Konferensi Meja Bundar berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia. Di tangga pesawat di Bandara Schipol, Hatta dengan didampingi istrinya, Rahmi, melambaikan tangan. Hatta mengenakan mantel hingga lutut, Rahmi bersarung kebaya dan menggapit tas tangan warna muda. Ada nada puas pada senyum mereka. Di Belanda Hatta memulai sejarahnya dari Nieuwe Binnenweg dan mengakhirinya di Schipol. Di Indonesia, sejarahnya tak pernah berakhir. Bahkan setelah 100 tahun.
Dalam buku Mohammad Hatta Memoir, Bung Hatta menulis, "Dengan De Westerboekhandel aku adakan perjanjian bahwa buku-buku itu kuangsur pembayarannya tiap bulan f 10. Aku diizinkan memesan buku itu terus sampai jumlah semuanya tak lebih dari f 150". Toko buku itu nyaris sudah pupus pada musim panas tahun ini. "Apa? De Westerboekhandel? Teruslah berjalan sampai bertemu Albert Heijn. Di dekat-dekat situlah," kata perempuan muda yang funky itu setengah berteriak. Rambutnya dicat hijau, alisnya dicukur habis, diwarnai dengan pensil kebiruan. Ia mengenakan banyak piercing-anting-anting yang dicocokkan dari bibir hingga lubang hidung. Dia bekerja di sebuah kedai kopi yang juga menjual daun ganja. Secangkir kopi panas mengepulkan asap, menebarkan aroma yang sedap. Bau ganja menyengat hidung. Inilah Rotterdam 2002. Di Nieuwe Binnenweg di Rotterdam barat tempat kafe itu berada, berjejer bangunan aneka rupa. Ada rumah tinggal, kafe, kedai sayur milik orang Turki serta Maroko. Di sebelahnya terdapat toko audiovisual, salon, pusat kesehatan Cina, restoran India, gereja, toko kayu, dan toko barang antik. Di tengahnya terdapat jalur trem yang lalu lintasnya padat. Cuaca panas bulan Juni meruapkan hawa yang pengap. Dan Rotterdam bersimbah cahaya berlimpah-limpah dari matahari yang seakan cuma sejengkal dari kepala. Orang ramai. Perempuan berjalan kaki dengan gaun berkait seutas tali di pundak. Bayangan tubuh mereka terpantul pada tembok-tembok kaca. Albert Heijn, toko yang ditunjuk perempuan itu, adalah sebuah supermarket besar. Tapi tak ada toko buku tua bersejarah itu. "Westerboekhandel? Tuh, di sebelah," kata lelaki setengah baya yang bekerja di sebuah toko kayu tak jauh dari Albert Heijn. "Tapi toko itu sudah tutup satu bulan yang lalu," katanya. Sebagai gantinya, tegaklah sebuah kafe internet. Interiornya telah dirombak. "Kami menyesuaikannya dengan keperluan bisnis kami," kata satu karyawan kafe itu. Tapi bangunan luarnya tak berubah. Pintu masuk terletak di sebelah kiri, agak menjorok ke arah jalan terletak dua jendela besar. Langit-langitnya tak terlalu tinggi sehingga tak banyak cahaya masuk. Hangat tubuh Hatta seakan terasa masih ada di sana. Rotterdam, seperti juga banyak kota di Eropa, sebetulnya sebuah negeri yang tak banyak berubah. Nama jalan, susunan rumah, pasar, dan sekolah, jika tak hancur karena perang, umumnya masih ada hingga kini. Dan Hatta menghabiskan sebagian hidupnya di negeri yang tak berubah itu.
Di sana ia mendapat gelar doktor ekonomi dan menggembleng dirinya sebagai aktivis gerakan. Ia menjadi Ketua Indonesische Vereeniging dan sempat lima setengah bulan dipenjara karena dituduh menentang pemerintah kolonial. Berkeliling Eropa-selain menelusuri Belanda-Hatta telah merasakan jauhnya hidup di rantau sejak usia belasan. Dia tiba di negeri itu 5 September 1921 dengan menumpang kapal Tambora milik Rotterdamse Lloyd, yang memasuki Eropa melalui Marseille, Prancis. Kapal uap itu merapat di Nieuwe Waterweg, sebuah pelabuhan di Rotterdam. "Ketika sampai, kulihat banyak penumpang yang bingung, banyak yang gugup. Apakah ini pembawaan kaum Indo Belanda, bimbang kalau menghadapi suasana baru," tulis Hatta dalam bukunya. Di Rotterdam, mula-mula ia meng-inap di rumah seorang kenalan. Setelah itu-seperti juga pelajar inlander lainnya-ia menetap sementara di Tehuis van Indische Studenten, sebuah asrama khusus bagi mahasiswa Hindia Belanda yang terletak di Jalan Prins Mauritsplein. Ini sebuah asrama supermurah. Sewa per hari plus tiga kali makan hanya f 3 (sekarang sekitar Rp 3.000). "Pada Minggu tengah hari kami mendapat jatah nasi goreng, sedangkan pagi dan malam makan roti seperti orang Belanda," tutur Hatta. Asrama itu dikelola Van Overeem, se-orang perempuan yang pernah menjadi guru di Hindia Belanda. Atasan Van Overeem adalah dua orang direktur yang juga pensiunan guru di Indonesia. Keduanya bertanggung jawab terhadap Minister van Kolonien, semacam menteri untuk tanah jajahan. Sejarawan Belanda Harry Poeze mencatat asrama ini-sebuah bangunan besar dan megah-dibuka pemerintah Belanda pada 15 Maret 1921.
Di dalamnya ada ruang makan yang menampung 15-20 orang, ruang rapat yang luas, dan kamar tidur untuk 15 orang. Tehuis adalah bangunan terbesar di pertigaan Prins Mauritsplein, Frederik Hendriklaan, dan Prins Mauritstraat-tiga jalan besar di Rotterdam. Saat ini Tehuis telah menjadi kantor sebuah perusahaan telekomunikasi. Hampir tak ada yang berubah pada bangunan itu. Masih ada tembok bata dan halaman-yang dulu pernah ditumbuhi bunga warna-warni. Tak jauh dari situ terdapat toko tembakau yang didirikan pada 1777 dan dikelola turun-temurun oleh tujuh generasi. "Saya tak tahu Tehuis voor Indische Studenten. Mungkin opa saya yang tahu, tapi ia sekarang tak berada di rumah," kata pria penjaga toko itu. Seorang nenek lain yang melalui jalan itu juga menggeleng ketika ditanya tentang Tehuis. Di Tehuis, Hatta hanya tinggal beberapa lama. Seperti anak kos pada umumnya, ia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dia kerap menginap di rumah sesama pelajar Indonesia: Nazir Pamuntjak, Dahlan Abdullah, Ahmad Soebardjo, Hermen Kartasasmita, Darmawan Mangoenkusumo, serta aktivis pergerakan yang lain. "Suatu malam kami berkumpul di Jalan Bilderdikjstraat 1 di Leiden. Kami bicara tentang otonomi bagi Hindia Belanda," tulis Hatta dalam memoarnya. Yang banyak bicara adalah Darmawan dan Nazir. Darmawan belajar teknologi di Delf. Adik dr. Tjipto Mangunkusumo ini, menurut Hatta, adalah seorang yang radikal. Ia tak percaya pada taktik kerja sama dengan Belanda. Hatta menulis tentang diskusi itu: "Sebagai orang yang baru datang dari Tanah Air, aku diam saja. Diskusi itu berakhir pada pukul 12 malam." Bilderdikjstraat letaknya tak jauh dari kampus Universitas Leiden. Rumah pertama di jalan itu tampak kusam dan tak terawat. Jendela-jendela besar di bangunan berlantai dua itu ditutupi tirai tipis berwarna putih. Kaca jendela berdebu. Gerumbul perdu tumbuh di depannya. Tak ada sepeda atau mobil yang parkir di situ. Berawal dari pertemuan-pertemuan kecil di tempat itulah Perhimpunan Indonesia berdiri. Mula-mula bernama Indische Vereeniging, lalu Indonesische Vereeniging sebelum beralih nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Perubahan nama itu menunjukkan meningkatnya keberanian para aktivis untuk menggunakan kata Indonesia sebagai nama organisasi.
Selain menjalin gerakan, mereka juga menerbitkan banyak publikasi. Satu di antaranya Gedenkboek Indonesische Vereeniging-buku yang terbit pada April 1924, seiring dengan ulang tahun organisasi itu. "Aku masih sempat membuat karangan untuk buku peringatan itu dalam bahasa Melayu. Judulnya, 'Indonesia di Tengah-Tengah Revolusi Asia'," kenang Hatta. Terbitnya buku itu disambut oleh kritik keras pers Belanda. Mereka menuduh de Inlandsche studenten telah dihinggapi semangat revolusioner yang susah dikikis. Publikasi lainnya adalah Hindia Poetra. Beberapa dokumen menyebut rumah yang kerap dijadikan kantor redaksi publikasi itu adalah sebuah kediaman di Jalan Schoone Bergerweg 51. Ini adalah rumah tinggal Hatta yang terakhir sebelum ia kembali ke Indonesia. Di sana, ia berbagi kamar dengan Zainuddin, anak Haji Rasjid Pasar Gedang. Zainuddin adalah teman lama Hatta di Padang yang juga bersekolah di Belanda. "Untunglah, kamar itu besar. Lebarnya sama dengan lebar kamar duduk yang bentuknya segi empat," kata Hatta. Angin musim panas kembali mendesir pada siang bulan Juni silam. Beberapa orang lelaki Turki, Maroko, serta pria berkulit hitam berjalan menenteng tas belanjaan. Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Beberapa anak kecil tengah bermain-main. Rumah bernomor 51 di Jalan Schoone Bergerweg itu sepi-sepi saja-seperti tak berpenghuni. Di pintu, tertempel label nama M. Nasrullah. Meski dibel berulang-ulang, tak ada orang yang membuka pintu. Beberapa orang di sekitar situ mengaku tak mengenal Nasrullah. Siapa pun penghuni flat itu, mestinya ia adalah orang yang beruntung: sebuah sejarah pernah dicatat di sana. Sejarah memang dicatat di sepanjang jalan-jalan di Leiden, Den Haag, dan Rotterdam. Rotterdamse Handelshogeschool, kampus Hatta, kini berubah menjadi Rotterdamse Lyceum & Jeugd Theater Hoofplein, sekolah setingkat SMP dan tempat belajar teater untuk remaja. Letak gedung berlantai tiga ini menjorok agak ke dalam. Kesibukan lalu lintas di Sungai Maas, dengan beberapa kapal kecil yang lalu-lalang, hanya terdengar lamat dari sana. Di depannya terletak sekolah tinggi kelautan dan sebuah gereja Katolik. Hatta menyimpan banyak cerita di negeri Belanda. Di sana ia bergaul dengan banyak orang dan belajar menjadi manusia. Di sana ia berdebat, bertemu dengan tokoh komunis seperti Semaun dan Tan Malaka, belajar berorganisasi, juga merasakan bui kolonial untuk pertama kali. "Dua polisi datang ke rumahku membawa surat perintah. Aku dibawa ke penjara di Casius-straat. Bersama aku ditahan juga Nazir Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat," tulis Hatta di kemudian hari. Di pengadilan Hatta justru dibela oleh dua orang pengacara sosialis, Mr. Mobach dan Mr. Duys. Hatta dibebaskan 5,5 bulan kemudian karena terbukti tak bersalah. Ia belakangan populer di kalangan kelompok sosialis di sana. Hatta meninggalkan Belanda pada 20 Juli 1932 dengan menumpang kapal Jerman Saarbrucken yang berlayar melalui Paris, Genoa, lalu melaju hingga Singapura. Di Negeri Singa itu, "Ke mana-mana aku selalu diikuti polisi rahasia," kata Hatta. Di Jakarta ia diperiksa ketat. Ia memang hanya membawa pakaian. Bukunya yang 16 peti dikirim terpisah. Itu memang bukan perjalanan Hatta yang terakhir ke Belanda. Setelah itu berkali-kali ia mengunjungi negeri sejuta kanal itu untuk menghadiri perundingan Indonesia-Belanda. Terakhir pada November 1949, Hatta pergi ke Belanda untuk pulang dengan senyum kemenangan. Konferensi Meja Bundar berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia. Di tangga pesawat di Bandara Schipol, Hatta dengan didampingi istrinya, Rahmi, melambaikan tangan. Hatta mengenakan mantel hingga lutut, Rahmi bersarung kebaya dan menggapit tas tangan warna muda. Ada nada puas pada senyum mereka. Di Belanda Hatta memulai sejarahnya dari Nieuwe Binnenweg dan mengakhirinya di Schipol. Di Indonesia, sejarahnya tak pernah berakhir. Bahkan setelah 100 tahun.
(c) Tempo/kiriman dari seorang kawan yang juga koresponden Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar