Selama ini pahlawan nasional lebih banyak merupakan representasi atau perwakilan dari berbagai daerah. Daftar pahlawan bagai album keluarga. Bila melihat album, mata kita akan terfokus lebih dulu kepada tokoh yang kita kenal baik. Setiap provinsi merasa mesti memiliki pahlawan. Tidak cukup daerah tingkat I, kabupaten pun berlomba mengusulkan pahlawan mereka. Ini terutama terjadi pada masa akhir Orde Baru. Setelah era reformasi, perlombaan ini menyurut. Pahlawan yang berjumlah seratusan orang itu seakan memiliki kelas. Ada yang sering disebut, ada pula yang tak pernah disinggung dalam pidato ataupun pelajaran sekolah. Beberapa waktu yang silam pernah terjadi polemik, mana yang "lebih pahlawan", Tjut Nyak Dien yang mengangkat senjata atau Kartini yang berjuang hanya dengan pena........... (sebagai komparasi lanjutan : baca Artikel saya di PADANG EKSPRES Tangal 10 Nopember 2008 tentang PAHLAWAN)
Kasus lain menyangkut dua saudara tiri, Ki Hajar Dewantara dan Raden Mas Suryo pranoto, yang sama-sama diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1959. Tanggal 2 Mei diperingati di Tanah Air sebagai hari pendidikan nasional. Hari itu merupakan tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara, yang sebelumnya bernama Suryadi Suryadiningrat. Dia dikenang sebagai pendiri Taman Siswa, sekolah alternatif di samping sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pendapat tentang filsafat pendidikan tut wuri handayani menjadi konsep yang sering dijadikan retorika oleh pejabat pemerintah pada masa Soeharto. Ki Hajar Dewantara juga dikenal sebagai pemikir budaya. Pandangan nya bahwa budaya nasional merupakan puncak-puncak dari kebudayaan daerah diterima sebagai rumusan pada masa Orde Baru. Ki Hajar Dewantara mempunyai kakak seayah lain ibu, yaitu Suryopranoto, yang semasa kecil bernama Raden Mas Iskandar. Ayah mereka, Suryadiningrat, menderita sakit mata sewaktu kecil dan akhirnya menjadi tunanetra sehingga kehilangan kesempatan menjadi raja. Suryopranoto sebetulnya sangat menonjol sebagai pemimpin gerakan buruh yang menganjurkan pemogokan melawan penguasa kolonial. Tapi wacana tentang Suryopranoto nyaris hilang semasa Orde Baru karena pembela buruh selalu dikategorikan "kiri".
Setelah era reformasi, muncul banyak pertanyaan kritis, antara lain mengenai motivasi pahlawan. Apakah Pangeran Diponegoro berjuang melawan Belanda karena rasa nasiona lisme atau karena tanahnya digusur oleh penjajah? Pahlawan lainnya yang dipertanyakan tentunya Nyonya Tien Soeharto. Apa jasanya sehingga ia diangkat sebagai pahlawan nasional ? Sementara itu, ada tokoh lain yang dicekal dalam wacana intelektual Indonesia sedemikian lama tapi kini patut dipertimbangkan untuk masuk kelas pahlawan. Di antaranya Semaoen, tokoh Serikat Islam Cabang Semarang yang dipengaruhi oleh Sneevliet yang berideologi kiri. Ia berjuang melawan kolonial Belanda dengan pikiran dan perbuatan. "Tadi saya sudah berikhtiar mengajak rakyat menjadi pinter dan kuat, supaya akhirnya kita bisa merdeka mengurus negeri kita sendiri. Ini hal sungguhlah perkara kebangsaan (Semaoen dalam Hikayat Kadiroen). Dalam kesempatan lain dia menulis, "Memang banyak halangan dalam pergerakan! Banyak susah, banyak korban, banyak penjara dan bedil. Memang banyak siksaan dan hinaan, tetapi berani tetap bergerak keras ialah perbuatan nomor satu guna memperbaiki kehidupan dan akal budinya rakyat, sebagai besar dari manusia, terangnya memerdekakan rakyat dalam semua hal. Dan kalau saudara-saudara berbuat begini, maka tentulah akhirnya kita semua dapat kemenangan."
Ideologi perjuangannya adalah ideologi kerakyatan. "Selama kelas kapitalis masih mempunyai perkakas modal, pabrik, tanah, dsb. itu, selamanya pun rakyat jelata dan kaum buruh masih dapat diperas oleh kapitalis besar itu. Oleh sebab itu kelas rakyat jelata dan buruh mesti berikhtiar supaya alat-alat modal, pabrik mesin, tanah, dsb. itu jatuh di tangannya pemerintah yang kerakyatan yang dipilih oleh dan dari rakyat itu, supaya semua perusahaan dan perdagangan dapat diurus oleh pemerintah kerakyatan tadi" (Penuntun Kaum Buruh dari Hal Serikat Kerja, Semarang, 1920). Semaoen lahir di Mojokerto pada 1899, putra seorang buruh kereta api yang hanya mengenyam pendidikan sekolah bumiputra kelas satu. Setelah lulus, dia bekerja sebagai juru tulis (usia 13 tahun). Pada 1914, ia masuk Serikat Islam Surabaya dan terpilih sebagai sekretaris. Pada 1915, ia bertemu dengan Sneevliet, yang sangat berperan dalam memperkenalkan Marxisme di Indonesia.
Pada 1917, Semaoen terpilih sebagai Ketua Sarekat Islam Semarang. Ia adalah pelopor pers nasional, pernah menjadi redaktur harian Sinar Djawa dan Sinar Hindia, organ SI Semarang. Ia mengorganisasi pemogokan buruh pada 1923 dan kemudian diasingkan ke Belanda. Di Eropa, Semaoen pergi ke Rusia. Di negeri tirai besi itu, Semaoen jatuh cinta kepada gadis Rusia, yang dinikahinya. Hal yang sama dilakukan oleh Iwa Kusuma Sumantri pada 1920-an. Istri mereka adalah adik-kakak. Yang menjadi pertanyaan: apakah orang yang mengawini perempuan Rusia tidak layak jadi pahlawan? Bukankah Guruh Sukarno Putra sendiri pernah menikah dengan gadis dari sana? Ternyata Iwa diangkat juga oleh Presiden Megawati sebagai pahlawan nasional pada tahun 2002. Bagaimana dengan Semaoen?
Ada pahlawan nasional yang namanya dicoret dalam pelajaran sekolah, yaitu Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo, karena keduanya tergolong kiri. Seyogianya nama baik mereka dipulihkan dalam bidang pendidikan karena secara resmi gelar pahlawan mereka tidak pernah dicabut. Sayang sekali, pemerintah Sumatera Barat, misalnya, tidak memanfaat kan momentum peresmian bandar udara baru di Ketaping beberapa bulan lalu, misalnya, dengan memberi nama Tan Malaka International Airport. Mereka lebih menonjolkan sifat kesukuan dengan memakai nama Bandara Internasional Minangkabau. Selain itu, patut dipertimbangkan untuk mengangkat di antara mereka yang dibuang Belanda ke Digul setelah pemberontakan pada 1926/1927 sebagai pahlawan nasional. Pemberontakan PKI yang meletus di daerah yang relatif kuat agama Islamnya, yaitu Sumatera Barat dan Banten, bukanlah gerakan orang-orang ateis. Melainkan rakyat yang berani berjuang melawan penjajah. Walau akhirnya mereka kalah.
Revolusi Prancis, yang diperingati setiap 14 Juli, merupakan revolusi yang memakan anaknya sendiri. Tokoh-tokoh yang mencetuskan revolusi itu akhirnya tewas dalam pergolakan sengit di masa revolusi. Demikian pula di Indonesia, revolusi fisik 1945-1950 telah memakan anak-anaknya sendiri. Antara lain, Menteri Negara Oto Iskandar di Nata, yang tewas pada Desember 1945 karena diculik sekelompok pemuda. Tan Malaka ditembak tentara Indonesia pada 1949. Selain itu, yang tidak kalah tragisnya adalah kematian Amir Sjarifuddin pada 1948.
Amir Sjarifuddin Harahap adalah Perdana Menteri RI yang dieksekusi bangsanya sendiri tanpa proses hukum. Pada 19 Desember 1948 tengah malam di Desa Ngaliyan, Solo, sebanyak 20 orang penduduk desa disuruh tentara menggali lubang sedalam 1,7 meter. Amir--berpiyama putih-biru, bercelana panjang warna hijau dan membawa buntelan sarung--bertanya kepada kapten yang ada di situ, "Saya ini mau diapakan?" Amir Sjarifuddin bersama 10 orang lainnya ditembak satu per satu. Penulis Kristen cenderung mengatakan ia dibunuh sambil memegang Al-Kitab, sedangkan pengamat kiri menyebutkan ia menyanyikan lagu Internationale. Konon, menjelang ia dieksekusi, Amir Syarifuddin masih sempat untuk terus membaca buku.
Tanggalnya masih dipersoalkan apakah 27 Mei atau 27 April, tapi yang jelas ia lahir seabad silam di Medan. Amir Sjarifuddin (dan Sjahrir) adalah tokoh yang berjasa mempertahankan eksistensi negara Indonesia pada awal kemerdekaan. Pada 1945 sampai Januari 1948 keduanya menjadi perdana menteri. Mereka diangkat untuk menangkis tuduhan Belanda bahwa pemerintah Indonesia adalah boneka Tokyo karena Soekarno-Hatta berkolaborasi dengan "saudara tua dari Negeri Matahari Terbit". Sjahrir dan Amir berjuang di bawah tanah semasa pendudukan Jepang. Ir Setiadi Reksoprojo, 86 tahun, Menteri Penerangan dalam kabinet Amir Sjarifuddin pada 1947, memberikan kesaksian 13 halaman tulisan tangan kepada saya yang menjelaskan jasa Amir dalam mengefektifkan angkatan bersenjata Indonesia. Sejak November 1945 sampai Januari 1948, Amir Sjarifuddin berturut-turut menjadi Menteri Keamanan Rakyat/Menteri Pertahanan. Saat itu Indonesia berhasil membantu pemulangan ribuan pasukan Jepang dan internir Belanda.
Pada awal masa kemerdekaan, unsur tentara terdiri dari berbagai kelompok terlatih (eks didikan Belanda/Jepang) dan laskar. Dalam masa transisi, menurut Amir diperlukan Tentara Masyarakat. Tentara itu juga butuh pendidikan politik. Pandangan ini bertentangan dengan Hatta, yang melakukan rasionalisasi tentara dari 400 ribu menjadi 60 ribu. Perbedaan kebijakan itu antara lain yang di lapangan memicu timbulnya Peristiwa Madiun 1948, tempat Amir menjadi salah seorang korbannya. Jenjang karier Amir menarik karena berkebalikan dengan yang sering terjadi sekarang. Ia ditahan Jepang dan masih mendekam di penjara Malang sampai 1 Oktober 1945 sebelum dibebaskan dan diberangkatkan ke Jakarta untuk dilantik menjadi Menteri Penerangan. Sementara perjalanan hidup Amir "dari penjara ke kabinet", yang terjadi kini pada elite politik adalah "dari kabinet ke penjara".
Amir berasal dari keluarga Batak Islam bercampur Kristen. Kakeknya, Ephraim, adalah seorang jaksa beragama Kristen. Ayahnya, Soripada, juga menjadi jaksa dan beralih ke agama Islam ketika menikah dengan seorang gadis Batak muslim. Amir sempat menempuh pendidikan sekolah menengah di Negeri Belanda mengikuti jejak saudara sepupunya, T.S.G Mulia. Pergaulan semasa di Eropa dan setelah kembali ke tanah air pada 1927 menyebabkan ia tertarik pada agama Kristen dan dibaptis pada 1935. Ia sering membaca Al-Kitab dalam berbagai kesempatan dan membawakan khotbah dalam kebaktian Minggu. Dalam bidang politik, ia menjadi bendahara panitia persiapan Kongres Pemuda II 1928, yang kemudian melahirkan apa yang disebut Sumpah Pemuda. Pada 1931 ia aktif dalam Partai Indonesia (Partindo), yang didirikan Bung Karno. Kemudian ketika tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir diasingkan Belanda dari Pulau Jawa, Amir menggagas Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Organisasi ini cukup maju dalam mendefinisikan kewarganegaraan berdasarkan kediaman (tempat lahir), bukan ras. Rekan Amir dalam organisasi ini adalah Dr A.K. Gani, yang tahun ini diusulkan sebagai pahlawan nasional. Pada 1938-1941 Amir menjadi redaktur majalah sastra Poedjangga Baroe. Selanjutnya, Amir juga aktif pada GAPI (Gabungan Politik Indonesia) bersama M.H. Thamrin.
Amir Sjarifuddin adalah seorang pemimpin yang memiliki prinsip seperti dikisahkan Fransisca Fanggidae (82 tahun, kini eksil di Belanda), yang ikut dalam pelarian pada 1948. Di suatu desa, anak buahnya mengambil buah kelapa milik warga, Amir mengeluar kan tembakan peringatan dan memarahi mereka. "Tentara harus melayani rakyat, bukan mengambil kepunyaan rakyat," ujarnya. Dari empat tokoh nasional yang menduduki jabatan tertinggi (presiden, wakil presiden, dan perdana menteri) yang pertama di Indonesia, tiga orang (Soekarno, Hatta, dan Sjahrir) menjadi pahlawan nasional. Sedangkan yang satu lagi, jangankan diberi bintang jasa, biografinya pun tidak boleh beredar semasa Orde Baru. Pada 1984 penerbit Sinar Harapan sempat mencetak tesis Frederick Djara Wellem di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta berjudul "Amir Sjarifuddin, Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan". Namun, buku tersebut terpaksa dimusnahkan karena Jaksa Agung tidak berkenan. Dalam sejarah Indonesia, Amir Sjarifuddin tak hanya dibuang dan dilupakan, tapi juga tidak diakui. Mari kita ambil hikmah dari revolusi yang terjadi pada masa lalu.
Catatan : ( tulisan merupakan ide orisinil dari sejarawan Asvi Warman Adam)
Foto : (Kulit Muka Hikayat Kadiroen-nya "Semaoen" dan Amir Syarifuddin Harahap)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar