Kamis, 01 April 2010

Pahlawan dan Kepahlawanan

Oleh : Muhammad Ilham

Setiap pemberontakan, apabila sudah ada komitmen untuk bersatu, apapun latar belakangnya, dianggap subversif. Itu diktum yang sudah menjadi hukum dalam dunia politik. Mengapa Kahar Muzakkar memberontak ? J. Soumokil melawan, Dewan Banteng karengkang, Buya Daud Beureuh marah pada Soekarno yang dianggapnya munafik, Hasan Tiro dan Ahmad Zaini serta Malik Mahmud mendirikan GAM dan masuk hutan Aceh dan lari ke Swedia dan seterusnya, Natsir serta Syafruddin Prawiranegara dan Soemitro Djojohadikusumo masuk dalam lingkaran “PRRI” dan seterusnya? Justifikasi historis tak diperlukan. Dalam dunia politik, mereka pemberontak. Kita tidak tahu, kapan gelar pahlawan akan diberikan kepada mereka. Mungkin nanti atau tidak sama sekali. Padahal, ada alasan-alasan “rasional” untuk setidaknya kita bisa memahami latar belakang mengapa mereka berseberangan dengan pemegang tampuk politik masanya. Mungkin “ketidakpuasan” atau alasan koreksi terhadap kebijakan pusat yang tak adil.

Tapi sudahlah, jelang 17 Agustus selalu ada Pahlawan-Pahlawan baru dalam “belantara politik Indonesia”. 10 November menjadi hari “keramat” untuk para Pahlawan. Selalu ada pahlawan yang “datang”, walaupun terkadang pahlawan itu (di)muncul(kan) belakangan. Benarkah kita butuh Pahlawan ? Tokoh-tokoh yang termasyhur, para pemimpin rakyat dan komandan pasukan ? Jika masa lampau dengan label kepahlawanan macam itu yang akan kita kenang, barangkali sejarah kita cukup selesai dengan serangkaian hidup orang-orang besar. Bukan itu sebenarnya yang kita butuhkan. Pahlawan adalah domain politik. Sejarah tidak pernah satu kalipun memberikan label pahlawan. Sejarah hanya mengenal “aktor sejarah”. Aktor-aktor tersebutlah, pada prinsipnya yang akan memberikan “warna” sejarah. Warna yang diterima pada masanya, tapi kemudian ditolak pada masa generasi setelah ia lewat. Dan mungkin, warna itu diterima secara bergairah kembali dua atau tiga generasi berikutnya. Pahlawan bukan malaikat. Pahlawan adalah manusia. Hidupnya dipenuhi dengan perspektif. Suatu perspektif tidak akan pernah diterima secara bulat-menyeluruh. Ia terikat dengan zaman. Karena itu, terkadang kita tidak adil melihat seorang anak manusia dari perspektif kita atau “kekinian”. Parahnya lagi, tanpa menggunakan parameter yang jelas. Siapa yang bisa menjamin Sukarno adalah manusia yang sempurna, apalagi dilihat dari perspektif sekarang.

Mengapa kita marah-bergejolak ketika ada yang “menggugat” kepahlawanan Imam Bonjol ? Siapa yang meragukan dedikasi total Tan Malaka terhadap Indonesia, walaupun oleh Rudolf Mrazek dan Poetze, sang putra Pandan Gadang Suliki ini dianggap pernah berusaha “mengkudeta” supremasi ketokohan Sukarno-Hatta. Siapa yang tidak kenal DN. Aidit ? Dipa Nusantara Aidit atau Danu Nusantara Aidit atau Dja’far Nawawi Aidit atau apalah namanya. Bersama-sama dengan “teman-teman mudanya”, seperti Soekarni dan Chairul Saleh, anak muda kelahiran Bangka Belitung dari ayah yang merupakan keturunan Maninjau ini, menculik Sukarno Hatta dan “memaksa” Dwi Tunggal ini memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Melalui biduk “ideologi komunis” beliau mengaktualisasikan potensi politiknya. Dalam usia yang relatif “hijau”, 27 tahun, ia mengambil alih kepemimpinan PKI dari Muso. Bersama dia, ada Lukman yang 30 tahun, Sudisman 31 tahun dan Nyoto 25 tahun. Dalam bukunya Indonesian Communism under Soekarno, Rex Mortimer mengatakan bahwa Aidit adalah figur yang menjunjung idealismenya, dan “miskin” dengan bumbu-bumbu politik seperti yang familiar terjadi pada sat sekarang yaitu uang dan seks. Sejarah menunjukkan bahwa Aidit kemudian “terjerambab” dalam kesalahan pilihan ideologis. Kemudian, ia bukan pahlawan. Kemudian ia terhina. Kemudian ia seakan-akan bukan bahagian dari “kita”. Ini bukan profokatif dan saya tak memiliki kepentingan politis apapun terhadap Aidit dan “anak cucu” ideologisnya. Saya pun tak memiliki referensi yang bisa meyakinkan saya untuk kagum pada Aidit. Tapi setidaknya, itulah yang namanya ketidakdilan sejarah (baca: sejarah versi pemegang kekuasaan).

Coba lihat ending film The Lion of Desert, film biografi kepahlawanan Ahmad Mochtar (yang ini pahlawan Libya melawan Italia yang dibintangi Antony Quinn), dengan senyuman bahkan sempat bercanda dengan seorang anak kecil, dengan kepala tegak penuh martabat, Ahmad Mochtar menuju tiang gantungan yang telah dipersiapkan oleh Italia di bawah hegemoni politik sang megalomaniac “Benneditto Mussolini”. Diantara euforia pimpinan militer Italia menyaksikan kematian tragis musuh bebuyutan mereka tersebut, ada seorang elit militer Italia kala itu terpana-terpukau dan berlinangan air matanya melihat Ahmad Mochtar “kembali ke haribaan Tuhan”. Bukan kematian tragisnya yang membuat sang tentara menangis, tapi keyakinan dan idealisme Ahmad Mochtar-lah yang dikaguminya. Dalam keadaan yang bisa “menjilat”, beliau justru “pergi” karena membela keyakinannya. Karena itu, kepemimpinan dan figur yang baik itu bukan ditentukan atau dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri …. Good leadership concist of doing less being more, setidaknya demikian nasehat Ahlan Ahmad Sahlan (diplomat Dinasti Abbasiyah yang diperankan oleh Antonio Banderas) dalam film The 13th Centuries Warrior.

Rasanya, tokoh-tokoh diatas dan begitu banyak aktor-aktor sejarah Indonesia lainnya adalah orang yang memiliki integritas. Integritas itulah yang pahlawan, bukan “haru biru” peperangan. Dari integritas itulah generasi berikutnya mampu mendapatkan “pelajaran berarti” agar yang namanya Pahlawan tersebut memiliki makna. Natsir, dan Datuk Batuah dan lain-lain adalah orang-orang yang pantas dan harus kita hormati dan hargai bukan karena mereka tidak dijadikan Pahlawan versi pemerintah sebagaimana kita juga kita menghormati Muhammad Hatta, Agus Salim dan lain-lain bukan karena gelar pahlawan mereka. Integritas dan totalitas perjuangan mereka yang memang akan terus kita kagumi. Karena itulah warisan paling berharga dari mereka. Sudah sepantasnya kita memandang putra-putra terbaik sejarah Indonesia dengan cara itu. Karena nilai-nilai substantif dari kepahlawanan itu bukan dari tampilan heroisme ataupun kepiluan episode pengorbanan hidupnya, akan tetapi pada kekuatannya untuk mempertahankan nilai-nilai integritasnya Sebuah catatan akhir, Tao - sang filsuf Cina Klasik mengatakan : “Seorang pemimpin yang baik adalah ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi tak dalam. Dia tak berada di puncak yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu bahwa sumber airnya adalah air yang datang dari jauh di pedalaman, sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan”.

(Artikel ini pernah diterbitkan di Padang Ekspres, 11 Nopember 2009)

Tidak ada komentar: