Oleh : Muhammad Ilham
Rokok kembali menjadi perdebatan. "Asap nikmat'" ini terus menjadi kontroversi antara dihalalkan ataukah diharamkan di negeri yang banyak memiliki pabrik rokok ini. Awal Januari 2009 lalu, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram terhadap rokok. Tidak diharamkan bagi semua orang memang. Namun rokok diharamkan bagi anak-anak remaja dan wanita hamil. Merokok juga diharamkan apabila dilakukan di tempat umum, kala itu. Tapi fatwa tersebut ternyata berlalu seiring menghilangnya pemberitaan media. Yang paling gres, PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid telah berkesimpulan bahwa aktivitas merokok hukumnya adalah haram. "Setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan, Majelis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan amar putusan bahwa merokok haram hukumnya," ujar Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih Dr Yunahar Ilyas, Selasa (9/3/2010) lalu. Fatwa ini pun kembali memeicu kontroversi. Banyak yang pro, tapi ada juga yang kontra. Menurut adik kandung KH Abdurrahman Wahid, Lily Wahid, fatwa tersebut berdampak pada ribuan petani tembakau yang akan menyebabkan pengurangan penghasilan mereka. Perdebatan juga masuk di Facebook. Dibawah ini saya posting perdebatan di FB saya dengan beberapa orang kawan (tidak saya post semuanya, hanya beberapa komentar dari 71 komentar di 3 status/share di FB saya).
Silfia Hanani : ilham, ini potret identitas imajiner. Manalah bisa fatwa tanpa kekuatan negara/pemerintah. Masyarakat sudah terlanjur memaknai rokok sebagai hal yang tidak masalah dan tidak apa-apanya, jadi apapun bentuk fatwa jika pemerintah tidak ikut andil tak bakal ada efek. Fatwa rokok haram, hanya slogan jika tidak ada kekuatan yang pemerintah dalam mengaturnya dengan jelas.
Rifki Abror Ananda : Rokok... rokok apa maumu ? Apa sih kehebatanmu, kok saudaraku ilham begitu gigih mempertahankanmu ?
Muhammad Ilham : Bukan mempertahankan, sebagai insan yang ingin Indonesia SEHAT, saya mendukung dalam jumlah digit yang paling tinggi. Tapi, mari selesaikan persoalan rokok dengan sebuah pencerahan budaya, bukan dengan buldozer haram tanpa memikirkan ekses sosial ekonomi dan kemasyarakatan. Sudah berapa banyak label HARAM yang dikeluarkan, tapi justru menimbulkan ketidakacuhan. Ayo........ paksa negara untuk "mengharamkan" IKLAN ROKOK di TV, Paksa Pemerintah untuk memikirkan Nasib Petani Tembakau, Ayoooo ... paksa Pemerintah menaikkan harga ROKOK 10 kali lipat kayak Malaysia dan Singapura ..... dan ITU artinya kita melakukan pencegahan secara integral (sebagaimana yang dikhawatirkan Ni Silfia Hanani diatas, bila pemerintah tidak campur tangan, maka Fatwa itu hanyalah imajinasi saja). Kalau Fatwa haram saja ..... siapapun bisa. Bahkan di MUI, apalagi NU ....... banyak yang tidak bersepakat. Lantas pertanyaannya .... mengapa orang yang mengeluarkan fatwa itu (baca : ulama atau Institusi) tidak bisa mempressure internal-nya, sementara masyarakat umum mereka pressure. Catatan : saya sedang belajar berhenti merokok, walau tertatih-tatih, namun itu ibadah. Bagi orang yang tidak merokok dari awal, begitu mudah menganggap Rokok HARAM karena tidak merasakan sulitnya melepaskan diri Rokok. Semoga para Perokok yang sedang tertatih-tatih mengurangi rokok bahgkan berhenti merokok, jauh lebih dinilai dari Tuhan sebagai ikhtiar terbaik dibandingkan orang yang hanya mengeluarkan Fatwa tanpa pernah merasakan itu). Dalam aspek metodologi penelitian .... mereka hanya melihat dari "menara gading" tanpa pernah merasakan itu. Catatan : Di Malaysia, tidak ada Fatwa HARAM, tapi masyarakatnya hampir berhasil mengenyahkan rokok dalam hidup sehari-hari. Ulama-ulamanya memaksa agar peraturan tegak.
Robi Kurniawan : Rokok itu haram, terlepas adanya aturan pemerintah atau kedokteran tetan kesehatan, tapi subtansial rokok itu tidak memberikan solusi terbaik. Bukan hanya perokok aktif yang terganggu, tapi yang kena asapnya alias perokok pasif. Dalam kaidah ushul fikh mengambil manfaat mengalahkan yang mudharat !
Muhammad Ilham : (Bukan untuk justifikasi atau menegakkan “benang basah” ... tapi mari kita lihat secara Jernih .. !!) Dalam kontesk sosiologis-antropologis, problem rokok memang problem yng kompleks. Ada aspek kesehatan, ketenagakerjaan, budaya, sosial, dan ekonomi. Kompleksitas persoalan ini memerlukan pendekatan-pendekatan yang holistis dan sistematis. Misalnya melalui regulasi, ... See Morependidikan, kampanye, membuka alternatif lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Namun justru lantaran kompleksitas persoalan tersebut, rokok tidak cukup diatasi hanya dengan satu solusi. Problem rokok memerlukan pendekatan multidimensional. Tidak hanya pendekatan-pendekatan yang bersifat “rasional”, namun juga pendekatan-pendekatan yang, meminjam istilah kawan saya, “irrasional”. Di sinilah fatwa rokok turut memainkan perannya. Hemat saya, aspek regulasi, kesehatan, ketenagakerjaan, dan kebijakan tentang rokok menjadi wilayah pemerintah dan instansi terkait. Itu bukan wilayah para ahli agama. Urusan ulama adalah “pembinaan” ummat. Salah satunya dengan mengeluarkan fatwa tentang rokok. Fatwa Muhammadiyah kali ini bahkan lebih baik dari fatwa rokok MUI. Sebelumnya, MUI mengharamkan rokok hanya bagi perempuan, anak-anak, dan tempat-tempat umum. Fatwa seperti ini relatif bias, tidak tegas, dan terkesan pilih-pilih. Padahal dampak rokok tidak akan pilih-pilih. Persoalannya menurut saya, sejauh mana fatwa tersebut efektif untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap rokok? Bukan hanya karena rokok sudah menjadi “budaya” masyarakat, namun juga karena masih banyak elit agama yang hidupnya akrab dengan rokok. Asumsi saya, di kalangan Muhammadiyah sendiri masih banyak pimpinan daerah, wilayah, dan pusat yang hobi merokok. Demikian pula halnya dengan pengelola amal usaha seperti rumah sakit dan lembaga pendidikan Muhammadiyah. Jumlah mereka ada ribuan, bahkan mungkin jutaan. Apakah orang-orang ini “mau” menaati fatwa majlis tarjih tentang rokok? Fatwa rokok Muhammadiyah kali ini juga akan “impoten”, tidak sanggup memenuhi tugas dan fungsinya. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Berapa banyak produk “fatwa” telah dikeluarkan ulama belakangan ini, namun tak satupun yang efektif “mempengaruhi” masyarakat. Lihat misalnya fatwa tentang golput, facebook, mengemis, rebonding, foto pra-wedding, ojek wanita, dan sekarang rokok. Sebagian besar masyarakat agaknya cenderung cuek dan tidak lagi ambil pusing soal fatwa. Alih-alih menggubris fatwa ulama, mereka tampaknya sudah mulai “kekenyangan” fatwa.
Rifki Abror Ananda : belum pernah ada orang yang bisa meyakinkan saya bahwa merokok tidak berdampak apa-apa bagi kesehatan, bahkan para perokok banyak meyakinkan saya "Kalau memang belum pernah merokok, jangan sesekali mendekatinya, kalau sudah kecanduan susah menghentikannya (klo memang enak, kenapa harus dihentikan), begitulah petuah para perokok ????
Muhammad Ilham : (Sekali lagi, bukan justifikasi). Dalam konteks dinamika sosial dan perubahan sosial, mungkin ini juga disebabkan oleh semakin cerdas dan kritis-nya masyarakat, juga lantaran fatwa ulama seringkali tidak mengakar dan berwawasan “kerakyatan...”. Sekali lagi .... BERWAWASAN KERAKYATAN. Kesan yang muncul, para ulama mengeluarkan fatwa tanpa kepekaan terhadap kondisi masyarakat. Contoh terakhir adalah fatwa soal pengemis dan tukang ojek perempuan. Orang boleh tidak setuju dengan pendapat ini. Tapi harapan saya , fatwa rokok Muhammadiyah kali ini tidak demikian .. (MUNGKIN .... Pendapat saya ini SALAH .... namun yang jelas, saya tetap berusaha untuk mengurangi bahkan berhenti MEROKOK ... karena bagaimanapun hidup Sehat adalah pola yang disarankan Rasulullah Baginda yang mulia)
Rokok kembali menjadi perdebatan. "Asap nikmat'" ini terus menjadi kontroversi antara dihalalkan ataukah diharamkan di negeri yang banyak memiliki pabrik rokok ini. Awal Januari 2009 lalu, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram terhadap rokok. Tidak diharamkan bagi semua orang memang. Namun rokok diharamkan bagi anak-anak remaja dan wanita hamil. Merokok juga diharamkan apabila dilakukan di tempat umum, kala itu. Tapi fatwa tersebut ternyata berlalu seiring menghilangnya pemberitaan media. Yang paling gres, PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid telah berkesimpulan bahwa aktivitas merokok hukumnya adalah haram. "Setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan, Majelis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan amar putusan bahwa merokok haram hukumnya," ujar Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih Dr Yunahar Ilyas, Selasa (9/3/2010) lalu. Fatwa ini pun kembali memeicu kontroversi. Banyak yang pro, tapi ada juga yang kontra. Menurut adik kandung KH Abdurrahman Wahid, Lily Wahid, fatwa tersebut berdampak pada ribuan petani tembakau yang akan menyebabkan pengurangan penghasilan mereka. Perdebatan juga masuk di Facebook. Dibawah ini saya posting perdebatan di FB saya dengan beberapa orang kawan (tidak saya post semuanya, hanya beberapa komentar dari 71 komentar di 3 status/share di FB saya).
Silfia Hanani : ilham, ini potret identitas imajiner. Manalah bisa fatwa tanpa kekuatan negara/pemerintah. Masyarakat sudah terlanjur memaknai rokok sebagai hal yang tidak masalah dan tidak apa-apanya, jadi apapun bentuk fatwa jika pemerintah tidak ikut andil tak bakal ada efek. Fatwa rokok haram, hanya slogan jika tidak ada kekuatan yang pemerintah dalam mengaturnya dengan jelas.
Rifki Abror Ananda : Rokok... rokok apa maumu ? Apa sih kehebatanmu, kok saudaraku ilham begitu gigih mempertahankanmu ?
Muhammad Ilham : Bukan mempertahankan, sebagai insan yang ingin Indonesia SEHAT, saya mendukung dalam jumlah digit yang paling tinggi. Tapi, mari selesaikan persoalan rokok dengan sebuah pencerahan budaya, bukan dengan buldozer haram tanpa memikirkan ekses sosial ekonomi dan kemasyarakatan. Sudah berapa banyak label HARAM yang dikeluarkan, tapi justru menimbulkan ketidakacuhan. Ayo........ paksa negara untuk "mengharamkan" IKLAN ROKOK di TV, Paksa Pemerintah untuk memikirkan Nasib Petani Tembakau, Ayoooo ... paksa Pemerintah menaikkan harga ROKOK 10 kali lipat kayak Malaysia dan Singapura ..... dan ITU artinya kita melakukan pencegahan secara integral (sebagaimana yang dikhawatirkan Ni Silfia Hanani diatas, bila pemerintah tidak campur tangan, maka Fatwa itu hanyalah imajinasi saja). Kalau Fatwa haram saja ..... siapapun bisa. Bahkan di MUI, apalagi NU ....... banyak yang tidak bersepakat. Lantas pertanyaannya .... mengapa orang yang mengeluarkan fatwa itu (baca : ulama atau Institusi) tidak bisa mempressure internal-nya, sementara masyarakat umum mereka pressure. Catatan : saya sedang belajar berhenti merokok, walau tertatih-tatih, namun itu ibadah. Bagi orang yang tidak merokok dari awal, begitu mudah menganggap Rokok HARAM karena tidak merasakan sulitnya melepaskan diri Rokok. Semoga para Perokok yang sedang tertatih-tatih mengurangi rokok bahgkan berhenti merokok, jauh lebih dinilai dari Tuhan sebagai ikhtiar terbaik dibandingkan orang yang hanya mengeluarkan Fatwa tanpa pernah merasakan itu). Dalam aspek metodologi penelitian .... mereka hanya melihat dari "menara gading" tanpa pernah merasakan itu. Catatan : Di Malaysia, tidak ada Fatwa HARAM, tapi masyarakatnya hampir berhasil mengenyahkan rokok dalam hidup sehari-hari. Ulama-ulamanya memaksa agar peraturan tegak.
Robi Kurniawan : Rokok itu haram, terlepas adanya aturan pemerintah atau kedokteran tetan kesehatan, tapi subtansial rokok itu tidak memberikan solusi terbaik. Bukan hanya perokok aktif yang terganggu, tapi yang kena asapnya alias perokok pasif. Dalam kaidah ushul fikh mengambil manfaat mengalahkan yang mudharat !
Muhammad Ilham : (Bukan untuk justifikasi atau menegakkan “benang basah” ... tapi mari kita lihat secara Jernih .. !!) Dalam kontesk sosiologis-antropologis, problem rokok memang problem yng kompleks. Ada aspek kesehatan, ketenagakerjaan, budaya, sosial, dan ekonomi. Kompleksitas persoalan ini memerlukan pendekatan-pendekatan yang holistis dan sistematis. Misalnya melalui regulasi, ... See Morependidikan, kampanye, membuka alternatif lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Namun justru lantaran kompleksitas persoalan tersebut, rokok tidak cukup diatasi hanya dengan satu solusi. Problem rokok memerlukan pendekatan multidimensional. Tidak hanya pendekatan-pendekatan yang bersifat “rasional”, namun juga pendekatan-pendekatan yang, meminjam istilah kawan saya, “irrasional”. Di sinilah fatwa rokok turut memainkan perannya. Hemat saya, aspek regulasi, kesehatan, ketenagakerjaan, dan kebijakan tentang rokok menjadi wilayah pemerintah dan instansi terkait. Itu bukan wilayah para ahli agama. Urusan ulama adalah “pembinaan” ummat. Salah satunya dengan mengeluarkan fatwa tentang rokok. Fatwa Muhammadiyah kali ini bahkan lebih baik dari fatwa rokok MUI. Sebelumnya, MUI mengharamkan rokok hanya bagi perempuan, anak-anak, dan tempat-tempat umum. Fatwa seperti ini relatif bias, tidak tegas, dan terkesan pilih-pilih. Padahal dampak rokok tidak akan pilih-pilih. Persoalannya menurut saya, sejauh mana fatwa tersebut efektif untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap rokok? Bukan hanya karena rokok sudah menjadi “budaya” masyarakat, namun juga karena masih banyak elit agama yang hidupnya akrab dengan rokok. Asumsi saya, di kalangan Muhammadiyah sendiri masih banyak pimpinan daerah, wilayah, dan pusat yang hobi merokok. Demikian pula halnya dengan pengelola amal usaha seperti rumah sakit dan lembaga pendidikan Muhammadiyah. Jumlah mereka ada ribuan, bahkan mungkin jutaan. Apakah orang-orang ini “mau” menaati fatwa majlis tarjih tentang rokok? Fatwa rokok Muhammadiyah kali ini juga akan “impoten”, tidak sanggup memenuhi tugas dan fungsinya. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Berapa banyak produk “fatwa” telah dikeluarkan ulama belakangan ini, namun tak satupun yang efektif “mempengaruhi” masyarakat. Lihat misalnya fatwa tentang golput, facebook, mengemis, rebonding, foto pra-wedding, ojek wanita, dan sekarang rokok. Sebagian besar masyarakat agaknya cenderung cuek dan tidak lagi ambil pusing soal fatwa. Alih-alih menggubris fatwa ulama, mereka tampaknya sudah mulai “kekenyangan” fatwa.
Rifki Abror Ananda : belum pernah ada orang yang bisa meyakinkan saya bahwa merokok tidak berdampak apa-apa bagi kesehatan, bahkan para perokok banyak meyakinkan saya "Kalau memang belum pernah merokok, jangan sesekali mendekatinya, kalau sudah kecanduan susah menghentikannya (klo memang enak, kenapa harus dihentikan), begitulah petuah para perokok ????
Muhammad Ilham : (Sekali lagi, bukan justifikasi). Dalam konteks dinamika sosial dan perubahan sosial, mungkin ini juga disebabkan oleh semakin cerdas dan kritis-nya masyarakat, juga lantaran fatwa ulama seringkali tidak mengakar dan berwawasan “kerakyatan...”. Sekali lagi .... BERWAWASAN KERAKYATAN. Kesan yang muncul, para ulama mengeluarkan fatwa tanpa kepekaan terhadap kondisi masyarakat. Contoh terakhir adalah fatwa soal pengemis dan tukang ojek perempuan. Orang boleh tidak setuju dengan pendapat ini. Tapi harapan saya , fatwa rokok Muhammadiyah kali ini tidak demikian .. (MUNGKIN .... Pendapat saya ini SALAH .... namun yang jelas, saya tetap berusaha untuk mengurangi bahkan berhenti MEROKOK ... karena bagaimanapun hidup Sehat adalah pola yang disarankan Rasulullah Baginda yang mulia)
1 komentar:
Saya perokok, saya mendukung fatwa rokok haram.tapi kenapa baru sekarang?Susahnya menghentikan rokok.Sikap saya sederhana saja, tentang fatwa rokok ini, saya analogikan seperti kasus mengauli budak wanita pada zaman Rasul.Setahap demi setahap.
Posting Komentar