Oleh : Muhammad Ilham
Lebih dari sekedar aksi sporadis, Pemberontakan G 30 September merupakan bagian dari rencana PKI yang telah lama disiapkan, sejak PKI kembali muncul dalam panggung politik nasional awal tahun 1950-an. Rencananya adalah mengkomuniskan negara dan masyarakat Indonesia. Rencana lama itu tiba-tiba dipercepat pelaksanaannya, karena PKI mengkhawatirkan kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang terus memburuk. Padahal, dialah satu-satunya tokoh yang mampu menjamin eksistensi PKI di tengah rivalitas politik yang makin meruncing antara partai itu dengan TNI-AD. Memburuknya kesehatan Soekarno pada Agustus 1965, sempat menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pimpinan PKI, bahwa kesempatan itu akan digunakan TNI-AD untuk menumpas PKI. Maka, daripada didahului, pimpinan PKI menyimpulkan, harus mendahului memberi pukulan kepada TNI-AD. Atas dasar kesimpulan itu, PKI mulai menyusun strategi kilat yang diwujudkan dalam bentuk gerakan bersenjata yang dikenal sebagai Gerakan 30 September. Sebagai bagian penting tahap persiapan perebutan kekuasaan, sejak Mei 1965 PKI mulai melancarkan aksi fitnah terhadap pimpinan TNI-AD khususnya malalui penyebaran isu "Dewan Jenderal" dan isu "Dokumen Gilchrist."
Isu "Dewan Jenderal" diciptakan Biro Khusus PKI sebagai bahan perang urat syaraf guna merusak citra pimpinan TNI-AD di mata masyarakat, dengan menyebut "Dewan Jenderal" itu terdiri sekelompok perwira tinggi TNI-AD yang akan merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno. Pada waktu bersamaan, disebarkan isu "Dokumen Gilchrist," yang bertujuan ingin memberi kesan, seolah-olah ada kerjasama antara para perwira tinggi TNI-AD dengan pihak Barat. Tahap persiapan PKI mulai mendekati titik nyata, saat menyadari kondisi kesehatan Presiden Soekarno semakin memburuk sejak awal tahun 1965, lebih-lebih setelah mendengar penjelasan tim dokter dari RRC yang merawatnya dari bulan Juli hingga Agustus bahwa kemungkinan besar Presiden Soekarno akan segera meninggal. Berdasarkan informasi itu, Aidit segera mengadakan rapat politbiro di kantor CC PKI. Dalam rapat itu Aidit memberikan evaluasinya, apabila kepemimpinan Presiden Soekarno tidak ada lagi atau menjadi tidak efektif lagi, TNI-AD akan bertindak menghancurkan PKI. Karena itu di menilai, sebelum hal itu terjadi, PKI harus mendahului melumpuhkan TNI-AD. Sehubungan dengan evaluasi itu, tanggal 12 Agustus Aidit mengintruksikan Kepala Biro Khusus Central PKI. Sjam, untuk mempersiapkan langkah-langkah menyusun kekuatan bersenjata guna mendahului memberikan pukulan kepada TNI-AD, dan mengupayakan agar gerakan yang akan dilancarkan itu bersifat terbatas, seolah-olah merupakan persoalan intern TNI-AD.
Bersumber dokumen-dokumen dari sidang-sidang pengadilan atas para tokoh PKI sesudah peristiwa pemberontakan itu berakhir, Buku Putih ini secara rinci dan kronologis mengurai langkah-langkah persiapan perebutan kekuasaan itu, mulai dari rapat-rapat intensif yang dijalankan pada bulan Agustus sampai pada tahap-tahap persiapan operasi bersenjata. Puncak perwujudan rencana PKI itu telah menjadi pengetahuan umum, yaitu pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 dinihari, para pasukan PKI menculik dan membunuh tujuh perwira tinggi TNI-AD yang kemudian dikubur dalam sebuah sumur di daerah markas pasukan PKI di Lubang Buaya. Namun, seperti telah menjadi pengetahuan umum, pemberontakan G30S itu berhasil ditumpas TNI-ABRI di bawah kepemimpinan Mayjen TNI Soeharto disusul lahirnya TAP XXV/MPRS tahun 1966 yang melarang untuk selama-lamanya ideologi Marxisme-Leninisme - Komunisme dasn Partai Komunis Indonesia. Dengan demikian gagallah percobaan mewujudkan sebuah "skenario revolusioner" yang sudah dipersiapkan sejak lama Sejumlah studi kritis mengungkapkan fakta-fakta lain, yang menunjukkan bahwa ofensif PKI justru dipicu oleh rencana kudeta oleh pihak militer. Dalam sebuah pledoi di muka Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 19 Februari 1966, pentolan PKI Nyono memberi kesaksian, bahwa pihak militer telah merancang rencana kudeta di bawah kendali apa yang dinamakan “Dewan Jenderal”. Untuk mengimbangi kekuatan ini, PKI membuat “Dewan Revolusi”.
Perihal Dewan Jenderal diketahui Nyono dari sejumlah informasi yang rinci, lengkap mendeskripsikan tanggal, jam, tempat, nama, acara, persoalan dan lain–lainnya. “Yang saya masih ingat,” ungkap Nyono, “ialah bahwa tidak semua jenderal masuk dalam Dewan Jenderal. Jumlah anggotanya kurang lebih 40 Jenderal, diantaranya kurang lebih 25 orang aktif menjalankan politik Dewan Jenderal. Tokoh–tokoh utamanya ada tujuh orang yaitu Jenderal Nasution, A..Yani, Suparman, Haryono, Suprapto, Sutoyo, dan Sukendro.” Untuk mencapai ambisinya, mereka sering menggelar berbagai rapat. Terakhir, menurut ingatan Nyono, mereka mengadakan rapat pleno pada 21 September 1965 di Jl. Dr. Abdulrachman Saleh, Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Suparman dan Haryono ini, mensahkan rencana komposisi Kabinet Dewan Jenderal dan menetapkan waktu dilakukannya kudeta, yaitu sebelum Hari Angkatan Perang pada tanggal 5 Oktober 1965.
Komposisi kepemimpinannya, tambah Nyono, terdiri atas AH Nasution (Perdana Menteri), Ruslan Abdul Gani (Wakil Perdana Menteri), A. Yani (Menteri Pertahanan dan Keamanan), Suprapto (Menteri Dalam Negeri), Haryono (Menteri Luar Negeri), Sutoyo (Menteri Kehakiman) serta Suparman (Jaksa Agung). Apapun, suara Nyono tenggelam di antara arus besar pembersihan orang-orang PKI dan catatan-catatan resmi yang bersumber dari pemerintah. Demikian pula hasil penelitian-penelitian forensik yang mencoba mengungkap sekitar kekejaman orang-orang PKI terhadap para perwira militer di Lubang Buaya itu. Penolakan sejumlah politikus untuk menghapus Tap MPRS Nomor 25/1966, ikut melestarikan cerita versi Orde Baru sebagai satu-satunya referensi sejarah sekitar peristiwa G-30-S PKI. Ide penghapusan bukan hanya datang dari para peneliti, sejarawan dan masyarakat awam. Abdurrahman Wahid, presiden ke-4 Indonesia, sempat membicarakannya secara terbuka, walau mendapat kecaman dari sana-sini, termasuk dari Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang pernah dipimpinnya. Mengikuti pembicaraannya, Wahid bahkan melontarkan permintaan maaf atas nama rakyat terhadap orang-orang PKI yang selama puluhan tahun ditindas oleh negara di bawah pemerintahan Orde Baru.
Lebih dari sekedar aksi sporadis, Pemberontakan G 30 September merupakan bagian dari rencana PKI yang telah lama disiapkan, sejak PKI kembali muncul dalam panggung politik nasional awal tahun 1950-an. Rencananya adalah mengkomuniskan negara dan masyarakat Indonesia. Rencana lama itu tiba-tiba dipercepat pelaksanaannya, karena PKI mengkhawatirkan kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang terus memburuk. Padahal, dialah satu-satunya tokoh yang mampu menjamin eksistensi PKI di tengah rivalitas politik yang makin meruncing antara partai itu dengan TNI-AD. Memburuknya kesehatan Soekarno pada Agustus 1965, sempat menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pimpinan PKI, bahwa kesempatan itu akan digunakan TNI-AD untuk menumpas PKI. Maka, daripada didahului, pimpinan PKI menyimpulkan, harus mendahului memberi pukulan kepada TNI-AD. Atas dasar kesimpulan itu, PKI mulai menyusun strategi kilat yang diwujudkan dalam bentuk gerakan bersenjata yang dikenal sebagai Gerakan 30 September. Sebagai bagian penting tahap persiapan perebutan kekuasaan, sejak Mei 1965 PKI mulai melancarkan aksi fitnah terhadap pimpinan TNI-AD khususnya malalui penyebaran isu "Dewan Jenderal" dan isu "Dokumen Gilchrist."
Isu "Dewan Jenderal" diciptakan Biro Khusus PKI sebagai bahan perang urat syaraf guna merusak citra pimpinan TNI-AD di mata masyarakat, dengan menyebut "Dewan Jenderal" itu terdiri sekelompok perwira tinggi TNI-AD yang akan merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno. Pada waktu bersamaan, disebarkan isu "Dokumen Gilchrist," yang bertujuan ingin memberi kesan, seolah-olah ada kerjasama antara para perwira tinggi TNI-AD dengan pihak Barat. Tahap persiapan PKI mulai mendekati titik nyata, saat menyadari kondisi kesehatan Presiden Soekarno semakin memburuk sejak awal tahun 1965, lebih-lebih setelah mendengar penjelasan tim dokter dari RRC yang merawatnya dari bulan Juli hingga Agustus bahwa kemungkinan besar Presiden Soekarno akan segera meninggal. Berdasarkan informasi itu, Aidit segera mengadakan rapat politbiro di kantor CC PKI. Dalam rapat itu Aidit memberikan evaluasinya, apabila kepemimpinan Presiden Soekarno tidak ada lagi atau menjadi tidak efektif lagi, TNI-AD akan bertindak menghancurkan PKI. Karena itu di menilai, sebelum hal itu terjadi, PKI harus mendahului melumpuhkan TNI-AD. Sehubungan dengan evaluasi itu, tanggal 12 Agustus Aidit mengintruksikan Kepala Biro Khusus Central PKI. Sjam, untuk mempersiapkan langkah-langkah menyusun kekuatan bersenjata guna mendahului memberikan pukulan kepada TNI-AD, dan mengupayakan agar gerakan yang akan dilancarkan itu bersifat terbatas, seolah-olah merupakan persoalan intern TNI-AD.
Bersumber dokumen-dokumen dari sidang-sidang pengadilan atas para tokoh PKI sesudah peristiwa pemberontakan itu berakhir, Buku Putih ini secara rinci dan kronologis mengurai langkah-langkah persiapan perebutan kekuasaan itu, mulai dari rapat-rapat intensif yang dijalankan pada bulan Agustus sampai pada tahap-tahap persiapan operasi bersenjata. Puncak perwujudan rencana PKI itu telah menjadi pengetahuan umum, yaitu pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 dinihari, para pasukan PKI menculik dan membunuh tujuh perwira tinggi TNI-AD yang kemudian dikubur dalam sebuah sumur di daerah markas pasukan PKI di Lubang Buaya. Namun, seperti telah menjadi pengetahuan umum, pemberontakan G30S itu berhasil ditumpas TNI-ABRI di bawah kepemimpinan Mayjen TNI Soeharto disusul lahirnya TAP XXV/MPRS tahun 1966 yang melarang untuk selama-lamanya ideologi Marxisme-Leninisme - Komunisme dasn Partai Komunis Indonesia. Dengan demikian gagallah percobaan mewujudkan sebuah "skenario revolusioner" yang sudah dipersiapkan sejak lama Sejumlah studi kritis mengungkapkan fakta-fakta lain, yang menunjukkan bahwa ofensif PKI justru dipicu oleh rencana kudeta oleh pihak militer. Dalam sebuah pledoi di muka Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 19 Februari 1966, pentolan PKI Nyono memberi kesaksian, bahwa pihak militer telah merancang rencana kudeta di bawah kendali apa yang dinamakan “Dewan Jenderal”. Untuk mengimbangi kekuatan ini, PKI membuat “Dewan Revolusi”.
Perihal Dewan Jenderal diketahui Nyono dari sejumlah informasi yang rinci, lengkap mendeskripsikan tanggal, jam, tempat, nama, acara, persoalan dan lain–lainnya. “Yang saya masih ingat,” ungkap Nyono, “ialah bahwa tidak semua jenderal masuk dalam Dewan Jenderal. Jumlah anggotanya kurang lebih 40 Jenderal, diantaranya kurang lebih 25 orang aktif menjalankan politik Dewan Jenderal. Tokoh–tokoh utamanya ada tujuh orang yaitu Jenderal Nasution, A..Yani, Suparman, Haryono, Suprapto, Sutoyo, dan Sukendro.” Untuk mencapai ambisinya, mereka sering menggelar berbagai rapat. Terakhir, menurut ingatan Nyono, mereka mengadakan rapat pleno pada 21 September 1965 di Jl. Dr. Abdulrachman Saleh, Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Suparman dan Haryono ini, mensahkan rencana komposisi Kabinet Dewan Jenderal dan menetapkan waktu dilakukannya kudeta, yaitu sebelum Hari Angkatan Perang pada tanggal 5 Oktober 1965.
Komposisi kepemimpinannya, tambah Nyono, terdiri atas AH Nasution (Perdana Menteri), Ruslan Abdul Gani (Wakil Perdana Menteri), A. Yani (Menteri Pertahanan dan Keamanan), Suprapto (Menteri Dalam Negeri), Haryono (Menteri Luar Negeri), Sutoyo (Menteri Kehakiman) serta Suparman (Jaksa Agung). Apapun, suara Nyono tenggelam di antara arus besar pembersihan orang-orang PKI dan catatan-catatan resmi yang bersumber dari pemerintah. Demikian pula hasil penelitian-penelitian forensik yang mencoba mengungkap sekitar kekejaman orang-orang PKI terhadap para perwira militer di Lubang Buaya itu. Penolakan sejumlah politikus untuk menghapus Tap MPRS Nomor 25/1966, ikut melestarikan cerita versi Orde Baru sebagai satu-satunya referensi sejarah sekitar peristiwa G-30-S PKI. Ide penghapusan bukan hanya datang dari para peneliti, sejarawan dan masyarakat awam. Abdurrahman Wahid, presiden ke-4 Indonesia, sempat membicarakannya secara terbuka, walau mendapat kecaman dari sana-sini, termasuk dari Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang pernah dipimpinnya. Mengikuti pembicaraannya, Wahid bahkan melontarkan permintaan maaf atas nama rakyat terhadap orang-orang PKI yang selama puluhan tahun ditindas oleh negara di bawah pemerintahan Orde Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar