Point 1 : “ Dalam struktur masyarakat modern diyakini bahwa status sosial merupakan sesuatu yang perlu diperjuangkan, bukan hasil pemberian atau garis keturunan”.
Point 2 : ”Budaya merupakan bentukan manusia dan dapat dirubah oleh manusia, kesadaran kritis dan proses transformasi sosial dapat dilakukan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik”.
Dalam salah satu film-nya, Matt Damon pernah berujar : ” Manusia mana yang tidak mengenal keserakahan?”. Ajaran Islam juga mensinyalir (baca: mengakui) sifat hakiki manusia ini. Demikian juga dengan ajaran agama lain. Karena sifat hakiki manusia yang serakah inilah, maka Sosiolog-Ekonom, M. Friedman mengatakan : ”masalah tata sosial sekarang adalah bagaimana menciptakan sistem dimana keserakahan tidak begitu menyakitkan, dan keserakahan yang tidak menyakitkan itu berada dalam makhluk yang namanya kapitalisme”. Kemajuan di berbagai lini kehidupan membawa dampak pada kehidupan sosial masyarakat dan dari perkembangan inilah satugaya hidup baru berawal. Sebuah gaya hidup konsumtif yang dibentuk oleh pemilik modal dengan berkendaraan globalisasi. Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas, minat, dan opini yang berkaitan dengan citra diri untuk merefleksikan status sosialnya. Gaya hidup adalah frame of reference bagi seseorang dalam berperilaku yang konsekuensinya membentuk suatu pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana dia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang disandangnya. Dalam rangka merefleksikan citra inilah, simbol-simbol status tertentu berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya.
Globalisasi itu sendiri ditandai dengan integrasi pasar antara Negara-negara maju, Negara sedang berkembang, dan antar keduanya. Pusat kebudayaan berada di Negara- negara yang memproduksi barang, jasa, maupun symbol-simbol modernitas yang kemudian dikonsumsi secara global oleh seluruh penduduk dunia melalui komoditisasi dalam kemasan budaya. Perluasan pasar ini tidak akan berhasil tanpa adanya perubahan nilai-nilai secara global, yang didoktrinkan melalui media cetak dan elektronik sebagai penyebar epidemi global budaya konsumtif internasional, dan kemudian menjadi penyangga budaya konsumen. Paradigma yang dibentuk dalam masyarakat bahwa apa yang dipopulerkan oleh Negara barat (sebagai pusat kebudayaan) adalah simbol dari modernitas, sehingga bagi yang ingin diaku sebagai orang modern harus ikut meng konsumsi produk yang sama. Fenomena ini bertujuan agar produk-produk industri dapat laku cepat di pasaran dan dikonsumsi secara masal baik di Negara-negara maju maupun berkembang. Sebagai pokok pangkal adanya fenomena gaya gidup sebagai pembentuk pola perilaku tertentu, disebabkan adanya stratifikasi sosial masyarakat. Sebuah struktur sosial yang terdiri dari lapisan-lapisan, dari lapisan teratas hingga terbawah. Ber- kaitan perilaku konsumen, secara samar orang membedakan pengertian kelas sosial dan status sosial. Jika kelas sosial mengacu pada pendapatan atau daya beli, maka status sosial mengarah pada prinsip2 konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup. Dalam masyarakat kosmopolitan yang plural, status sosial ini dapat dengan mudah di mani pulasi. Seseorang dapat memilih apakah memproyeksikan dirinya sesuai dengan resources yang dia miliki, atau memproyeksikan diri lebih tinggi dari yang sesungguhnya, atau mungkin memilih untuk low profile dengan memproyeksikan diri lebih rendah dari yang sebenarnya.
Karena dalam status ini tersimpan unsur prestise, maka pemakaian simbol menjadi penting, dengan tujuan untuk memproyeksikan citra diri sesuai agar dipersepsikan oleh orang lain sebagai bagian dalam kelas sosial tertentu. Motivasi meraih kelas sosial yang lebih tinggi mendorong seseorang melakukan pembelian kredit demi memproyeksikan diri lebih tinggi dari resources yang dimiliki. Permasalahan citra diri erat kaitannya dengan konsep diri (self concept). Konsumen menganggap produk-produk itu dapat mengekspresikan citra yang diinginkannya. Baik itu citra diri aktual yang menggambarkan diri saya sebenarnya, atau citra diri ideal yang menggambarkan sosok yang diinginkan. Dalam era globalisasi, nilai-nilai egaliter merebak ke seluruh pelosok negri. Sebagian masyarakat mendapat kesempatan mendaki tangga sosial. Terjadi universalitas simbol-simbol status yang bukan hanya berdasarkan jenis benda yang harus dimiliki, tapi lebih spesifik lagi kepada merek-nya. Beberapa merek muncul menjadi bahasa untuk mengatakan status sosial yang meningkat, misal Rolex untuk jam tangan, Giorgio Armani untuk pakaian, Adidas untuk perangkat olahraga, dan pena Montblanc. Harganya berkali-kali lipat dibandingkan dengan barang yang sama dengan merek biasa, padahal fungsinya sama saja.
Secara psikologis, pola hidup konsumtif seseorang berkaitan dengan self orientation yang dibagi menjadi tiga kategori : principle, status, dan action. Self orientation yang bertumpu pada principle, maka konsumsi didasari karena keyakinannya. Bukan karena ikut-ikutan atau hanya mengejar gengsi. Boleh dikatakan tipe ini lebih rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status, keputusan untuk mengkonsumsi lebih didominasi apa kata orang. Produk-produk branded menjadi pilihannya. Sedang yang bertumpu pada action, keputusan mengkonsumsi didasari keinginan untuk beraktifitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi risiko. Spa mewah, café berkelas, tempat-tempat dugem, dan pertunjukan yang mendatangkan artis internasional terkenal merupakan refleksinya.
Fenomena ini banyak ditemui pada saat sekarang. Jika logika ekonomi (yang seharusnya negara masih dalam krisis ekonomi) tidak dapat diterapkan, maka memahami perilaku konsumen yang sangat konsumtif dari sisi gaya hidup lebih dapat menjelaskan. Merek- merek impor yang makin membanjiri pasar lokal, menjamurnya distro dan butik yang menjual baju-baju “kurang bahan” dengan harga selangit, tempat dugem yang makin menjamur- justru di kota-kota pelajar seperti Yogyakarta- ini adalah fenomena gaya hidup. Membidik gaya hidup merupakan jalan keluar bagi para pemasar di tengah kelesuan ekonomi. Dalam era globalisasi gaya hidup ini bukan ada dengan sendirinya melainkan sengaja dibentuk, selain untuk mengkayakan pemilik mega industri di negara-negara asing juga untuk melancarkan pencapaian tujuan globalisasi yaitu ”menyamakan rasa”, dimana kebudayaan-kebudayaan di berbagai pelosok dunia diintegral kan ke dalam satu format budaya, yaitu budaya barat sebagai pelaku industri terbesar.
Dapat diamati pada satu sisi bahwa globalisasi secara konkret memberikan kelimpahan material. Tapi di sisi lain menciptakan penduniaan budaya kosumtif yang mengancam peradaban manusia. Budaya konsumtif yang dikemas dalam gaya hidup internasional dan merupakan simbol modernitas dan instant. Dampaknya akan panjang jika gaya hidup konsumtif ini tak segera diminimalisir. Di sektor riil, pengusaha produk lokal makin tertekan karena derasnya arus impor barang oleh pemerintah untuk memenuhi permintaan dalam negri yang kadung ”gandrung” dengan merek luar. Di sektor ekonomi, pendapatan negara semakin didominasi dari sektor konsumsi (C) dan besarnya impor (m), yang sebenarnya menunjukkan ketidakseimbangan perekonomian jika tidak diikuti perkembangan di sektor investasi (I), tabungan (S), dan ekspor (x). Di sektor sosial, pembentukan kelas-kelas sosial akan mengentalkan individualisme dan mengikis kemanusiaan. Selain itu moral generasi muda, adik-adik atau juga anak-anak kita nantinya akan terjebak dalam dunia hedonis yang identik dengan gaya hidup konsumtif yang serba mubadzir. Untuk hari ini, pilihan ada di tangan kita. Berjalan melawan arus menghindari gaya hidup konsumtif atau tetap larut dalam arus demi kesenangan sekarang dan menafikkan efeknya di masa ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar