Artikel, tepatnya tulisan yang tidak terstruktur ini merupakan dialog/diskusi di Facebook saya yang rasanya "sayang" untuk tidak dipost di Blog ini. Ada pertentangan, pergulatan ideologi, pride dan berbagai istilah lainnya. Diskusi di FB saya ini sedikit banyaknya memberikan pencerahan (khususnya) bagi saya. Dalam konteks inilah, alangkah dan eloknya, saya susun kembali pointers diskusi yang berangkat dari topik "panas" pula. Dari 64 komentar, saya ringkas-kan menjadi 22 komentar. Semoga bermanfaat adanya !.
Muhammad Ilham : Membaca Khomeini dan pemikirannya, rasanya seperti membaca ensiklopedis dimana dalam pemikirannya tergabung stois Platonis, filosof Aristotelian, mistisisme-sufistik, dengan mudah membahas pemikiran tokoh Sufi Busthami. Dan yang terbagus adalah, ia bukan ideologi yang asyik-masyuk serta bersibukkan diri menerjemahkan teori para akademikus Barat. Ia "mandiri" dan tidak bangga menggemborkan trias-politika, namun ia mempersembahkan sebuah sistem negara yang hingga kini menjadi David di hadapan Goliath dunia, dan pemikir yang tidak hanya melahirkan karya tulis tapi membiakkan ribuan karya hidup mulai dari politikus sekaliber Ayatullah Al Uzma Beheshti, intelektual kawakan sespektakuler Murtadha Muthahhari, bahkan sampai sampai fisikawan sepandai Mostafa Chamran yang entah kenapa hingga hari ini tidak mendapatkan NOBEL Fisika itu, dan kader militan sesederhana Mahmoud Ahmadinejad. Ia mengenyampingkan anak-nya yang pintar Ahmad Khomeini yang zuhud-smart, untuk membentuk sebuah sistem yang bersih tanpa kronisme, sebuah biang atau penyebab hancurnya Ustman bin Affan serta Dinasti-DinastiIslam yang despotik. Dalam konteks ini, rasanya kita bisa bangga dengan Khomeini karena ia Islam. ada usia yang masih cukup muda, Khomeini telah mengembangkan suatu visi tentang Islam yang berbeda, yang meliputi dimensi spiritual, intelektual, sosial dan politiknya, yang telah dipegangnya dengan teguh selama lebih dari setengah abad. Sesungguhnya salah satu ciri sifatnya yang paling nyata adalah tingkat konsistensinya yang tinggi dan tak akan banyak dimiliki orang. Ia tidak mau "menunggangi" nama besar dan ajaran Islam untuk kepentingan Pribadinya. Sesuatu yang tidak kita jumpai di "ranah" politik Islam Indonesia yang katanya Muslim Terbesar Dunia dan Memiliki Etika dan Sopan Santun Politik ... Membaca buku "WASIAT SUFI" karangan Ayatullah Khomeini, seumpama membaca "HAYATUN MUHAMMAD"-nya Hussein Haikal. Kebetulan saya sudah beberapa kali mengulang membacanya. Dari buku ini akan terlihat "kesalahan paradigma Barat memandang sosok tua-berjenggot" putih ini. Bagi banyak orang Barat, adalah nama yang lekat dengan fundamentalisme, ekstrimisme dan otoritarianisme. Kenyataannya, berbeda dari yang sering dipahami banyak orang. Imam Khomeini, seperti diuraikan dalam buku tersebut justru sarat dengan unsur-unsur human interest, seperti keterbukaan, kasih sayang, kepedulian dan bahkan modernitas. Semuanya mengisyaratkan satu hal bahwa, jauh sebelum dikenal sebagai mulla-faqih dan pemimpin Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khomeini, tak diragukan lagi, adalah seorang sufi. Tasawuf Imam Khomeini, tidaklah berpandangan untuk menolak dunia ini, tetapi menjadi basis bagi kegiatan-kegiatan keduniaan. Membaca Buku Ini rasanya seperti membaca Buku-Buku Hamka, membawa kita memahami Sufi yang "tidak lari" dari dunia riil.
Emmeraldi Chatra : lham, Khomeini tidak nikah mut'ah ? Ini debatable. Beberapa tahun lalu, ketika saya lagi getol-getolnya mempelajari seluk beluk nikah mut'ah saya membaca sebuah buku, kalau tidak salah judulnya ”Mengapa Saya Keluar dari Syiah”, yang menceritakan keterlibatan Khomeini dalam praktik mut'ah. Tapi tidak seperti penulisnya yang menceritakan dengan nada benci, justru, saya menerimanya dengan senang hati, karena saya terlanjur jatuh cinta kepada nikah mut'ah itu hehehe. Karena Rafsanjani menganjurkan remaja-remaja Iran melakukan nikah mut'ah dalam pidato politiknya, saya kira tidak ada petinggi Immamiyah yang tidak memprakktekan nikah mut'ah.
Andri Aziz : Bang Emeraldy, saya setuju dengan abang, saya juga baca beberapa buku yang menerlibatkan Khomeini dalam nikah mut'ahnya source paling dicari sekaligus paling disembunyikan adalah buku "lillah tsumma littarekh" - Demi Allah dan Demi Sejarah, karangan Sayid Husein Almuswiy. Bahkan di buku ini dijelaskan tentang perbedaan pandangan khomeini tentang usia yang dibolehkan bagi seorang wanita dimut'ah yaitu umur 2 tahun, berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama syiah yaitunya usia 10 tahun. Kakanda Ilham, AN setuju dengan poin-poin mantapnya Syiah di dalam mengedepankan diri Islam ke mata dunia (karena memang syiah menampakkan diri) tapi ada suatu hal yang harus benar-benar kita kaji sebagai seorang Muslim terlepas sunni atau tidak, mengapa di dalam filem yang berjudul OSAMA Islam diidentikkan dengan agama mandi wajib dan agama poligami ? mengapa Islam diidentikan dengan agama teroris atau paling tidaknya sebagai agama pencari masalah ? AN akan jawab dengan dua hal utama saja. Pertana karena masih adanya praktek nikah mut'ah di dalam Islam (Syiah) kedua, karena Iran sering cari masalah dengan Barat (Ahmadinedjad), toh tidak semua negara Islam sanggup dengan persenjataan, kok yang nantang Iran yang dibunuh malah Iraq. Ini juga harus kita pertanyakan, ngak-ngaku ada senjata nuklir Iran yang digempur Iraq.
Muhammad Ilham : Pak EM dan AN, Saya juga punya buku Sunni yang menjelekkan Mut'ah dan Mahdi-nya Syiah, sebagaimana saya juga mempunyai segelintir buku Syiah yang menggugat pemahaman Sunni. Konteksnya kita adalah bagaimana berada dalam sebuah Conclusi : "Bukan Saling Menjelekkan". Bagaimana kita tidak masuk bahagian itu. SEDERHANA. Tentang Mut'ahnya dan anjuran Rafsanjani, samalah halnya kita membaca buku seperti "Bobroknya Sistem Perkawinan Eropa yang ditulis oleh Orang Indonesia yang sangat Menghargai nilai istitusi Keluarga". Bacalah hakikat dan konteks pemahaman Nikah Mut'ah itu, saya rasa tak se-ekstrem yang kita bayangkan yang berbau Fun dan Sensualitas. Serendah itukah ? Begitu banyak persoalan-persoalan besar IRAN-SYIAH, lalu mengapa harus direduksi dengan Mut'ahnya. Sama-lah halnya dengan Jumlah SELIR Dinasti-Dinasti Islam Zaman dulu yang ribuan. Dalam konteks apa kita memahami itu. Ali Shariati yang sangat cinta berat terhadap Syiah, tak sedikitpun menyinggung Mut'ah. (jadi panjang !!!) Mengenai yang kedua, Iran tidak sering cari masalah. Beda dengan Arab saudi yang "mewakafkan" sedikit wilayahnya untuk AS membombardir saudara sesama muslimnya di Irak. Iran bagi saya adalah segelintir negara di Teluk yang jauh memiliki Harga Diri. Coba tunjukkan pada "dunia" negara-negara mana di Timur Tengah memperjuangkan Palestina, SO hanya IRAN. Arab Saudi .... Nehi, bahkan diam. Kuwait, UEA dan seterusnya negara-negara teluk kaya minyak, justru para pangerannya lebih sibuk beli Kasino dan Klub Sepak Bola. Sementara Palestina justru dibackup Iran dan Islam Asia Tenggara. Mesir, setelah Perang Arab, mereka dapat Gurun Sinai yang awalnya untuk dihibahkan pada Palestina, nyatanya untuk mereka sendiri. Demikian juga Dataran Tinggi Golan dan Lembah Beka. Jadi, sekali lagi, Iran tidak diidentikkan dengan terorisme. Tidak ada satu-pun orang Iran yang tercatat jadi TERORIS. Padahal, nilai teologis-fanatisme mereka jauh lebih besar (dasar-dasar Asyura) dibandingkan Sunni. Tapi mengapa Sunni yang banyak mencederai Islam dengan aksi Terorisme. Potensi fanatisme Syiah justru terlihat dari kualitas intelektual mereka. Sejarah mencatat, selain Ibnu Syina dan Al-Kindi bahkan hingga hari ini, hampir tak ada intelektual yang berbasiskan Sunni-Timur Tengah.
Andri Aziz : AN melihat semua ini karena kita membahasakan agama bang. Jika kita membahasa dunia dan tidak pada agama AN akan setuju saja. Toh dunia
Muhammad Ilham : Ada teori dalam Sosiologi : "Struktural Fungsioanl" - Suatu fenomena/peristiwa akan tersrtruktur dengan baik karena fungsional bagi masyarakatnya, bila disfungsi, maka ia akan hilang dengan sendirinya". Poligami dahulu fungsional, tapi sekarang sudah sampai pada taraf dis-fungsi. Bisa saja, Mut'ah adalah sesautu yang ada dalam tataran normatif pemahaman mereka, tapi dalam praktek relasi sosialnya, hampir dis-fungsi. Dan kecenderungan itu sudah terlihat. Bacalah buku-buku intelektual muda Syi'ah yang tidak memberikan apresiasi pada mut'ah, termasuk Ali Shariati. Sama halnya dengan Poligami yang dalam ajaran Islam (Sunni) diberi ruang, tapi toh belakangan ini, dalam relasi sosial, justru tak mendapat justifikasi sosial yang memuaskan
Andri Aziz : AN setuju, tataran normatif pemahaman mereka dan ajaran sunni. Sebenarnya sudah menjelaskan bahwa dua hal ini syiah dan sunni adalah berbeda bang, AN tidak nyolot banget jika dari dulu pertanyaan mengapa sunni dan syiah tetap disatukan padahal nabinya saja sudah berbeda ? bukankah hal ini rada-rada mirip dengan kristen dan Islam? Nabi yang menjadi Tuhan (Kristen) sahabat-manusia biasayang menjadi nabi (syiah). AN rasa kita sudahi saja kakanda ilham yang budiman dan cendekia tentunya :)..karena AN tidak terlalu suka menjelaskan akidah (sebagai patokan dasar keberagamaan manusia-tauhidnya Islam, trinitasnya Kristen, Trimurtinya Hindu dan lain-lain, dengan penghubungan yang dilogikan pada kehidupan duniawi. Sebanding dengan kesenangan AN diskusi tentang masalah filsafat, menembus secara vertikal menuju ketuhanan lebih masuk akal, daripada membahas sebuah society yang berasal dari ketidak jelasan yang tiba-tiba mendapat dukungan untuk diperjelas namun mempunyai cita-cita yang tidak masuk akal, karena AN tidak bisa memisahkan ketika membahas masalah syiah dengan apa yang mereka anggap sebagai akidah mereka namun tetap memakai kitab suci yang sama, mencela kerasulan Muhammad Saw. namun tetap menggunakan Al-Quran yang dibawa Muhammad SAW. sebagai pusat risetnya dan katanya sambil menunggu kitab suci yang benar-benar milik mereka (implikasi cita-cita pencampakan al-Quran) dan satu lagi menunggu Mahdinya mereka (bukan mahdinya Islam) yang membawa risalah penghancuran Ka'bah dan memindahkan kiblat ke Karbala. Ironi kelompok yang menamakan diri dengan nama yang sama, namun seperti menusuk ubun-ubun dan parahnya poin-poinnya ternyata mirip dengan isi protokoler Yahudi yang Zionis, dan ini bisa dimaklumi karena pendiri syiah (Abdullah bin Saba) adalah seorang Yahudi yang "bisa dikatakan" zionis..:) Wallahu 'alam dna mudah-mudahan AN salah :) hehe...niru bang Ilham.
Muhammad Ilham : Yup Andri. Sungguh menarik berdiskusi dengan andri. Dalam usia yang muda, andri memiliki pemahaman yang bagus berbasiskan bacaan. Kemampuan empati sungguh bagus. Menarik diskusinya (abang mungkin juga harus banyak bertanya dan belajar pada Andri). SEDIKIT sebagai Penutup untuk Topik ini : Sejak mahasiswa, abang membaca buku-buku karangan Ali Shariati, Khomeini, Thabatthaba'i, Nateq Nauri, Baqr al Sadr, Mutahhari sebagaimana abang juga suka membaca buku-buku Hassan al-Banna, Sayyid Qutb dan Muhammad Iqbal. Tapi abang tak pernah sekalipun menemukan ungkapan "miring" pada Nabi Muhammad, bahkan kekaguman mereka pada Nabi ini luar biasa. Kalau pencitraan ALI cukup tinggi dibandingkan misalnya Abu Bakar, Utsman dan Umar (mungkin kita terus belajar!)
Andri Azis : Iya bang...perbanyak maaf saja bang, mungkin basis bacaanya yang beda bang :) Mesir mungkin bisa dikatakan kaya khazanah sunni sekaligus syiah..hm abang tentu tau sejarah Al-Azhar, yang pada awalnya adalah jamiah berbasiskan syiah yang kemudian diubah menjadi basis sunni terkuat, dan di seberang mesjid Azhar yang sunni berdiri mesjid Husein (dengan kuburan kepala husein;katanya) di dalamnya yang tidak kalah megahnya bang, Insya Allah jika kita sama diberi rezeki nanti abang akan lihat atau jangan jangan abang sudah melihatnya.
Emmeraldi Chatra : Dari posting Sdr Andri Aziz saya membuat simpulan diskusi ini bisa mengarah pada debat firqah yang sejatinya sudah berumur ratusan tahun.Andri sangat mewarisi kebencian terhadap Syiah dan menganggap Syiah itu sudah diluar Islam, sebaliknya yang Islam adalah apa yang ia yakini. Sangat disayangkan, karena menutup kemungkinan akan munculnya pikiran yang akomodatif terhadap keragaman dalam menakwil. Sungguh saya tidak mengerti mengapa semangat permusuhan Sunni-Syiah masih juga dipelihara ketika kita menyadari bahwa pertikaian klasik itu sebenarnya mempunyai motif politik yang sangat kental, bukan agama. Mustinya jangan lupa bahwa ketika Sunni menganggap Syiah bukan Islam, Syiah juga melakukan tindakan yang sama. Semangat permusuhan ini tidak ada untungnya,jika kita mau menyadari, kecuali memberi peluang kepada pihak luar untuk terus mengadu domba antar sesama muslim.
Muhammad Ilham : Pak Em, bukan kebencian. Tapi mengkritisi. Dan masukan diskusi kita di status ini saya fikir bisa memperkaya perspektif kita bersama. Terkadang (bahkan hampir PASTI) bahan bacaan mengarahkan opini dan mainstream kita ... tinggal bagaimana kita memupuk MENTAL berbeda pendapat.
Emmeraldi Chatra : Saya yakin,diskusi akan membukakan mata hati kita terhadap kebenaran yang ada pada kubu lain,yang selama ini mungkin tidak kita terima.Namun apabila diskusi sudah dimulai dengan kata "kita" dan "mereka" dengan aksentuasi yang tajam, penuh aroma ketidaksukaan, diskusi hanya akan jadi arena debat kusir karena "kita" tidak akan pernah menerima kebenaran "mereka". Bagi Sunni tradisi mut'ah yang diamalkan kelompok Syiah selalu jadi titik tengkar (disamping taqiyah dan khums) yang digunakan untuk menggusur Syiah dari Islam. Pikiran Sunni terhadap mut'ah benar-benar tertutup, dan mungkin hingga hari kiamat pun mereka tidak akan menerimanya. Sebenarnya penolakan itu tidak jadi masalah, karena pemahaman keagamaan itu memang tidak mungkin selalu sama. Namun ketika penolakan diberi bobot "pasti", pasti keliru, pasti salah, pasti sesat, ceritanya jadi lain. Penolakan bukan lagi dalam kerangka pencarian kebenaran yang hakiki, tapi dalam rangka institusionalisasi kebencian antar firqah belaka. Bagi saya, inilah cara pandang yang kontraproduktif.
Andri Azis : Saya tidak mewarisi apa-apa dari keadaan yang abang/ bapak sebut dengan kebencian dan saya sudah jelaskan ketidaksukaan jangan selalu disamakan dengan kebencian, bahkan kitapun yang telah hidup dan berkembang dalam budaya intelektual masih saja meletakkan "ketidaksukaan" sejajar dengan "kebencian", coba dikaji lagi kata-kata dan tindakan "ketidaksukaan" dan "kebencian" ini, karena saya paham tidak ada ruangan untuk saling membenci selama yang kita bincangkan adalah sebuah kajian akademis (jika kita bisa menamakannya dengan itu), jika kita berbicara tentang si anu yang membunuh si anu, mungkin kita bisa pakaikan kata kata si anu benci si anu, namun ketika si anu tidak mau menyetujui si anu dan si anu, jangan kemudian kita artikan karena tidak setuju (tidak suka) ini dengan benci, kita mengkritisi (setuju dengan bang Ilham) sebuah tawaran realita yang diberikan oleh sejarah. Sama halnya dengan kelompok atheis yang menuding kelompok agama sebagai orang "bodoh" dan kelompok agama menuding kelompok atheis dengan orang "tolol", kita lihat dari segi apakah mereka saling berbeda ? sebagai manusiakah atau sebagai anggota berpemahamankah ? saya akan jawab mereka berbeda sebagai berpahaman, yang ingin saya sampaikan adalah, ada hal yang merupakan prinsip kita yang memang tidak bisa ditemukan karena kita adalah "makhluk berpemahaman" dan berpemahaman bisa juga diartikan berbeda, karena wilayahnya adalah wilayah prinsip apalagi jika kemudian ada kaitannya dengan agama, dan setiap agama toh memiliki prinsip kemutlakan, beda kalau kita bicara masalah pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, kita akan tiba tiba bersatu dna tidak akan berbeda untuk mengatakan pembunuh adalah penjahat, karena kita berbicara sebagai" manusia" bukan "makhluk berpemahaman". Dalam masalah sunni dan syiah mengapa terjadi perdebatan panjang, karena ada yang merusak tatanan tunggal awal...dalam masalah ini saya menitelkan syiah sebagai itu, beda kalau seandainya pada abad kedua Islam datanglah agama baru bernama Syiah tentu pembahasan akan lain. Islam akan memperketat security bagi pemeluknya sama seperti Kristen mensecure pemeluknya agar tidak pindah ketika Islam datang. Nah masalahnya adalah syiah dan sunni, saya memanngil diri saya sebagai sunni karena dunia juga memanggil begitu. Oke, saya sunni, mengakui Allah sebagai Tuhan Tunggal, Esa, Nabi Muhammad sebagai Rasul penutup risalah, para sahabat yang diberikan garansi penuh oleh Nabi Muhammad termasuk nabi dan ahlul bait sebagai sebaik baik insan dan generasi cemerlang setelahnya, tuntunan yang apik dan rapi dan yang paling penting adalah logis dan loyal, kemudian dimanakah sebuah pemaham yang datang entah dari mana dan oleh seseorang yang mengandalkan akalnya saja (akal untuk sebuah yang di atas akal) dan mangatakan bahwa Ali adalah Tuhan, yang kemudian diartikan dewa atau nabi, coba baca lagi tentang asal muasal fitnah ini. Lalu tentang dosa kaum suni, saya tentu tidak akan mengatakan bahwa sejarah ini menulis dengan kebaikan saja...lalu apakah denga kesalahan syiah yang membuat percabangan dalam Islam ini dan menjadi muasal dari perdebatan tanpa henti ini (terlepas ini adalah takdir Tuhan) kemudian demi membela kelompok ini kita malah mengatakan dan membandingkan dengan kesalahan kelompok pesaingnya, logika macam apakah ini, saya jadi tiba-tiba teringat keadaan negara ini, kelompok tertuduh mencari kenyataan salah yang lain demi menutupi salah sendiri, padahal memang dialah yang membuat muasal masalah...wallahu a'lam..semoga saja saya salah (ulang lagi).
Emmeraldi Chatra : Kebencian" dan "ketidaksukaan" memang berbeda secara semantis, dan itu tidak memerlukan pendidikan yang terlalu tinggi untuk membedakannya. Tapi keduanya - kebencian dan ketidaksukaan -- berada pada garis kontinum yang sama, hanya berbeda spektrum. Tidak ada kebencian yang muncul dari sikap netral atau suka. Ketidaksukaan lebih mendekati titik netral,sedang kebencian berada pada ujung yang ekstrim. Yang jelas, keduanya adalah sikap negatif terhadap suatu obyek. Kalau memang kita hendak bicara pada tataran akademik,sikap negatif terhadap suatu obyek jadi topik yang memerlukan diskusi sendiri. Tradisi positivistik mengharamkan adanya value dan preasumption ketika hendak membicarakan obyek, katakanlah Syiah atau mut'ah dan menekankan pada obyektivitas. Namun tradisi interpretif/konstruktivis/fenomenologi tidak menuntup kemungkinan dilakukan pemihakan dan pemberian bobot nilai subyektif terhadap obyek. Masalahnya,itu manusiawi. Dalam konteks Suni-Syiah masalahnya sudah lain. Pemihakan sudah melewati garis batas yang bisa ditolerir oleh kaum fenomenolog sekalipun. Kebencian itu melembaga, diwariskan,dan diterima tanpa reserve oleh generasi sesudahnya. Karena itu ketidaksukaan dalam wacara Suni-Syiah tidak ada bedanya dengan kebencian.Kebencian menyebabkan mata hati menjadi tertutup, tidak mampu menangkap secuil kebenaran, bahkan tertutup untuk keragu-raguan sekalipun tuduhan bahwa Syiah mempertuhan Ali itu suatu contoh yang jelas. Tolong telusuri kembali dari mana asal-muasal dongeng itu. Bukankah cerita itu bersumber dari sumber tunggal : Sayf Ibn Umar al-Dhabbi al-Usayyidi al-Tamimi, yang kemudian dikutip secara ceroboh oleh Tabari. Sayf Ibn Umarlah yang menceritakan perihal Abdullah bin Saba, tanpa bandingan dari catatan lain. Banyak ulama Sunni (diantaranya al Hakim, Nasa'i, Abu Hatam, Abu Dawud) mengatakan Sayf itu pembohong, apalagi ulama-ulama Syiah. Tapi mengapa cerita bohong Sayf itu masih didengungkan hingga sekarang? Jawabannya ialah karena ketidaksukaan/kebencian sudah jadi dasar argumen. Jelas sikap yang tampak bukan lagi sikap ilmiah,tapi sikap ideologis yang berkacamata kuda.
Andri Azis : Sebelum dan sesudahnya saya mohonkan banyak maaf jika telah banyak berbeda pendapat dengan abang atau bapak yang tentu sudah banyak lebih tahu dari saya ini. Jikalau salah tolong ditunjuk ajari selayaknya umur yang masih muda ini, tapi kita ketika bicara tak kan ada bisa lepas dari subjektifitas walaupun sudah berusaha seobjektif muingkin, dan itu bagi saya wajar karena manusia bentuknya saja yang serupa namun kepala dan olah pikirnya tentu berbeda hakikat tauhid dan sekaligus tanda tauhid bukti adanya Tuhan dan ketika kita bicara agama, tentu kita harus memilih mau jadi apa, jangan sampai umur sudah habis dan maut sudah menjelang namun jalan menuju ke syurga belum juga kita liat bahkan kita pilih, pilihlah salah satu asalkan benar dari asalnya apapun itu insya Allah akan membantu sedangkan sudah memilih saja ntah masuk syurga ntah tidak apalagi jika masih melihat-lihat alias window shoper...heheh..semoga bertemu di topik yang lain dan dengan "kehangatan" yang masih sama dan terimakasih pada bang Ilham..sungguh banyak yang bisa adinda ambil dari diskusi kali in :) salaam buat malaikat malaikat kecil abang :)
Muhammad Ilham : Andri dan Pak Em, Semalam saya bongkar-bongkar lagi buku-buku Syiah dan buku-buku Sunni karangan ulama-ulama Malaysia. Akhirnya saya berpendapat Pak EM dan Andri benar, suatu saat saya berfantasi, kita duduk bertiga dan berempat atau berapapun untuk "Bersitembung Secara Akademik" mencari titik temu dan berempati terhadap perbedaan yang ada. Terima kasih andri atas salam buat anak-anakku. Terima kasih buat Pak Emmeraldi Chatra yang membuat "diskusi" ini menjadi hidup. Luar biasa. Semoga di topik yang lain, argumentasi mencerahkan dari Bapak EM dan Andri selalu dinanti dengan tangan sangat terbuka.
Emmeraldi Chatra : Ilham: Memang menarik diskusi ini,tapi sangat sayang jika terlalu cepat ditutup. Saya menyimpulkan, perseteruan Sunni-Syiah tampaknya belum akan berakhir hingga beberapa abad ke depan. Soalnya,seperti yg saya tulis, ada kebencian yang diwariskan. Sekalipun Mahmud Syaltut, mufti Mesir mengatakan di th 50-an bahwa Syiah itu muslim, dan fiqh Ja'fari boleh dipakai oleh kaum Sunni, toh kelompok2 yang menginginkan permusuhan terus dilembagakan tidak mau menyerah. Mereka mencerca Syaltut dengan mengatakan ulama itu tidak tahu apa-apa tentang Syiah (jelas menggelikan mengingat Syaltut adalah ulama yang dalam ilmunya). Untuk tetap eksis kelompok pro-permusuhan tetap membuat kader2 yang enggan berdamai, yang memendam kebencian di dada dan menganggap Syiah itu diluar Islam.Akan begini teruskan nasib umat Islam? Akankah umat Islam terus sibuk dengan kesombongan pikiran masing-masing dan mengkapling surga dan neraka sebagai hak milik kelompok mereka? Wallahualam. Satu hal yang kurang dipahami oleh pembenci Syiah, juga pembenci Sunni dari kalangan Syiah ialah bahwa saling benci diantara kedua kelompok sudah diboncengi dan diperteguh oleh politik adu domba Inggris di abad ke-19. Inggris sengaja menjadikan Syiah dan Sunni sebagai identitas etnis. Syiah itu Parsi, Sunni itu Arab. Politik adu domba mereka gunakan untuk melemahkan kekuatan Turki Osmani yang sangat kuat.
Andri Azis : Betul itu pak Em, Syekh Syaltut adalah salah satu kebanggaan civitas akademis di Mesir. Mengenai eksistensi fikih Ja'fari dalam agama Islam yang dibolehkan, sama halnya dengan memakai tafsir Alkasfy karangan Zamahsyari, sedangkan kita tahu Zamahsyari adalah Mu'tazilah...hm...yang saya pertahankan dari awal dan mungkin ini dianggap sebagai perlawanan oleh pak Em, adalah masalah akidah. Saya meletakkan akidah saya sebagai prinsip paling tinggi dalam beragama. Saya tidak akan mau dipaksakan menerima bahwa mut'ah, khums dan takiyah sebagai satu hal yang bisa dibenarkan. Ya jika kita buka skop lebih besar mirip mirip dan beda beda tipislah dengan keadaan seorang muslim di suruh minum khamr. Mungkin bagi non muslim tidak masalah, namun bagi muslim ini adalah sangat masalah, karena hubungan ke itu tadi, akidah, prinsip kita, kemudian jika dipanjangkan lagi, pride kita dan kalau saya tidak salah menganalisa semua hal yang dilakukan oleh syiah sebagaimana sunni, Kristen, Hindu, Budha dan lain lainnya..semua yang dilakukan, apakah itu tata negarakah, jual belikah, ekspansi kah dan lain-lain akan dilakukan berdasarkan prinsipnya tadi, akidah mereka masing-masing. Kita tentu masih ingat bagaiman glory, gospelnya Kristen dan begitu juga dengan agama lainnya. Toh dengan memperkenalkan prinsip-prinsipnya di bidang umum syiah tetap melancarkan kegiatannya akidahnya dengan hums, dua hal ini cukup membuat kita harus hati-hati terhadap ancaman yang kita tidak tau apakah itu, karena takiyah berarti adalah boleh berkata tak sebetulnya kepada yang selain syiah di dalam akidah mereka "bukanlah seorang muslim orang yang tidak melakuka takiyah' silahkan coba diskusi dengan orang Syiah jika hasilnya tidak berbelit belit (dalam masalah akidah). Sekarang sebagai manusia yang arus kita lakukan adalah tetap menjaga adab adab kita sebagai manusia itu menurut saya, saya ketika bertemu orang syiah tetap menghargainya sebagai manusia, makhluk yang mempunyai mata, kepala, hidung dan hati sama seperti kita. Namun saya tetap tidak suka jika sudah menyangkt masalah akidah prinsip kita harga diri kita jika kita bilang bahwa harga diri adalah hal yang menyebabkan ego, saya akan terima itu.karena untuk apa hidup jika tidak mempunyai harga diri dan jika akidah adalah hal yang tdak penting lalu untuk apa kita susah susah belajar ini dan itu kalau pada prinsip pun kita tak memiliki apa yang bisa kita pertahankan menyedihkan hidup yang seperti ini. Semua hanya diukur dengan landasan teori dan setelah melihat silanya teori tak selalu bisa dijadikan landasan bekerja, menangkis dan beramal dalam hidup seseorang...semoga saya salah (pernyataan untuk ketiga kalinya) :D
Muhammad Ilham : Pak EM ........ "Bertupang" dan "Bercabangnya" Islam itu, rasanya bisa kita telusuri dari periode awal Pasca Meninggalnya Rasulullah SAW. Dan secara umum, faktor yang paling signifikan adalah faktor politik (baca: kepemimpinan). Dan akhirnya .... bertemulah apa yang diungkapkan oleh Thaha "sang Buta" Hussein (seorang pemikir Mesir pintar yang dianggap "mbalelo") : "Ketika Politik menunggangi keluhuran sebuah ajaran normatif, maka ia akan terpupuk dengan kebencian untuk waktu yang sangat lama". Bila kita melihat pertembungan Sunni-Syiah dalam koridor "sistem sejarah" tradisi kolonialisme abad 15 - 20 awal, analisa Pak EM bisa saja diterima (setidaknya menurut saya secara subjektif). Jangankan Syiah-Sunni, hanya gara-gara Rokok doang .... NU dan Muhammadiyah di Indonersia sudah dikondisikan untuk dipertembungkan. Karena itulah mungkin perlu-nya kita menghayati apa yang diungkapkan Sayyed Hossein Nasr : "Dialog Peradaban berawal dari Dialog Internal Islam itu sendiri, dan dialog itu harus dimulai dari proses empati dan husnudzhon. Karena setiap entitas normatif/ideologi selalu tumbuh dari proses sejarah dimana identitas entitas normatif itu lahir" (hah, agak ribet). Tapi intinya ....... "Mengapa tidak kita ambil Puncak-Puncak Peradaban Syiah, Sunni, Tareqat, Wahhabiyah dst. .... ya, Puncak-Puncak Peradaban mereka. Mengapa hanya karena persoalan remeh temeh seumpama Mut'ah justru mereduksi puncak-puncak peradaban itu. Akhirnya, dengarlah tangisan Muhammad Iqbal dalam JAVID NAMAH : "Sudahlah Air Mata Sejarah/Beri Kita Pelajaran/Kita Tak Mau Lagi Mengeluarkan Air Mata/Walau Air Mata Itu Terus Mengalir/
Andri Azis : Wah..alhamdulilah...statement akhir seperti layaknya seorang tuan rumah bang Ilham memberikan jamuan yang pas bang, tidak pedas dan tidak pula manis...mazbuuth kalau bahasa sininya...heheh :) terima kasih banyak atas ilmunya bang dan pak em...kami yang masih bocah ini banyak belajar dan banyak berpikir :)
Emmeraldi Chatra : Saya setuju. Kita menghadapi masalah komunikasi antar kelompok/firqah yang sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan umat. Selama ini apa yang kita sebut komunikasi tidak lebih dari adu argumen untuk menengakkan keyakinan/aqidah masing-masing dengan cara mengecilkan aqidah kelompok lain. Karena - seperti ditulis Andri - aqidah sudah dikaitkan dengan pride, harga diri, maka tertutup kemungkinan untuk melakukan tindakan yang lebih dari sekedar empati. Empati itu hanya soal rasa, sedang yang kita perlukan adalah masuk ke wilayah pemikiran orang lain tanpa rasa curiga berlebihan. Orang Sunni mustinya mulai belajar Syiah dengan mengenyampingkan prasangka, demikian juga orang Syiah terhadap Sunni. Masalahnya, berapa banyakkah diantara kedua kelompok yang saling belajar pikiran kelompok lain tanpa bias kecurigaaan, apalagi kebencian?
Sumber : FB Muhammad Ilham Ibn Fadli
1 komentar:
Ha..ha..ha.. kadang lucu baca debat hal ini.Ada yg sok bersikap akademik ( netralitas)smpai membahas secara detail apa itu netralitas.Ketahuilah Sdr2 mana bisa tidak ada pemihakan dalam kepercayaan, sejarah, filsafat ?Coba beritahu akademisi mana, atau prof. mana yg tidak berpihak klu didlm ada pertentangan dlm kepercayaan, sejarah, filsafat?
Klu Sdr2. ingin tahu bgmn Syiah/Suni kenapa tidak pergi investigasi lansung ke sana?sehingga lebih merasakan.Jangan cuma baca dari buku yg ditulis para pendukung/penghujat syiah/suni.Klu masalah NU/Muhammadiyah, ngak usah dijelaskan/baca buku untuk menilainya.krn sudah lama di Jawa. sudah ngertilah awak.
Posting Komentar