Kamis, 25 Maret 2010

"Revolusioner yang Gugur Dalam Kesepian" : Mengenang Sutan Syahrir Sang "Bung Kecil" di Bulan Maret

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Mengapa kita mesti “memilih antara Barat yang kapitalistis dan Timur yang menghamba-hamba?”, Syahrir bertanya menggugat, dan menjawab: “Kita tidak perlu mengambil yang satu atau yang lain : kita boleh menolak kedua-duanya, oleh sebab kedua-duanya harus silam dan sekarang ini sedang tenggelam ke masa silam” (Sutan Syahrir : 1948)

Bulan Maret ini, ingatan kita kembali pada sosok dan figur dedikatif yang pernah dilahirkan oleh "rahim" Minangkabau, Sutan Syahrir. Putra Koto Gadang, terletak di wilayah Kecamatan Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat ini dikenal sebagai salah seorang founding father Indonesia. Walau Soekarno Hatta disebut sebagai "epicentrum" founding father ini, namun tak bisa lepas dari Sutan SjahrirPopularitas Sutan Sjahrir, satu dari tokoh "Tiga Serangkai" pergerakan nasional, memang kalah dibanding dua tokoh lainnya, Soekarno dan Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai Dwi Tunggal Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia. Padahal, sumbangsih Sutan Sjahrir dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan RI sangat besar. Pahlawan nasional yang lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909, itu merupakan seorang politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Sutan Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia sejak 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Sjahrir juga merupakan pendiri Partai Sosialis Indonesia pada 1948. Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir, tokoh "Tiga Serangkai" itu pada masa pergerakan hingga awal kemerdekaan begitu dikenal dan dekat dengan hati rakyat. Namun, perjalanan sejarah bangsa selanjutnya seolah "menutupi" dan hampir melupakan perjuangan yang pernah dilakukan Sutan Sjahrir.

Seperti dikutip dari laman wikipedia, pada 20 Februari 1927, Sjahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesie. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Syahrir kemudian melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, Leiden. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme secara sungguh-sungguh dan berkutat dengan teori-teori sosialisme. Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Sjahrir juga terjun dalam pergerakan buruh dan pada Mei 1933, didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia. Bersama Bung Hatta, pada Agustus 1932, Sjahrir memimpin PNI Baru sebagai sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Sjahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal ketimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, dan mengasingkan Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Sjahrir kemudian dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun. Pada masa pendudukan Jepang, sementara Soekarno-Hatta menjalin "kerja sama" dengan Jepang, Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis karena yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, sehingga kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Perjuangan mereka membuahkan hasil dengan diproklamasikannya Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.

Pada November 1945, Syahrir didukung kalangan pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Sjahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI. Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Sjahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB.

Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya. Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB, suatu kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Sjahrir pun dijuluki "The Smiling Diplomat". Sejak akhir Januari 1950, Sutan Sjahrir tidak lagi memegang suatu jabatan negara. Pada tahun 1955, Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sjahrir gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI dan PSI tahun 1958, hubungan Sutan Sjahrir dengan Presiden Soekarno semakin memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Bahkan, tahun 1962, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili, hingga pada 1965 Sjahrir menderita penyakit "stroke". Setelah itu, Sjahrir diijinkan untuk berobat ke Zurich, Swiss, hingga meninggal dunia di sana pada tanggal 9 April 1966 pada usia 57 tahun. Akhirnya, Si Bung Kecil ini, wafat dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Dan Goenawan Mohammad pun menulis : "Yang pasti, ia akhirnya hidup dalam persaingan kekuasaan. Ia kalah. Partai Sosialis-nya tak didukung luas. Ia dipenjarakan Soekarno, lawannya. Ia meninggal sebagai tahanan di sebuah tempat yang jauh dari rumah, tapi kali ini bukan Banda Neira, sebuah tempat pembuangan dimana dahulu ia pernah mengatakan sebagai taman firdaus". April 1966 Soedjatmoko menulis dari Zurich, beberapa jam setelah Sjahrir wafat: "Dalam arti yang sangat nyata saya sadar bahwa kegagalannya dalam politik menandakan kebesarannya sebagai seorang manusia...".

Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir...
........ (Karawang-Bekasi : Chairil Anwar)
(c) : dari berbagai sumber, utamanya Tempo, Agustus 2009, Goenawan Mohammad (2000)

Tidak ada komentar: