Re-Write : Muhammad Ilham
(Posted by : Mestika Zed, DR., MA : dari Polemik di HU Padang Ekspres)
JULI 2008 - Cara kita memandang manusia – dalam hubungannya dengan pendidikan – sering kali tercermin dari bahasa/ istilah yang digunakan. Bahasa adalah pola fikir (mind-set). Ia memberi bentuk pada ide atau konsep. Begitulah yang terjadi ketika kita mengikuti debat atau polemik para pendikiawan Sumatera Barat seputar ”industri otak” di media ini sejak minggu terakhir. Istilah ”industri otak” yang pernah dilansir oleh Emil Salim sekitar seperempat abad lalu itu kini tiba-tiba mengemuka lagi. Sekarang digelindingkan kembali oleh Shofwan Karim, sekaitan dengan ajakan Pak Gubernur Gamawan Fauzi terhadap para rektor agar ”industri otak” di daerah ini dibangkitkan kembali (Padek, 18-19/6/08). Kata ”dibangkitkan” menjadi penting, karena asumsinya Sumatera Barat dulu pernah menjadi gudang kaum cerdik pandai yang berkiprah di tingkat nasional dan internasional. Tetapi semua itu kini tinggal ”nostalgia”. Kalau Bustanuddin Agus, guru besar dari Universitas Andalas menggugah menyarankan agar istilah ”industri otak” diganti dengan ”industri SDM”, Bung Miko Kamal yang sedang belajar di Sydney, Australia, lebih suka dengan sebutan ”industri orang baik” saja (25/6/08).
Masalahnya tentu bukan sekadar istilah. Ia memiliki akibat yang lebih jauh terhadap cara pandang kita terhadap pendidikan. Kedua penulis ini telah menjelaskan argumen mereka dengan baik, kendatipun keduanya tetap saja menggunakan kata ”industri” dan padanannya. Bagi saya istilah ”industri otak” bukan hanya terkesan congkak, tapi malah menyesatkan jika dikaitkan dengan pendidikan. Mengapa?
Sebagian besar masalah pendidikan kita dewasa ini, seperti yang tampak dari isu-isu ujian nasional (UN), sertifikasi guru, kurikulum baru (KBK, KTSP), privatisasi perguruan tinggi negeri (PT-BHM), ”pendidikan siap pakai”, ”produk unggulan yang harus dijual di pasar bebas” (24/6/08) dan lain-lain berakar dalam pola fikir kapitalisme yang menganggap sekolah dan perguruan tinggi sebagai pabrik. Sejak pertengahan abad ke-19, ketika sekolah gaya Barat mulai diperkenalkan oleh penjajah Belanda ke Indonesia, penguasa kolonial sering menganalogikan sekolah dengan pabrik. Metafora ini semakin kuat bersamaan dengan masuknya kapitalisme kolonial ke Indonesia awal abad ke-20 dan yang kemudian diteruskan oleh rejim pendidikan zaman Orde Baru. Sekolah tidak dimaksudkan untuk mencerdaskan siswa atau murid, apalagi untuk membangunkan kesadaran mereka akan kondisi yang ada.
Pendidikan hanya sekedar untuk memenuhi kuota kebutuhan tenaga kerja di pemerintahan dan dunia industri. Jadi, kalau ada generasi cerdas dan punya kesadaran diri tentang kondisi keterjajahan di masa lalu, maka itu bukan tujuan dari sistem pendidikan kolonial itu sendiri, melainkan suatu penyimpangan dari pola umum. Terutama berkat capaian prestasi individual di luar kawalan sistem pendidikan yang ada. Begitu juga halnya, jika hari ini ada segelintir siswa sekolah kita yang meraih prestasi sampai ke olimpiade internasional, ia bukan produk sistem pendidikan nasional yang ada, melainkan berasal dari kombinasi bakat pribadi dan ikhtiar sekolahnya sendiri.
Memperlakukan lembaga pendidikan sebagai pabrik atau ”industri otak” seperti yang berlaku di zaman kolonial, membawa konsekuensi logis, setidaknya, dalam dua hal. Pertama, karena metafora pendidikan diadopsi dari dunia pabrik, maka hampir semua istilah yang dipergunakan – dan dengan demikian juga pola fikir keduanya tak ada bedanya.
Dewasa ini kita tanpa malu-malu mempergunakan istilah barang dan jasa pendidikan, hasil akhir, prosentase lulusan, perencanaan anggaran, akuntabilitas, kompitisi pasar, standardisasi, sertifikasi ISO, produk unggulan yang laku ”dijual” di pasar; ”pendidikan siap pakai” dan seterusnya tanpa memedulikan perbedaan apakah ini cocok untuk pendidikan kejuruan atau umum. Belum lama ini di kampus perguruan tinggi negeri di Padang muncul lagi istilah baru yang manipulatif, ”Program Reguler Mandiri” untuk mengganti istilah ”non-reguler” atau ekstensi atau pendidikan ’privat’ dalam kampus negeri.
Terminologi semacam yang berwawasan pabrik inilah yang mendominasi dunia pendidikan kita hari ini. Kedua, dalam prakteknya, metafora pendidikan semacam itu juga tercermin, misalnya, dalam sistem kontrol administrasi sekolah yang makin lama makin dekat dengan apa yang layaknya berlaku dalam dunia industri. Pengelola pendidikan dalam pelbagai tingkat/ instansi, mirip dengan manejer pabrik. Ia harus menyelia karyawannya, memantau prilaku murid dan kinerja sekolah agar mutu produksi tetap up to date, sesuai dengan selera pasar. Kurikulum merupakan instrumen dalam proses produksi; apa yang tidak berguna dibuang, diubah sesuai dengan kebutuhan pasar. Pergantian kurikulum, meski inheren dalam pengelolaan pendidikan, tetapi kalau kriterianya efesiensi dan efektif dalam menghasilkan produk sebagaimana diharapkan [pasar], maka yang terjadi ialah bongkar pasang.
(Posted by : Mestika Zed, DR., MA : dari Polemik di HU Padang Ekspres)
JULI 2008 - Cara kita memandang manusia – dalam hubungannya dengan pendidikan – sering kali tercermin dari bahasa/ istilah yang digunakan. Bahasa adalah pola fikir (mind-set). Ia memberi bentuk pada ide atau konsep. Begitulah yang terjadi ketika kita mengikuti debat atau polemik para pendikiawan Sumatera Barat seputar ”industri otak” di media ini sejak minggu terakhir. Istilah ”industri otak” yang pernah dilansir oleh Emil Salim sekitar seperempat abad lalu itu kini tiba-tiba mengemuka lagi. Sekarang digelindingkan kembali oleh Shofwan Karim, sekaitan dengan ajakan Pak Gubernur Gamawan Fauzi terhadap para rektor agar ”industri otak” di daerah ini dibangkitkan kembali (Padek, 18-19/6/08). Kata ”dibangkitkan” menjadi penting, karena asumsinya Sumatera Barat dulu pernah menjadi gudang kaum cerdik pandai yang berkiprah di tingkat nasional dan internasional. Tetapi semua itu kini tinggal ”nostalgia”. Kalau Bustanuddin Agus, guru besar dari Universitas Andalas menggugah menyarankan agar istilah ”industri otak” diganti dengan ”industri SDM”, Bung Miko Kamal yang sedang belajar di Sydney, Australia, lebih suka dengan sebutan ”industri orang baik” saja (25/6/08).
Masalahnya tentu bukan sekadar istilah. Ia memiliki akibat yang lebih jauh terhadap cara pandang kita terhadap pendidikan. Kedua penulis ini telah menjelaskan argumen mereka dengan baik, kendatipun keduanya tetap saja menggunakan kata ”industri” dan padanannya. Bagi saya istilah ”industri otak” bukan hanya terkesan congkak, tapi malah menyesatkan jika dikaitkan dengan pendidikan. Mengapa?
Sebagian besar masalah pendidikan kita dewasa ini, seperti yang tampak dari isu-isu ujian nasional (UN), sertifikasi guru, kurikulum baru (KBK, KTSP), privatisasi perguruan tinggi negeri (PT-BHM), ”pendidikan siap pakai”, ”produk unggulan yang harus dijual di pasar bebas” (24/6/08) dan lain-lain berakar dalam pola fikir kapitalisme yang menganggap sekolah dan perguruan tinggi sebagai pabrik. Sejak pertengahan abad ke-19, ketika sekolah gaya Barat mulai diperkenalkan oleh penjajah Belanda ke Indonesia, penguasa kolonial sering menganalogikan sekolah dengan pabrik. Metafora ini semakin kuat bersamaan dengan masuknya kapitalisme kolonial ke Indonesia awal abad ke-20 dan yang kemudian diteruskan oleh rejim pendidikan zaman Orde Baru. Sekolah tidak dimaksudkan untuk mencerdaskan siswa atau murid, apalagi untuk membangunkan kesadaran mereka akan kondisi yang ada.
Pendidikan hanya sekedar untuk memenuhi kuota kebutuhan tenaga kerja di pemerintahan dan dunia industri. Jadi, kalau ada generasi cerdas dan punya kesadaran diri tentang kondisi keterjajahan di masa lalu, maka itu bukan tujuan dari sistem pendidikan kolonial itu sendiri, melainkan suatu penyimpangan dari pola umum. Terutama berkat capaian prestasi individual di luar kawalan sistem pendidikan yang ada. Begitu juga halnya, jika hari ini ada segelintir siswa sekolah kita yang meraih prestasi sampai ke olimpiade internasional, ia bukan produk sistem pendidikan nasional yang ada, melainkan berasal dari kombinasi bakat pribadi dan ikhtiar sekolahnya sendiri.
Memperlakukan lembaga pendidikan sebagai pabrik atau ”industri otak” seperti yang berlaku di zaman kolonial, membawa konsekuensi logis, setidaknya, dalam dua hal. Pertama, karena metafora pendidikan diadopsi dari dunia pabrik, maka hampir semua istilah yang dipergunakan – dan dengan demikian juga pola fikir keduanya tak ada bedanya.
Dewasa ini kita tanpa malu-malu mempergunakan istilah barang dan jasa pendidikan, hasil akhir, prosentase lulusan, perencanaan anggaran, akuntabilitas, kompitisi pasar, standardisasi, sertifikasi ISO, produk unggulan yang laku ”dijual” di pasar; ”pendidikan siap pakai” dan seterusnya tanpa memedulikan perbedaan apakah ini cocok untuk pendidikan kejuruan atau umum. Belum lama ini di kampus perguruan tinggi negeri di Padang muncul lagi istilah baru yang manipulatif, ”Program Reguler Mandiri” untuk mengganti istilah ”non-reguler” atau ekstensi atau pendidikan ’privat’ dalam kampus negeri.
Terminologi semacam yang berwawasan pabrik inilah yang mendominasi dunia pendidikan kita hari ini. Kedua, dalam prakteknya, metafora pendidikan semacam itu juga tercermin, misalnya, dalam sistem kontrol administrasi sekolah yang makin lama makin dekat dengan apa yang layaknya berlaku dalam dunia industri. Pengelola pendidikan dalam pelbagai tingkat/ instansi, mirip dengan manejer pabrik. Ia harus menyelia karyawannya, memantau prilaku murid dan kinerja sekolah agar mutu produksi tetap up to date, sesuai dengan selera pasar. Kurikulum merupakan instrumen dalam proses produksi; apa yang tidak berguna dibuang, diubah sesuai dengan kebutuhan pasar. Pergantian kurikulum, meski inheren dalam pengelolaan pendidikan, tetapi kalau kriterianya efesiensi dan efektif dalam menghasilkan produk sebagaimana diharapkan [pasar], maka yang terjadi ialah bongkar pasang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar