Senin, 30 Maret 2009

Teori Revolusi Mao Ze Dong : "Desa Mengepung Kota"

Oleh : Muhammad Ilham

Bukalah kembali buku sejarah, pada fase jelang 1965, kosa kata atawa jargon yang sangat familiar dipakai dalam pentas politik kala itu adalah (salah satunya) “Desa Mengepung Kota (DMK)”. Diantara banyak jargon kala itu (Soekarno adalah “master” jargon), jargon revolusi DMK adalah jargon yang selalu dihembuskan oleh PKI. DMK ibarat teori Perang-nya Sun Tzun. DMK identik dengan komunisme, tapi DMK bukanlah jargon produk “mbahnya” Komunis – Karl Marx” atau "Putra Mahkota Marx" Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin. Teori "desa mengepung kota" sebenarnya tidak ada hubungannya dengan penyebaran komunisme sebagai suatu ideologi atau sistem politik. Kalau kita tempatkan pada kompleksitas wacana Mao, teori itu merupakan "prinsip militer" (military principle) untuk memenangkan medan laga. Itu dilakukan oleh suatu satuan kekuatan yang lebih lemah melawan satuan-satuan kekuatan yang lebih kuat. Prinsip yang sama dapat dilakukan oleh satuan gerilya di mana pun, tanpa harus mengaitkannya dengan ideologi komunis atau non-komunis. Keberhasilan partisan Perancis dan Itali melawan Hitler pada masa Perang Dunia II, dan sebaliknya kegagalan partisan Polandia, adalah contoh lain penerapan teori desa mengepung kota. Istilah lain yang sering digunakan adalah focoisme, Castroisme dan fidelismo. DMK murni produk dari Mao Ze Dong. Who is He ?

Harus diakui, Mao Zedong memang merupakan fenomena penting dalam perkembangan teori revolusi. Pemikiran-pemikirannya merupakan alternatif bagi revolusi model Soviet yang bertumpu pada kekuatan dan kepemimpinan kaum buruh. Seperti halnya Vladimir Lenin, Mao memang merupakan bagian kecil dari sedikit teoritisi dan sekaligus praktisi revolusi sosialis. Ia mampu mengangkat latar belakang sosial ekonomi dan kultural untuk mendukung obsesi revolusioner. Mao belajar banyak dari Lenin. Mao percaya bahwa partai yang disiplin, kohesif dan didukung struktur kepemimpinan yang hierarkis merupakan syarat berhasilnya revolusi sosialis. Peranan kader partai sebagai penggerak mobilisasi massa menjadi faktor penting. Dalam pandangan Mao, kegagalan revolusi petani Taiping dan Nien adalah karena tidak adanya ideologi yang sistematik yang memberi pengarahan pada apa yang seharusnya dilakukan oleh para petani.

Namun berbeda dengan Lenin, Mao telah menjadi revolusioner jauh sebelum menjadi seseorang yang meneguk Marxisme. Sebab itu, ia bukanlah teoritisi yang konservatif dalam menafsirkan ajaran Marxisme, bahkan ia memberi kesan sangat anti-dogmatis. Ia sengaja menafsirkan proletariat dari padananya dalam bahasa Cina, wu-chan chieh-chi (lapiasan sosial yang hanya memiliki sedikit harta), dan sampai pada kesimpulan bahwa petani dapat menjadi kekuatan revolusioner. Sebelum berhasilnya revolusi Cina, kaum Marxis memandang rendah pada potensi kaum tani sebagai penyanggah utama revolusi. Gagasan-gagasan dan politik Mao bukan saja mengawali pertikaian Sino-Soviet selama lebih dari tigapuluh tahun, tetapi juga memberikan harapan baru di beberapa negara berkembang.

Satu hal yang mungkin menyebabkan Mao "lebih besar" dari Lenin adalah gagasannya mengenai "perang gerilya". Teori desa mengepung kota yang dikemukakan tahun 1927 mempunyai banyak penganut. Che Guevara dan Fidel Castro, dalam Revolusi Kuba pada penghujung 1950-an, serta Regis Debray di Aljazair menggunakan teori yang sama. Di Indonesia, Dipa Nusantara Aidit mencoba menerapkan dan memperkaya teorinya di awal dasawarsa 1960-an. Dengan beberapa modifikasi, apa pun namanya, prinsipnya serupa, yaitu menciptakan kekacauan di desa-desa kecil untuk pada akhirnya menumbangkan kekuasaan pusat. Castro dan Che Guevera baru saja melumpuhkan pemerintahan Batista di Havana setelah menguasai Sierra Maestra dan Santiago. Seperti terlihat dalam Resolusi 5 Oktober 1928, Mao mengakui bahwa Cina adalah kasus tersendiri. Ia mengatakan bahwa desa mengepung kota hanya dapat dilakukan di suatu negara yang secara ekonomi terbelakang dan berada di bawah pemerintahan tidak langsung (indirect rule) penguasa kolonial atau rezim yang sedang mengalami fragmentasi elit. Tulisan-tulisan Mao tahun 1926-1927 disunting kembali dengan menambahkan semangat ideologi. Mulai muncul istilah-istilah "di bawah kepemimpinan partai komunis". Untuk pertama kalinya Mao mengakui peranan pemberontakan Taiping sebagai inspirasi teori Mao. Namun pada saat yang sama, ia juga menghapus fakta sejarah, misalnya mengganti istilah "berjuang karena upah" dengan "berjuang karena kesadaran". Semua itu barangkali merupakan keinginan Mao untuk menggunakan revolusi Cina sebagai model revolusi sosialis di negara-negara berkembang, selain untuk mendapat tempat tersendiri dalam sejarah Cina.

Tentu saja ada beberapa kontribusi Mao, dan kemudian Lin Bao, pada teori perang gerilya. Menurut Mao, ada tiga syarat yang diperlukan agar "kepungan" itu berhasil. Pertama, pelaksanaan teori itu memerlukan basis geografis yang aman. Jika tidak, pasukan inti dan kader bersenjata tidak akan dapat mengangkat kekacauan itu menjadi sesuatu yang lebih besar. Usaha Mao untuk mengorganisir revolusi dalam dasawarsa 1930-an gagal karena basis gerakannya, Kiangshi (di lembah Yangtze), tidak aman dari pukulan-pukulan pasukan Chiang Kaishek. Mao terpaksa memindahkan markas Partai Komunis Cina dari Kiangshi. Secara militer, perjuangan Mao baru berhasil setelah melakukan long march ke Shensi yang dilindungi oleh perbukitan sulit Mongolia Utara yang berada di bawah kekuasaan Uni Soviet. Hijrah yang menempuh jarak ratusan kilometer itu bukan hanya mampu mengundang simpati rakyat. Tetapi juga memancangkan Mao sebagai praktisi revolusi terbesar abad 20.

Kedua, teori desa mengepung kota hanya dapat terjadi di negara yang besar dan dengan jaringan komunikasi yang buruk. Mao berulangkali menekankan faktor ini dalam tulisan-tulisannya. Ia mengakui bahwa dalam sebuah negara yang kecil, atau di suatu negara yang memiliki jaringan komunikasi yang baik sehingga pemerintah dengan mudah dapat melakukan mobilisasi kekuatan, strateginya menjadi tidak efektif. Karena menguasai dengan baik medan lokal, termasuk memperoleh dukungan luas dari masyarakat setempat, komunikasi yang buruk akan membendung penetrasi pihak penguasa. Ketiga, yang tampaknya merupakan sumbangan terbesar Mao, keberhasilangerilya mengepung kota memerlukan ideologi yang sistematik. Di sini Mao memperoleh inspirasi yang kuat dari Lenin dan sekaligusmengawinkannya dengan sejarah Cina. Penting adalah kepemimpinan Partaiyang mampu membangkitkan kesadaran dan memimpin ke mana rakyat harus menuju perjuangannya. Tanpa ideologi, kekecewaan masyarakat hanya akanmuncul dalam bentuk goyangan-goyangan spontan, sporadis dan tidakberjangka lama. Mao sendiri merujuk pada pemberontakan petani Taipingdan Nien (1850-1866) sebagai contoh revolusi petani yang gagal.

Kombinasi antara ketiga persyaratan itu membuahkan teori besar yang ternyata sangat ampuh, seperti kemudian terlihat dari keberhasilan Mao mengalahkan Chiang Kai-shek dan penjajah Jepang. Maois percaya bahwa kader partai dapat mengawali terjadinya perang gerilya. Sekalipun demikian, keberhasilan mereka sangat tergantung pada kemampuan mereka memperoleh dukungan masyarakat. Komunis Spanyol mampu bertahan untuk beberapa tahun di Aragon (1945) tetapi mereka tidak mampu bertahan lebih lama karena tidak memperoleh dukungan yang meluas. Di Aljazair, Regis Debray gagal memetik kemenangan yang berarti. Kegagalan yang sama dialami oleh gerilyawan Kikuyu (Kenya) dan Cina (Malaya). Sebagai bagian dari perang gerilya, pilar penting dari desa mengepung kota adalah dukungan masyarakat setempat. Mereka, seperti dikatakan Che Guevara, "mempunyai banyak teman, mengerti kepada siapa harus mencari pertolongan, menguasai medan laga, dan memiliki ekstraantusiasme untuk mempertahankan tanahnya". Namun jika gerilya itu merupakan perpaduan kekuatan antara "kader luar" dan masyarakat lokal, keberhasilannya akan ditentukan oleh seberapa jauh hubungan mereka kohesif. Ini hanya dapat dibangun dengan pendidikan yang sistematik, baik dalam pendidikan sosial maupun militer. Kader harus mampu melakukan lebih banyak dari sekedar bertempur dan memberi petunjuk-petunjuk ideologis, tetapi dituntut juga untuk melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat. Dalam sejarah perang gerilya menumbangkan penjajah Belanda, kita juga sering mendengar cerita mengenai hubungan yang karib antara "tentara" dengan rakyat. Perbedaan anatara gerilya nasional dengan gerilya komunis barangkali hanya terletak pada metode yang digunakannya untuk menggalang massa. Aidit, pada awal 1960-an, menekankan pada unsur agitasi untuk mendapatkan dukungan itu.

Tidak mudah menelusuri apakah "desa mengepung kota" sekedar merupakan teori militer untuk mengalahkan pihak lawan yang jauh lebih kuat atau dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik terbentuknya suatu negara [komunis] dengan kader anti-establishment yang menggunakan cara-cara clendestine. Mao telah menunjukkan kepada dunia betapa kreatifitas memainkan peranan penting dalam mencapai tujuan. Dogmatisme, ortodoksi dan konservatisme dalam memegang suatu gagasan akan mencapai kegagalan. Teori Mao pun mengalami perkembangan dan bukan hanya meliputi strategi militer. Lin Bao menggunakan istilah yang sama dalam konteks politik internasional dengan mengindentisifikasikan negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin sebagai "kampung" dan negara-negara maju sebagai "kota". Hal yang sebaliknya dapat terjadi, menimbulkan kekacauan di desa-desa untuk merongrong legitimasi dan otoritas pemerintah pusat.

Anti-komunisme merupakan sumber legitimasi kepemimpinan dan sekaligus justifikasi kebijakan Orde baru. Karena itu dapat dimengerti jika "hantu komunis" secara berulang muncul kembali. Apakah hantu itu merupakan sosok yang nyata atau bayangan, merupakan masalah yang kurang penting. Sekalipun demikian, jika stabilitas politik ingin tetap dipertahankan, sebenarnya perlu mendapatkan diagnosis yang tepat mengenai mengapa terjadi kerusuhan massal. Tanpa diagnosis yang tepat, seorang dokter akan keliru memberikan terapi. Sayangnya, memberikan diagnosis tidak selalu mudah. Gejala yang sama mungkin timbul dari sebab yang berbeda. Yang menjadi tantangan pokok bagi setiap rejim anti-komunis adalah bagaimana membuat agar gagasan komunis tidak mendapat kesempatan untuktumbuh. Salah satu daya tarik teori Marxis, termasuk di dalamnyagagasan-gagasan Mao, adalah janjinya untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dengan kata lain, gagasan Marxis mungkin muncul justru karena kesenjangan sosial. Tentu tidak sebaliknya berlaku. Artinya, terlalu simplistis mengatakan bahwa mereka yang memperjuangkan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial selalu diilhami oleh ideologi Marxis. Gagasan yang sama, pertentangan antara masyarakat tertindas dengan penindas, dapat ditemukan pula di kalangan berbagai paham keagamaan. Stabilitas politik tidak perlu terancam jika gagasan untuk mencapai pemerataan dan keadilan itu dicapai melalui cara-cara demokratik seperti dilakukan oleh Partai Komunis dan Sosialis di Eropa Barat atau melalui cara kekerasan seperti yang dilakukan oleh Lenin dan Mao.

(Substansi tulisan dari berbagai sumber)

1 komentar:

gvntoro atmodjo mengatakan...

Tulisan yang bagus untuk menambah wawasan mengenai teori-teori Mao Zedong