“Namun sejak orde baru, namanya (Tan Malaka) dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah. Gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Tetapi dalam buku teks sejarah ia tidak boleh disebut. Atau menurut istilah seorang peneliti departemen sosial, Tan Malaka menjadi “off the record’ dalam sejarah Orde Baru”
Dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia menuju bangsa yang merdeka, Tan Malaka mempunyai posisi yang sejajar dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Agus Salim. Namun sejarah sang penguasalah yang menengelamkan Tan Malaka ke dalam lumpur sejarah yang diciptakan oleh kekuasaan. Dalam konteks ini tidaklah berlebihan jika dikatakan “sejarah adalah milik orang yang berkuasa”.
Dalam pentas perjuangan, Tan Malaka bukan saja seorang prajurit yang pernah mengangkat senjata menghapus telapak penjajah dari Indonesia. Tetapi unik, dalam epos perjuangannya, Tan Malaka telah melahirkan karya-karya yang luar biasa dan dalam petilasannya telah membuat kagum peneliti-peneliti dari mancanegara akan ketajaman pena-nya dan hujaman pikirannya yang menyentuh langit-langit perjuangan revolusinya. Dalam catatan dan masih bisa ditemui, ada beberapa karya briliant Tan Malaka yang masih menjadi referensi di Indonesia dan di mancanegara, seperti, Madilog, Merdeka 100 %, Gerpolek, Dari Penjara ke Penjara, Massa Aksi dan Uraian Mendadak. Tan Malaka sebagai seorang pejuang yang lahir dan dibesarkan dari rahim Minangkabau telah menorehkan sejarah perjuangan bangsa yang unik dan aktual akan selalu berbekas dalam memori generasi yang masih mau menerima, dan membaca siapa gerangan Tan Malaka.
Adanya benarnya kata peneliti, bahwa Tan Malaka adalah pahlawan yang “off the record” dalam sejarah orde baru. Hal ini bertitik tolak dari literature yang terbilang minim mengkaji epos perjuangan Tan Malaka atau pun pemikiran-Nya. Sudah dipermaklumi, karena Tan Malaka di mata rezim Orde Baru adalah pemberontak yang ingin meruntuhkan negara Republik Indonesia dan serta merta yang berhubungan dengannya dilenyapkan dan dikaburkan oleh kekuasaan. Cap ‘seorang pemberontak’ bagi Tan Malaka bermula ketika Tan Malaka berupaya mendirikan Negara Demokrasi Indonesia pada momentum Belanda masuk ke Yogyakarta 19 Desember 1948. Ketika itu, diumumkan bahwa Soekarno-Hatta tertangkap. Dengan alasan bahwa Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak ada, Tan Malaka memproklamasikan berdirinya GPP (Gerakan Pembela Proklamasi) di atas Gunung Kawi. Lahirlah kemudian Gerakan Kawi Pact yang bertujuan untuk meneruskan cita-cita komunisme ala Tan Malaka. Ia memproklamasikan berdirinya Negara Demokrasi Indonesia dengan dalih, bahwa pemerintah RI Soekarno-Hatta sudah tidak ada. Pengumuman berdirinya Negara Demokrasi Indonesia, sekaligus dilakukan dengan penunjukan dirinya sebagai Presiden, dengan mengangkat Kolonel Warrow sebagai Menteri Pertahanan dan Mayor Sabaruddin sebagai Panglima Besar GPP (Dalam Nur Hadi, 2006). Atas alasan inilah, Tan Malaka dicap sebagai pemberontak oleh rezim yang berkuasa dan siklusnya, Tan Malaka harus rela dipenggal dari pentas sejarah kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Adalah Rudolf Mrazek yang mengukir Tan Malaka lewat bukunya “Tan Malaka a Political Personality’s Structure of Experience”, Kemudian Harry Poeze telah mengabadikan Tan Malaka lewat bukunya setebal 2194 halaman dan berharga 99,90 euro. “Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolution 1945-1949.” Dan menjelang tahun 1980-an, terjadilah arus balik penulisan sejarah Tan Malaka terutama di Eropa, Mulai dari Belanda dengan karya Harry Poeze, sampai ke Australia yang ditulis oleh Helen Jarvis. Penulisan sejarah Tan Malaka di luar negeri ini menjadi bukti bahwa Tan Malaka bercahaya di negeri orang, dan diredupkan di negeri-Nya sendiri.
(c) : Muhammad Sholihin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar