Senin, 01 Maret 2010

"Pelajaran" dari Pansus Hak Angket Century

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

“Bila seseorang mendapat kepercayaan publik, ia harus memandang dirinya milik publik,” begitu tulis Thomas Jefferson (salah satu pemimpin di Amerika Serikat) dalam suratnya kepada Baron Alexander von Humboldt (salah satu pemimpin di Jerman), 1807.

Hampir dua bulan terakhir perhatian rakyat Indonesia tersedot skandal Century. Setiap hari jutaan pasang mata menyaksikan pemberitaan yang terus-menerus ditayangkan hampir seluruh stasiun televisi nasional dan lokal. Andai saja dilakukan pemeringkatan, boleh jadi skandal ini mendapat peringkat tinggi di mata pemirsa. Tak heran, karena tontonan Century kini tak ubahnya telenovela yang terkadang menyebalkan namun selalu mengundang rasa penasaran untuk diikuti terus. Pansus Hak Angket Century sendiri akan menuntaskan masa kerjanya, 4 Maret 2010. Apa pun rekomendasinya nanti, kita dapat menarik beberapa hal untuk pembelajaran ke depan. Pertama, kian lama media massa Indonesia kian dapat diandalkan sebagai pilar demokrasi yang sangat penting. Pantas rasanya jika media massa kita digelari sebagai ”the fourth estate of democracy”. Agak berbeda dengan di negara-negara demokratis lainnya, media massa di negara ini bahkan lebih signifikan memerankan dirinya sebagai watchdog (“anjing penjaga”) ketimbang edukasi, informasi dan rekreasi.

Maka ke depan, kita harus terus merawat peran media massa sebagai kekuatan pengontrol itu. Jangan sampai karena kebebasan pers yang kian dihormati, profesionalisme para pekerja pers justru kedodoran – hanya bermodal ”asal berani”. Jangan sampai karena pelbagai pihak yang semakin segan kepada pers, para pekerja pers justru tergoda menukar idealismenya dengan ”sekeping berlian” kepada pihak-pihak tersebut. Kedua, dari para pemimpin yang disoroti media massa terkait skandal Century, kita dapat belajar untuk tidak meniru hal-hal yang negatif dari mereka. Bukankah kita tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ada pemimpin (Ruhut Sitompul) di lembaga terhormat bernama DPR yang sanggup mengucapkan kata ”bangsat” dalam sidang dan kepada pemimpin sidang pula? Apa pun dalihnya, ia tetap salah. Maka, kita acungkan jempol ketika keesokan harinya ia menyalami rekannya di DPR yang disebutnya ”bangsat” itu. Tapi herannya, tak sepatah pun kata maaf ia ucapkan saat itu. Jadi, patutkah ia dijadikan panutan rakyat?

Ketika kemudian berkembang wacana agar ia dibawa ke Badan Kehormatan (BK) DPR lantaran kata kotor yang dilontarkannya itu, dengan enteng ia berkomentar: “Jangankan ke BK, diadukan ke Tuhan yang di atas saja aku siap!” katanya sesumbar. Ia bahkan dengan jumawa menambahkan: “Dari partai nggak ada yang kritik gua kok. Partai muji semua.” Benarkah, bahwa hal yang buruk itu justru mendapat pujian? Kali yang lain ia juga mengucapkan kata “burung” (alat kelamin pria). Ceritanya saat itu ia sedang berdebat sengit dengan Maruarar Sirait dari Fraksi PDI Perjuangan. Hal itu karena ia menyebut nama “Ara” saat dia bertanya kepada mantan Kabareskrim Komisaris Jenderal Susno Duadji. Ara minta pimpinan rapat, yakni Yahya Sacawiria (Fraksi Partai Demokrat), konsekuen dengan keputusan rapat internal tentang tidak menyebut nama sesama anggota atau fraksi di Pansus. Ia langsung menanggapi begini: ”Jangan ajari ikan berenang. Jangan ajari burung terbang. Jika ada burung yang tidak dapat terbang, itu burung kita-kita.” Pantaskah seorang yang berstatus terhormat seperti dia berkata seperti itu?

Selain si pelontar kata “bangsat” dan “burung” itu, ada juga pemimpin di DPR yang sikap dan perilakunya kurang terpuji. Masih dari satu fraksi, orang itu (Benny K. Harman) pernah mendebat pimpinan dan sesama anggota sidang Pansus Century karena mempertanyakan keahlian Ichsanuddin Noorsy yang dihadirkan sebagai saksi ahli. Saat itu dengan gaya melecehkan ia menyebut Noorsy sebagai ”saksi yang mengaku-aku ahli ekonomi politik”. Bagaimana mungkin orang yang diundang secara resmi oleh pleno Pansus malah dipojokkan seperti itu? Tahun silam, ia bahkan pernah menantang para aktivis Kompak (Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi), termasuk Tim Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution, untuk beradu debat sekaitan kasus “cicak versus buaya”. Sebenarnya ia sedang memerankan dirinya sebagai wakil rakyat atau praktisi hukum atau akademisi, sehingga merasa perlu menantang digelarnya perdebatan?

Kepada Century, kita berterima kasih bukan hanya karena semakin tahu sosok dua pemimpin yang disinggung di atas. Tapi juga sosok pemimpin di pemerintahan sekaliber Sri Mulyani Indrawati, yang pernah dipuji sebagai Menteri Keuangan Terbaik Asia versi Emerging Market untuk tahun 2006, 2007 dan 2008 (Euromoney, majalah ekonomi berbasis di London, bahkan memberi penghargaan lebih mentereng: sebagai menteri keuangan terbaik dunia tahun 2006). Ternyata, ketika memutuskan pemberian dana talangan Bank Century, Sri melaporkannya kepada atasannya, Pelaksana Tugas Presiden Jusuf Kalla, melalui pesan singkat (short messages service/SMS). Sungguh aneh dan amat tidak pantas. Begitukah tatacara dan tatakrama melapor kepada atasan terkait dana sebesar Rp 6,7 triliun? Pansus kemudian meminta agar Sri, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), menyerahkan dokumen-dokuken penting terkait data talangan Bank Century. Namun herannya, telah seminggu berlalu, Sri belum juga menyampaikan seluruh dokumen yang diminta. Bukankah dia seorang yang profesional dan cekatan? Mengapa sekarang jadi memble dan tidak kooperatif, sampai-sampai Pansus mengancam akan menyitanya? Barulah 28 Januari lalu, Sri akhirnya menyerahkan seluruh dokumen itu. Kita patut berterima kasih kepada Century, juga kepada media massa, karena dari skandal ekonomi-politik ini mata kita kian dicelikkan untuk melihat karut-marutnya Indonesia. Ternyata, para pemimpin di parlemen dan pemerintahan tidaklah sekredibel yang dibayangkan selama ini. Di masa mendatang, kita harus berpikir ulang untuk memberi kepercayaan kepada mereka.

(c) Umumnya diambil dari artikel-artikel di Suara Pembaruan/V. Silaen

Tidak ada komentar: