Dalam bahasa yang “rada-rada sulit dipahami” Jean Baudrillard (Asraf Piliang, 2003 :19-21) mengatakan bahwa kekerasan masa kini adalah kekerasan yang dihasilkan oleh hipermodernitas kita, adalah teror. Simulakra kekerasan, yang muncul dari balik layar ketimbang dari lubuk hasrat: kekerasan di dalam jagat raya citraan. Artinya, kekerasan telah menjelma ke dalam sense of being budaya kita dalam bentuk citra-citra kekerasan. Hipermodernitas peradaban sebagai pengaruh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (computer mediated communication), meletakkan dasar-dasar horor mundi yang bergentayangan melampui realitas teror itu sendiri. Karena sesungguhnya, teror atau terorisme -seperti kebanyakan orang menyebutnya, dalam artian yang luas tidak saja berupa penggunaan tindakan intimidasi keekerasan secara sistematik untuk kepentingan politik tertentu, alih-alih ia merupakan sebuah potensi psikologis massa dalam bentuk (citra-citra) kekerasan global.
Apakah negara memiliki andil dalam menyokong terorisme global dewasa ini? Pertanyaan ini tidak berusaha untuk memberikan sebuah jawaban konkret terhadap permasalahan terorisme global dewasa ini, tetapi minimal untuk menunujukkan bahwa realitas kekerasan dalam bentuk teror telah menjelma hampir di seluruh belahan dunia dan keterlibatan negara-negara di dalamnya menjadi suatu hal yang mungkin menilik semakin maraknya aksi teror yang ditujukan ke negara-negara tertentu. Siapa yang tidak tahu Amerika Serikat (AS) dan George Walker Bush yang menjadi tokoh puncak dalam memerangi terorisme global. Tapi kegigihan seorang Bush dalam melawan terorisme global patut dipertanyakan. Seringkali tindakan melawan terorisme justeru dengan melakukan aksi teror baik secara fisik atau melalui pemutarbalikan fakta (disinformation) berupa pembentukan opini-opini di media yang disokong oleh media tertentu. Legitimasi struktural dijadikan sebagai justifikasi untuk melakukan tindak kekerasan dengan tujuan “memusnahkan” anasir terorisme walaupun harus mengorbankan rakyat sipil yang tidak bersalah.
Alasan yang paling sering dijadikan sandaran sama saja dengan logika perang, bahwa korban sipil merupakan harga yang harus dibayar. Nyatanya, banyaknya korban sipil terbukti hampir tidak pernah mengurangi kekuatan terorisme itu sendiri. Sebaliknya, aksi teror global justeru semakin meningkat. Aksi peledakan bom di Inggris beberapa waktu yang lalu menjadi bukti terorisme telah menjadi trend masyarakat global. Dengan kata lain, legitimasi struktural kekerasan atas “anjuran” negara atau pemerintah merupakan sebuah kejahatan sempurna (perfect crime) yang memayungi kompleksitas kekerasan di tengah masyarakat. Logika pemerkosaan terhadap realitas kejahatan disembunyikan sedemikian rupa dengan cara menimpakan model citra kekerasan atau teror pada pihak lain (AS vis a vis Al-Qaeda).
Dalam istilah semiotika -ilmu yang mempelajari tanda dan penggunaannya dalam masyarakat, kekerasan yang selama ini dilakukan oleh sebuahrezim yang berkuasa seringkali menggunakan model permainan citra pasangan atau oposisi biner (binnary opposition) untuk mengelabui masyarakat dengan disinformasi opini melalui media tentang “tindakan mendahului teror”. Pemerintah bersembunyi dari balik teror atau intimidasi yang dilakukannya dengan mengalamatkan tuduhannya pada pihak lain. Sehingga kejahatan-kejahatan dan korban massal yang ditimbulkannya, telah lebih dahulu “dimaafkan” dengan alasan tugas mulia; untuk kemanusiaan, perdamaian, demokrasi, dan atribut-atribut positif lainnya. Seorang filsuf Amerika sendiri, Noam Chomsky, secara terang-terangan melempar tuduhannya pada AS sebagai lumbung aksi terorisme. Dengan menunjukkan sejumlah data, Chomsky melihat sebuah paradoks terorisme yang sangat kontradiktif dilakukan oleh AS. Berdasarkan pengalaman historis, menurut Noam Chomsky, AS telah mengkondisikan aksi teror di sejumlah negara, seperti Nikaragua, Elsalvador, Palestina dan Lebanon , yang juster menimbulkan jumlah korban sipil yang jauh lebih banyak dari korban tragedi bom di WTC, 11 September 2001, empat tahun yang lalu.
Terkait terorisme global itu sendiri, bahwa keberadaan aksi teror atas nama agama apapun, lebih banyak menemui batu sandungan dan jalan buntu ketimbang bukti keterlibatannya, karena membutuhkan seperangkat penyelidikan dan pembuktian yang sangat serius. Kendati demikian, kekerasan dan teror yang mengatasnamakan (radikalisme) agama –sebut saja Islam— dalam skala nasional (Indonesia ) dan skala global (Al-Qaeda) tidak bisa dibantah (infactum). Tetapi kemungkinan yang lebih jauh, apakah tuduhan-tuduhan itu murni citra sebuah terorisme atau (sebaliknya) merupakan efek silang dari simulasi teror oleh pihak lain yang memiliki kepentingan (politik) tertentu? Jangan-jangan, berbagai tuduhan atau pun asumsi sebagai dalang di balik aksi kekerasan dewasa ini, hanya sebatas rekayasa yang diproduksi dan diciptakan untuk melegitimasi terjadinya bentuk teror yang lain, dengan tujuan pembalasan dan penyerangan besar-besaran. Sehingga korban masyarakat sipil yang tidak bersalah menjadi sebuah citra yang biasa dan manusiawi dalam mengusir dan membasmi terorisme dari muka bumi. Akhirnya, terorisme bukanlah persoalan radikalisme agama atau oposisi hitam-putih yang juntrungnya sebatas klaim kebenaran sepihak. Terorisme sejatinya adalah persoalan siapa meneror siapa, siapa mengintimidasi siapa, bukan persoalan agamanya apa atau negaranya apa. Terorisme, sekali lagi, adalah citra-citra kekerasan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, karena ia telah begitu dekat dan menghantui psikologi masyarakat global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar