Noam Chomsky, secara terang-terangan melempar tuduhannya pada AS sebagai lumbung aksi terorisme. Dengan menunjukkan sejumlah data, Chomsky melihat sebuah paradoks terorisme yang sangat kontradiktif dilakukan oleh AS. Berdasarkan pengalaman historis, menurut Noam Chomsky, AS telah mengkondisikan aksi teror di sejumlah negara, seperti Nikaragua, Elsalvador, Palestina dan Lebanon , yang justur menimbulkan jumlah korban sipil yang jauh lebih banyak dari korban tragedi bom di WTC, 11 September 2001 (Noam Chomsky : 2005)
Kematian Dulmatin, salah seorang gembong teroris Asia Tenggara yang konon ilmu merakit bom-nya diatas Dr. Azahari, beberapa hari lalu tewas di tembak oleh Densus 88 Anti Teror. Petualangan si Joko Pitono @ Dulmatin ini akhirnya berakhir di sebuah Warung Internet di pemukiman padat
Memang benar bahwa terorisme tak ada kaitan dengan Islam. Tak ada satu ayat pun dalam al-Quran yang mengizinkan, apalagi menyuruh seseorang menjadi teroris. Demikian juga Hadits Rasulullah. Tapi, harus cepat-cepat digarisbawahi bahwa hal itu sebatas doktrinal. Secara historis barangkali amat sulit menghindarkan Islam dengan tindakan apapun yang mungkin bisa dilakukan oleh para pemeluknya, termasuk teror sekalipun. Mengapa? Karena Islam, seperti juga agama-agama lain, tidak berada di ruang hampa. Islam senantiasa bergumul dalam realitas obyektif yang menyejarah, ikut mewarnai dan membentuk kebudayaan manusia. Dalam bahasa antropolog Clifford Geertz, sebagai agama, Islam bukanlah sesuatu yang otonom.
Mengapa ada muslim yang menjadi teroris? Ada banyak sebab. Dari sudut pandang agama bisa dijawab dengan mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah dengan segala kekurangan. Tentang kekurangan manusia banyak sekali disebutkan, baik dalam al-Quran maupun Hadits. Dalam satu ayat al-Quran misalnya disebutkan bahwa ketika manusia diciptakan Allah, sudah inheren dalam jiwanya dua potensi: (1) berbuat kebajikan (dimensi takwa) dan (2) berbuat kejahatan (dimensi fujur). Dan, seseorang yang sudah memeluk Islam pun, tak ada jaminan untuk bisa menghindarkan diri dari dimensi fujur, karena manusia memang tempatnya kesalahan dan kealpaan (mahal al-khatha wa al-nisyan). Bahkan Rasulullah yang ma’shum sekalipun, suatu ketika pernah berbuat kesalahan walaupun ringan. Seorang muslim juga bisa menjadi teroris karena pemahamannya yang tidak proporsional tentang agama, baik karena kesalahan metodenya maupun karena kedangkalan ilmu agamanya. Di antara aspek agama yang paling sering ditafsirkan secara literal dan dangkal adalah konsep mengenai jihad fi sabilillah yang dianggap identik dengan aksi-aksi fisik seperti perang mengangkat pedang, senapan, atau meledakkan bom.
Selain itu, ketidakadilan politik global juga sangat potensial melahirkan teroris, termasuk dari kalangan muslim. Kebijakan politik dunia yang tidak adil terhadap beberapa negara muslim misalnya, telah menimbulkan perlawanan dari segenap muslim yang menyadari betul ketidakadilan itu. Sialnya, karena tidak berdaya melawan secara terang-terangan, ada di antaranya yang menempuh jalur inkonvensional, yakni dengan cara kekerasan dan teror. Kalau memang demikian, cara yang paling proporsional untuk menghindari kemungkinan tindakan teror, bagi muslim adalah dengan cara memperbaiki kembali pemahaman dan implementasi keislamannya. Pemahaman yang sempit dan dangkal harus diperluas dan diperdalam; pemahaman yang subyektif individual harus diobyektivikasi sehingga konstruktif secara sosial. Sementara itu, bagi Amerika dan Rusia harus meninjau kembali dan memperbaiki kebijakan-kebijakan politik hubungan internasionalnya. Sayangnya, baik Amerika maupun Rusia (terutama Amerika) tampaknya tidak menyadari (atau pura-pura tidak tahu) adanya ketidakadilan dari kebijakan-kebijakan politik internasional yang ditempuhnya. Lantas, untuk menghapus terorisme, bukannya dengan cara memperbaiki kebijakan-kebijakan yang ditempunya, malah dengan menempuh jalan pintas: menggalang kekuatan dan menyerukan perang terhadap terorisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar