Ada kengerian luar biasa ketika kita menonton film sejarah “Deacon of Death”. Dengan mengambil setting Kamboja tahun 1975-1979, kita diajak ke ranah “peradaban paling barbar”. Pol Pot, tepatnya Rezim Pol Pot, menjadi aktor utama dari catatan paling hitam sejarah peradaban ummat manusia. Siapa yang tak kenal Pol Pot ? Sarjana Sosiologi tamatan Sorbonne Universiti Perancis ini, pulang ke negaranya setelah belajar Marxis di negeri “Eifell”. Ia pulang dengan membawa imaginasi “negara tanpa kelas”. Idenya mendapat persemaian yang baik dengan bergabungnya beberapa teman-teman se ideologi, salah satunya Heng Samrin dan Khieu Samphan…. Dan negara teror mereka mulai ciptakan. Pol Pot, wajah innocent, namun “sejarah” mencapnya sebagai manusia “vampire” yang tak satupun teori tentang etika-moral bisa menjelaskan moralitasnya. Teror, kekejaman, pembantaian, air mata dan darah menjadi instrumen yang digunakan Pol Pot “atas nama” negara yang di-imaginasikannya. Teror itulah yang tergambar dalam Film sejarah besutan Jan van de Berg.
Film Deacon of Death kembali menghadapkan masyarakat Kamboja pada kekejian 20 tahun lalu yang dilakukan oleh Khmer Merah. Rezim Pol Pot itu berkuasa tahun 1975 hingga 1979. Berkisah tentang seorang perempuan Kamboja Sok Chea yang melihat seorang pria digantung di kakinya dan kemudian dikuliti. Jantung si pria, pada saat itu, masih berdetak. Sok Chea juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri hati manusia dari jenasah seorang tahanan yang dipotong dan dimasak, lalu disantap dengan sorak sorai liar oleh pembunuhnya. Pembunuhan biadab itu dipimpin oleh seseorang yang bernama Karoby. Sampai saat ini ia masih hidup. Film itu lebih lanjut berkisah bagaimana Sok Chea bertemu dengan Karoby setelah peristiwa 20 tahun itu dalam sebuah pesta pernikahan di sebuah desa, tempat ia dulu tinggal. Jan van de Berg membuat film tentang Sok Chea bersama Willem van de Put yang telah lama tinggal di Kamboja untuk mengobati orang-orang yang mengalami trauma perang. Van de Put sekarang menjabat direktur organisasi kesehatan internasional Health Net TPO.
Saya terkesan pada peran utama Sok Chea yang akhirnya berhasil menghalau ketakutan yang selama ini membayanginya. Namun Sok Chea tidak berhasil melepaskan kesedihan karena kehilangan keluarganya. Dalam pandangan masyarakat Kamboja, kesedihan hanya bisa dilenyapkan kalau tidak lagi memikirkan keluarga yang hilang, namun berarti kenangan terhadap sanak keluarga itu juga akan hilang. Film itu memperlihatkan bahwa ada satu cara untuk hidup dalam kesedihan sekaligus mempertahankan kenangan dari sanak keluarga yang tewas. Dalam masa empat tahun berkuasanya rezim Khmer Merah, tidak kurang dua juta orang dari seantero Kamboja dibunuh. Ada sekitar 343 "ladang pembantaian", seperti Choeung Ek tersebar di seluruh wilayah Kamboja. Tetapi, Choeung Ek adalah "ladang pembantaian" paling terkenal. Pasalnya, sebagian besar korban yang dieksekusi di sana adalah intelektual dari Phnom Penh. Contohnya, mantan Menteri Informasi Hou Nim, profesor ilmu hukum Phorng Ton, serta sembilan warga Barat termasuk David Lioy Scott dari Australia. Sebelum dibunuh, sebagian besar mereka didokumentasikan dan diinterogasi di kamp penyiksaan Tuol Sleng. Penjara S-21 atau Tuol Sleng adalah organ rezim Khmer Merah yang paling rahasia. Pada 1962, penjara S-21 merupakan sebuah gedung SMA bernama Ponhea Yat. Semasa pemerintahan Lon Nol, nama sekolah diubah menjadi Tuol Svay Prey High School. Tuol Sleng yang berlokasi di subdistrik Tuol Svay Prey, sebelah selatan Phnom Penh, mencakupi wilayah seluas 600 x 400 meter. Setelah Phnom Penh jatuh ke tangan Pol Pot, sekolah diubah menjadi kamp interogasi dan penyiksaan tahanan yang dituduh sebagai musuh politik.
Di Tuol Sleng, para intelektual diinterogasi agar menyebutkan kerabat atau sejawat sesama intelektual. Satu orang harus menyebutkan 15 nama orang berpendidikan yang lain. Jika tidak menjawab, mereka akan disiksa. Kuku-kuku jari mereka akan dicabut, lantas direndam cairan alkohol. Mereka juga disiksa dengan cara ditenggelamkan ke bak air atau disetrum. Kepedihan terutama dirasakan kaum perempuan karena kerap diperkosa saat diinterogasi. Setelah diinterogasi selama 2-4 bulan, mereka akan dieksekusi di Choeung Ek. Sejumlah tahanan politik yang dinilai penting ditahan untuk diinterogasi sekitar 6-7 bulan, lalu dieksekusi. Diakhir film, ada pesan moral yang bisa ditangkap. Masyarakat Kamboja tidak begitu berharap banyak agar pelaku kejahatan di hukum seberat-beratnya. Mereka lebih berharap sebuah PENGAKUAN, mengaku bahwa mereka telah salah dan menyarankan pada sejarah untuk tidak mengulang apa yang telah mereka lakukan. Bagi masyarakat Kamboja, Pengakuan ini jauh lebih berarti bagi pembelajaran sejarah Kamboja (dan mungkin dunia) ke depan. Menurut kepercayaan Budha, hukuman itu akan datang sendirinya pada kehidupan lainnya dalam reinkarnasi. Misalnya saja manusia yang melakukan kejahatan berat akan bereinkarnasi menjadi serangga. Mereka harus menunggu sangat lama sebelum membangun karma baik yang dibutuhkan untuk kembali menjadi manusia. Saya teringat apa yang dikatakan oleh salah seorang intelektual-ideolog dari "Dunia Ketiga" (sering dikutip oleh Ali Shariati, yaitu Frantz Fanon : "Pengakuan akan kesalahan memberikan implikasi besar terhadap proses pembelajaran sejarah ummat manusia, dibandingkan institusi hukum yang menyalahkan mereka". Bagaimana dengan "titik-titik hitam" sejarah Indonesia?
Insert : Foto Pol Pot dan "Bukti Killing Machine" (Museum Tengkorak di Kamboja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar