Bagai meteor, Bung Kecil muncul di pentas Republik demikian cepat di usia belia, lalu hilang sekejap. "Kegagalan Partai Sosialis dalam pemilihan umum secara pasti menutup pintu Sjahrir untuk kembali ke kedudukan tinggi dalam pemerintahan," Sang Meteor telah hilang di angkasa luas (Rosihan Anwar)
Sutan Sjahrir mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan walau dia sendiri absen dari peristiwa besar itu. Dia memilih jalan elegan untuk menghalau penjajah. Yakni melalui diplomasi: cara yang ditentang ”Bapak Revolusi” lain. Ideologinya, antifasis dan antimiliter, dikritik hanya untuk kaum terdidik. Maka dia dituduh elitis. Sejatinya, Sjahrir juga turun ke gubuk-gubuk, berkeliling Tanah Air menghimpun kader Partai Sosialis Indonesia . Sejarah telah menyingkirkan peran besar Bung Kecil—begitu Sjahrir biasa disebut. Meninggal dalam pengasingan, Sjahrir adalah revolusioner yang gugur dalam kesepian (TEMPO : 2009)
Sebagaimana halnya “Indonesia Menggugat” bagi Soekarno, maka Sutan Syahrir juga memiliki “Perdjoeangan Kita”. Dalam buku kecil yang “hampir” dilupakan dalam sejarah dan mungkin tidak lagi diingat oleh generasi muda sekarang, si-Bung Kecil Sutan Sjahrir ini mengatakan, “Di seluruh kehidupan rakyat kita, terutama di desa, alam kehidupan serta pikiran orang masih feodal. Penjajahan Belanda berpegang pada segala sisa-sisa feodalisme itu untuk menahan kemajuan sejarah bangsa kita. Penjajahan Belanda itu mencari kekuatannya dengan perkawinan ratio-modern dengan feodalisme Indonesia, menjadi akhirnya contoh fasisme yang terutama di dunia ini. Fasisme di tanah jajahan jauh mendahului fasisme Hitler ataupun Mussolini. Sebelum Hitler mengadakan kamp konsentrasi Buchenwald atau Belzen, Bovan-Digul sudah lebih dahulu diadakan. Oleh karena itu, maka pergerakan rakyat kita dari sejak mula di dalam menentang penjajahan asing sebenarnya menentang feodal-birokrasi, dan akhirnya otokrasi dan fasisme jajahan Belanda”. Pendapat yang menimbulkan kebencian terhadap Sjahrir dari pihak politisi ialah “bahwa revolusi kita harus dipimpin oleh golongan demokratis yang revolusioner dan bukan oleh golongan nasionalistis yang pernah membudak kepada fasis-fasis lain, fasis kolonial Belanda atau fasis militer Jepang. Orang-orang ini harus dianggap sebagai pengkhianat perjuangan. Sekalian politieke collaboratoren dengan fasis Jepang harus dipandang sebagai fasis sendiri”.
Sebagaimana yang diutarakan oleh wartawan senior Rosihan Anwar yang juga dianggap sebagai ”anak ideologis” putra Koto Gadang ini, akibat pendapat tadi beberapa menteri kabinet Soekarno seperti Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Abikusno mengambil sikap oposisi frontal terhadap PM Sjahrir. Wartawan yang meliput sidang KNIP (Komite Nasio-nal Indonesia Pusat) yang berfungsi sebagai parlemen bulan November 1945 di mana beleid politik PM Sjahrir dibicarakan tentu ingat bagaimana Abikusno Tjokrosuyoso mantan Menteri Pekerjaan Umum “mengamuk” dalam ruangan bekas AMS Salemba Batavia, hanya karena dianggap sebagai kaki tangan Jepang. Menurut Sjahrir, gerakan kebangsaan yang memabukkan dirinya dengan nafsu membenci bangsa-bangsa asing untuk mendapat kekuatan niscaya pada akhirnya akan berhadapan dengan seluruh dunia dan kemanusiaan. Nafsu kebangsaan yang pada mulanya dapat merupakan suatu kekuatan itu, mesti tiba pada satu jalan buntu dan akhirnya mencekik dirinya sendiri dalam suasana jibaku. Kekuatan yang kita cari adalah pada pengorbanan perasaan keadilan dan kemanusiaan. Hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan dapat mengantar kita maju di dalam sejarah dunia. Nyata pula bahwa kaum pemuda, terutama yang terpelajar yang sekarang berkobar-kobar dengan semangat kebangsaan tak akan dapat menjalankan terus kewajibannya sebagai perintis, jika semangat kebangsaannya itu tidak diisi dengan semangat kerakyatan dan semangat kemasyarakatan, demikian tulis Sjahrir pada tahun 1945. Kendati itu cerita dan masalah dari 60 tahun yang lampau, namun pokok-pokok pikiran yang diutarakan oleh Sjahrir tadi masih relevan sebagai bahan masukan untuk memahami dan menilai keadaan kita dewasa ini. Peringatan Sjahrir terhadap bahaya dan ancaman fasisme, keprihatinannya terhadap sikap dan mentalitas fasis yang berkembang di kalangan pemuda masa itu, tidak boleh kita abaikan begitu saja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa fasis berarti penganut fasisme, dan kata fasisme bermakna prinsip atau paham golongan nasionalis ekstrem kanan yang menganjurkan pemerintahan otoriter. Tidak usahlah kita menggunakan istilah fasis melulu dalam kaitan dengan suatu paham atau prinsip serta sistem politik tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari orang bisa berkata “Kamu fasis”, dan yang dimaksudnya ialah “Kamu tidak demokratis, tukang paksa, abang kuasa, mau menang sendiri, penindas.” Dalam hal ini kata “fasis” telah memperoleh perluasan makna, melampaui makna orisinalnya, namun intisari pengertiannya masih ada.
Sejarah sudah mencatat dengan baik, bahwa negeri Nazi-Jerman tahun 1930-an adalah contoh tempat sikap fasis dipraktikkan dengan gencar. Pemuda Hitler dan Pasukan Kemeja Coklat yang bertindak sebagai tukang pukul memaksa rakyat untuk tunduk dan patuh pada perintah. Semboyan mereka ialah “Marschieren oder Krepieren”, artinya berbaris atau mati. Kaum fasis selalu melakukan kekerasan terhadap orang atau golongan yang tidak mereka sukai. Mengapa kita teringat buku kecil Sjahrir tahun 1945 “Perdjoeangan Kita” yang menyebutkan soal fasis? Karena pada hakikatnya hal itu 60 tahun kemudian belum hapus dalam masyarakat kita. Tabiat dan sikap fasis adalah salah satu warisan dari zaman dulu. Kalau kita baca berita tentang Farid Faqih seorang aktivis sosial dari sebuah LSM datang ke Aceh turut memberikan bantuan kepada para korban tsunami telah ditahan oleh militer karena dituduh mengambil barang milik orang lain, lalu digebuk ramai-ramai oleh perwira dan perjuritnya, apakah kejadian itu suatu manifestasi kemarahan dan letupan emosional semata-mata di pihak militer bersangkutan? Menjelang berakhirnya rezim Orde Baru Soeharto, tatkala terjadi demo-demo mahasiswa dan rakyat terhadap pemerintah, maka terdengar berita tentang penculikan-penculikan yang dilakukan oleh sekumpulan militer yang mendapat didikan khusus memadamkan huru hara di kota-kota (ingat kasus penculikan aktifis era 1998). Ternyata korban banyak yang hilang, tidak diketahui lagi selama-selamanya, dan mereka yang bisa keluar bercerita tentang siksaan-siksaan badan yang mereka alami. Bukankah ini juga manifestasi sikap fasis? .... Akhirnya, pantas untuk kita kutip pendapat Rosihan Anwar bahwa terkadang kita tidak boleh menutup mata terhadap peristiwa kekerasan. Kita harus jujur mengakui sikap fasis adalah sebuah tabiat yang kita warisi. Kalau sudah mengakui itu, maka usaha kita berikut ialah bersama-sama menghilangkan segala yang bersifat fasis, dan belajar melaksanakan kehidupan yang beradab dan berperikemanusiaan.
Sumber : Rosihan Anwar (2008) dan Tempo, Agustus 2009
Sutan Sjahrir mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan walau dia sendiri absen dari peristiwa besar itu. Dia memilih jalan elegan untuk menghalau penjajah. Yakni melalui diplomasi: cara yang ditentang ”Bapak Revolusi” lain. Ideologinya, antifasis dan antimiliter, dikritik hanya untuk kaum terdidik. Maka dia dituduh elitis. Sejatinya, Sjahrir juga turun ke gubuk-gubuk, berkeliling Tanah Air menghimpun kader Partai Sosialis Indonesia . Sejarah telah menyingkirkan peran besar Bung Kecil—begitu Sjahrir biasa disebut. Meninggal dalam pengasingan, Sjahrir adalah revolusioner yang gugur dalam kesepian (TEMPO : 2009)
Sebagaimana halnya “Indonesia Menggugat” bagi Soekarno, maka Sutan Syahrir juga memiliki “Perdjoeangan Kita”. Dalam buku kecil yang “hampir” dilupakan dalam sejarah dan mungkin tidak lagi diingat oleh generasi muda sekarang, si-Bung Kecil Sutan Sjahrir ini mengatakan, “Di seluruh kehidupan rakyat kita, terutama di desa, alam kehidupan serta pikiran orang masih feodal. Penjajahan Belanda berpegang pada segala sisa-sisa feodalisme itu untuk menahan kemajuan sejarah bangsa kita. Penjajahan Belanda itu mencari kekuatannya dengan perkawinan ratio-modern dengan feodalisme Indonesia, menjadi akhirnya contoh fasisme yang terutama di dunia ini. Fasisme di tanah jajahan jauh mendahului fasisme Hitler ataupun Mussolini. Sebelum Hitler mengadakan kamp konsentrasi Buchenwald atau Belzen, Bovan-Digul sudah lebih dahulu diadakan. Oleh karena itu, maka pergerakan rakyat kita dari sejak mula di dalam menentang penjajahan asing sebenarnya menentang feodal-birokrasi, dan akhirnya otokrasi dan fasisme jajahan Belanda”. Pendapat yang menimbulkan kebencian terhadap Sjahrir dari pihak politisi ialah “bahwa revolusi kita harus dipimpin oleh golongan demokratis yang revolusioner dan bukan oleh golongan nasionalistis yang pernah membudak kepada fasis-fasis lain, fasis kolonial Belanda atau fasis militer Jepang. Orang-orang ini harus dianggap sebagai pengkhianat perjuangan. Sekalian politieke collaboratoren dengan fasis Jepang harus dipandang sebagai fasis sendiri”.
Sebagaimana yang diutarakan oleh wartawan senior Rosihan Anwar yang juga dianggap sebagai ”anak ideologis” putra Koto Gadang ini, akibat pendapat tadi beberapa menteri kabinet Soekarno seperti Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Abikusno mengambil sikap oposisi frontal terhadap PM Sjahrir. Wartawan yang meliput sidang KNIP (Komite Nasio-nal Indonesia Pusat) yang berfungsi sebagai parlemen bulan November 1945 di mana beleid politik PM Sjahrir dibicarakan tentu ingat bagaimana Abikusno Tjokrosuyoso mantan Menteri Pekerjaan Umum “mengamuk” dalam ruangan bekas AMS Salemba Batavia, hanya karena dianggap sebagai kaki tangan Jepang. Menurut Sjahrir, gerakan kebangsaan yang memabukkan dirinya dengan nafsu membenci bangsa-bangsa asing untuk mendapat kekuatan niscaya pada akhirnya akan berhadapan dengan seluruh dunia dan kemanusiaan. Nafsu kebangsaan yang pada mulanya dapat merupakan suatu kekuatan itu, mesti tiba pada satu jalan buntu dan akhirnya mencekik dirinya sendiri dalam suasana jibaku. Kekuatan yang kita cari adalah pada pengorbanan perasaan keadilan dan kemanusiaan. Hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan dapat mengantar kita maju di dalam sejarah dunia. Nyata pula bahwa kaum pemuda, terutama yang terpelajar yang sekarang berkobar-kobar dengan semangat kebangsaan tak akan dapat menjalankan terus kewajibannya sebagai perintis, jika semangat kebangsaannya itu tidak diisi dengan semangat kerakyatan dan semangat kemasyarakatan, demikian tulis Sjahrir pada tahun 1945. Kendati itu cerita dan masalah dari 60 tahun yang lampau, namun pokok-pokok pikiran yang diutarakan oleh Sjahrir tadi masih relevan sebagai bahan masukan untuk memahami dan menilai keadaan kita dewasa ini. Peringatan Sjahrir terhadap bahaya dan ancaman fasisme, keprihatinannya terhadap sikap dan mentalitas fasis yang berkembang di kalangan pemuda masa itu, tidak boleh kita abaikan begitu saja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa fasis berarti penganut fasisme, dan kata fasisme bermakna prinsip atau paham golongan nasionalis ekstrem kanan yang menganjurkan pemerintahan otoriter. Tidak usahlah kita menggunakan istilah fasis melulu dalam kaitan dengan suatu paham atau prinsip serta sistem politik tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari orang bisa berkata “Kamu fasis”, dan yang dimaksudnya ialah “Kamu tidak demokratis, tukang paksa, abang kuasa, mau menang sendiri, penindas.” Dalam hal ini kata “fasis” telah memperoleh perluasan makna, melampaui makna orisinalnya, namun intisari pengertiannya masih ada.
Sejarah sudah mencatat dengan baik, bahwa negeri Nazi-Jerman tahun 1930-an adalah contoh tempat sikap fasis dipraktikkan dengan gencar. Pemuda Hitler dan Pasukan Kemeja Coklat yang bertindak sebagai tukang pukul memaksa rakyat untuk tunduk dan patuh pada perintah. Semboyan mereka ialah “Marschieren oder Krepieren”, artinya berbaris atau mati. Kaum fasis selalu melakukan kekerasan terhadap orang atau golongan yang tidak mereka sukai. Mengapa kita teringat buku kecil Sjahrir tahun 1945 “Perdjoeangan Kita” yang menyebutkan soal fasis? Karena pada hakikatnya hal itu 60 tahun kemudian belum hapus dalam masyarakat kita. Tabiat dan sikap fasis adalah salah satu warisan dari zaman dulu. Kalau kita baca berita tentang Farid Faqih seorang aktivis sosial dari sebuah LSM datang ke Aceh turut memberikan bantuan kepada para korban tsunami telah ditahan oleh militer karena dituduh mengambil barang milik orang lain, lalu digebuk ramai-ramai oleh perwira dan perjuritnya, apakah kejadian itu suatu manifestasi kemarahan dan letupan emosional semata-mata di pihak militer bersangkutan? Menjelang berakhirnya rezim Orde Baru Soeharto, tatkala terjadi demo-demo mahasiswa dan rakyat terhadap pemerintah, maka terdengar berita tentang penculikan-penculikan yang dilakukan oleh sekumpulan militer yang mendapat didikan khusus memadamkan huru hara di kota-kota (ingat kasus penculikan aktifis era 1998). Ternyata korban banyak yang hilang, tidak diketahui lagi selama-selamanya, dan mereka yang bisa keluar bercerita tentang siksaan-siksaan badan yang mereka alami. Bukankah ini juga manifestasi sikap fasis?
Sumber : Rosihan Anwar (2008) dan Tempo, Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar