Kiai tak sekadar sebagai 'pialang budaya' seperti diungkapkan Clifford Geertz, tapi memerankan peran penting sebagai 'penghasil budaya' bagi masyarakat (Clifford Geertz)
Saya bukan pengagum Gus Dur secara totaliti. Namun terkadang, hingga hari ini, saya masih sulit memahami sosok Gus Dur yang unik, pintar, tak bisa memahami arah pikirannya bahkan terkadang juga "menjengkelkan" (terutama bagi orang yang tidak memahaminya, dan terkadang itu termasuk saya). Karena hal inilah, saya sering berusaha membaca dan ingin memahami keunikan Gus Dur, figur dan talenta kontroversi, Kiai yang multi-talent. Walau Gus Dur telah ”pergi”, sebagaimana halnya Bung Karno maupun Nurcholis Madjid, pemikiran putra Jombang ini terus hidup, dibedah-kupas, dikritisi dan seterusnya. Dalam ranah dinamika pemikiran intelektual Islam Indonesia, Gus Dur bagaimanapun jua adalah ikon Islam moderat Indonesia. Islam moderat boleh diklaim siapa saja. Tapi, tidak ada yang bisa menghindar dari nama putra KH. Wahid Hasyim ini. Itu karena diakui secara mendunia. Gus Dur adalah 'wakil' muslim moderat yang sering dirujuk dan dihargai. Pada masa hidupnya, latar belakang sebagai santri par excellence berhasil meramu kemodernan dan keindonesiaan dalam wacana dan praksis keislaman merupakan prestasi yang sulit dicapai. Gus Dur bukan model sarjana seperti almarhum Cak Nur. Jika Cak Nur membangun wacana Islam moderat dari cara kerja keilmuan yang ketat dengan meneliti objektivitas Islam, Gus Dur kerap kali langsung melontarkan ide tanpa bersusah payah melacak dari mana ujung pangkalnya. Sehingga sering orang melabelkan Gus Dur sebagai Kiai jago silat dengan jurus yang sulit dibaca lawan.
Bila kita melihat “langgam” pemikiran dan sosok Gus Dur, maka Gus Dur adalah pencipta wacana. Ia diuntungkan karena ia mewakili basismassa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sebelum resmi terjun dalam dunia politik praktis, baik selama menjadi presiden ataupun setelahnya, kedudukannya sebagai NU 1 membuatnya tak terlalu terbebani dengan wacana-wacana sekuler, seperti pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat sipil. Tidak seperti Cak Nur, Gus Dur tak selalu memerlukan legitimasi ayat-ayat Alquran, filsafat dan yurisprudensi ulama klasik untuk mendukung gagasan-gagasannya. Tetapi, Gus Dur dianggap lebih 'islami' apa pun gagasan yang ia lontarkan, lantaran ia memiliki kekuatan simbolis sebagai wakil santri nomor wahid yang berdarah biru dari Hadratussyekh Hasyim Asy'ari. Ijtihad Gus Dur adalah subjektivitas dirinya. Ibaratnya, Gus Dur adalah wacana itu sendiri. Justru orang lain yang perlu melihat, meneliti, dan menganalisis Gus Dur sebagai objek. Meskipun begitu penting dicatat bahwa hasil pemikiran dan tindakan Gus Dur tidak jatuh dari kehampaan sejarah. Formula-formula Gus Dur terbangun dari timbunan ide-ide besar yang ia gali dari keranjingan belajar autodidak, keterlibatan aktif, dan kemampuan komunikasi interpersonal yang menarik selama hidupnya. Ditambah lagi, modal sosial Gus Dur sangat besar sehingga memungkinkannya luwes bergerak untuk setia dengan segala idealisme yang sulit dipahami orang.
Salah satu warisan berharga dari Gus Dur ialah 'jualan' Islam dalam lanskap pemikiran yang moderat. Titik berangkat Gus Dur bermula dari isu-isu pembangunan pesantren sebagai bagian dari subkultur masyarakat. Ketika pertama kali Gus Dur memasarkan pesantren di dunia internasional, ada yang lebih berharga ketimbang mengakui pesantren sebagai salah satu lembaga independen umat muslim yang asli tradisi Nusantara. Hal berharga itu ialah cara berpikir dari kelokalan sebagai sebuah sumber pembacaan, bukan sebaliknya. Bagi Gus Dur, pesantren ialah wahana tempat olah kreasi tradisi dengan kiai-kiai sebagai pimpinannya. Gus Dur memandang pemribumian (vernacularization) ialah keperluan agar tradisi tidak tercerabut. Inilah yang sering disinggung oleh Greg Barton. Ketika ilmu-ilmu sosial dari Barat diimpor besar-besaran, Gus Dur malahan perlu sekali untuk melihat pesantren sebagai laboratorium hidup bagi masyarakat. Di hadapan tradisi besar keilmuan dunia, Gus Dur tidak inferior. Dia sangat percaya diri bahwa dari konteks kelokalan bisa muncul kreativitas. Tak berhenti di situ. Kaidah ulama klasik yang hidup di pesantren, al-muhafazhatu 'alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah, 'memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik,' sesungguhnya dipegang Gus Dur. Itu kenapa, ia tak gamang ketika harus berbicara tentang demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia. Baginya, itu bukan saja hal yang haram bagi umat Islam, bahkan menjadi sesuatu yang wajib justru untuk menopang nilai-nilai Islam yang kosmopolitan, berkeadilan, dan beradab. Dalam bahasa kaidah Islam klasik berbunyi, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa al-wajib, 'sesuatu yang mendesak dibutuhkan maka bersifat wajib dilakukan.'
Dalam cakrawala keislaman seperti itu, Gus Dur telah membangun model 'Islam moderat' yang dibutuhkan. Dalam istilahnya, hal itu adalah bagian dari teorema 'Islam kita' sebagai sebuah peleburan fusi dari keislaman, kemajemukan, dan tradisi keindonesiaan. Membaca Gus Dur, dengan demikian, adalah jendela untuk melihat Islam moderat yang tidak buta dengan tradisi yang hidup, menjalin kerja sama antaragama dan multikultural, serta tidak gamang dengan perubahan tingkat global. Persis moderatisme inilah yang dikembangkan Gus Dur sebagai soft power yang perlu dijadikan sebagai kebutuhan primer dalam masyarakat demokratis saat ini. Kekuatan soft power, terletak pada daya tarik dan bujukan dari nilai-nilai sosial budaya suatu masyarakat. Gus Dur berhasil membangun citra Islam moderat sebagai salah satu soft power dari budaya masyarakat Indonesia dalam lingkungan mondial.
Bila kita melihat “langgam” pemikiran dan sosok Gus Dur, maka Gus Dur adalah pencipta wacana. Ia diuntungkan karena ia mewakili basis
Salah satu warisan berharga dari Gus Dur ialah 'jualan' Islam dalam lanskap pemikiran yang moderat. Titik berangkat Gus Dur bermula dari isu-isu pembangunan pesantren sebagai bagian dari subkultur masyarakat. Ketika pertama kali Gus Dur memasarkan pesantren di dunia internasional, ada yang lebih berharga ketimbang mengakui pesantren sebagai salah satu lembaga independen umat muslim yang asli tradisi Nusantara. Hal berharga itu ialah cara berpikir dari kelokalan sebagai sebuah sumber pembacaan, bukan sebaliknya. Bagi Gus Dur, pesantren ialah wahana tempat olah kreasi tradisi dengan kiai-kiai sebagai pimpinannya. Gus Dur memandang pemribumian (vernacularization) ialah keperluan agar tradisi tidak tercerabut. Inilah yang sering disinggung oleh Greg Barton. Ketika ilmu-ilmu sosial dari Barat diimpor besar-besaran, Gus Dur malahan perlu sekali untuk melihat pesantren sebagai laboratorium hidup bagi masyarakat. Di hadapan tradisi besar keilmuan dunia, Gus Dur tidak inferior. Dia sangat percaya diri bahwa dari konteks kelokalan bisa muncul kreativitas. Tak berhenti di situ. Kaidah ulama klasik yang hidup di pesantren, al-muhafazhatu 'alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah, 'memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik,' sesungguhnya dipegang Gus Dur. Itu kenapa, ia tak gamang ketika harus berbicara tentang demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia. Baginya, itu bukan saja hal yang haram bagi umat Islam, bahkan menjadi sesuatu yang wajib justru untuk menopang nilai-nilai Islam yang kosmopolitan, berkeadilan, dan beradab. Dalam bahasa kaidah Islam klasik berbunyi, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa al-wajib, 'sesuatu yang mendesak dibutuhkan maka bersifat wajib dilakukan.'
Dalam cakrawala keislaman seperti itu, Gus Dur telah membangun model 'Islam moderat' yang dibutuhkan. Dalam istilahnya, hal itu adalah bagian dari teorema 'Islam kita' sebagai sebuah peleburan fusi dari keislaman, kemajemukan, dan tradisi keindonesiaan. Membaca Gus Dur, dengan demikian, adalah jendela untuk melihat Islam moderat yang tidak buta dengan tradisi yang hidup, menjalin kerja sama antaragama dan multikultural, serta tidak gamang dengan perubahan tingkat global. Persis moderatisme inilah yang dikembangkan Gus Dur sebagai soft power yang perlu dijadikan sebagai kebutuhan primer dalam masyarakat demokratis saat ini. Kekuatan soft power, terletak pada daya tarik dan bujukan dari nilai-nilai sosial budaya suatu masyarakat. Gus Dur berhasil membangun citra Islam moderat sebagai salah satu soft power dari budaya masyarakat Indonesia dalam lingkungan mondial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar