"Tan Malaka itu adalah kesunyian, militansi ideologi dan keteguhan prinsip mengalahkan keinginan naluriah-libidonya ..... tak mengenal baik yang namanya wanita dan pernikahan". Sebutlah, siapa aktor sejarah Indonesia periode jelang pembentukan "negara bangsa", mungkin hanya Soekarno yang flamboyan. Hatta, Syahrir, Agus Salim, Natsir dan Yamin dicatat sejarah sebagai makhluk Tuhan yang tidak memiliki cerita indah tentang petualangan cinta. Bahkan DN. Aidit, hanya mengenal satu wanita alam hidupnya (Muhammad Ilham, "Kepahlawanan yang Krisis Contoh", Harian Haluan tanggal 11 Nopember 2002)
(Ditulis dan diedit ulang dari Majalah TEMPO "Satu Abad Tan Malaka")
Untuk Mengenal Tan Malaka, rasanya DR. Harry Albert Poetze tidak bisa dilepaskan. Beliau adalah indonesianist yang mendedikasikan dirinya untuk “menjelajahi” kehidupan Tan Malaka. Ia ibarat Jorge Jordag, Sejarawan Yahudi yang mengarang secara empatik Riwayat Ali bin Abi Thalib. Bagi Poetze, kematian Ibrahim Datuk Tan Malaka ibarat sejarah yang hilang. Bertahun-tahun tidak ada yang bisa memastikan perjalanan hidup hingga akhir hayat tokoh sosialis asal Suliki, Pandan Gadang, Gunung Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, itu. Misteri kematian itu membuat Dr Harry Albert Poeze tergerak menelitinya. Lebih dari 36 tahun, Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk studi Karibia dan Asia Tenggara, Leiden, Belanda, ini menelusuri jejak langkah lelaki penulis buku Madilog itu yang “klasik-masterpiece” itu. Jerih payahnya membuahkan hasil. Hasil penelusurannya ia bukukan setahun lalu dengan judul Vurguisden Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolution 1945-1949 (Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949).
Dalam buku setebal 2.200 halaman itu, Poeze memastikan Tan Malaka ditembak mati di Dusun Selopanggung, Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, pada 21 Februari 1949. Beberapa tahun lalu, Poeze dan kerabat Tan Malaka datang ke Selopanggung untuk memastikan makam Tan Malaka. Wartawan Tempo, Dwidjo U. Maksum, yang turut dalam ekspedisi di lereng Gunung Wilis itu, mewawancarainya di sepanjang perjalanan. Petikannya:
Apa yang mendorong Anda datang kembali ke Selopanggung?
Saya ingin memastikan makam Tan Malaka benar-benar di sini. Saya datang bersama kerabat Tan Malaka: Zulfikar Kamarudin (keponakan Tan Malaka), Ibarsyah Ishak (kerabat Tan Malaka), dan Hutomo Amarun (sesepuh Partai Murba).
Anda yakin Tan Malaka dimakamkan di Selopanggung?
Saya melakukan penelitian sejak 1970-an. Data dan kesaksian yang saya peroleh selama 36 tahun sangat lengkap dan sangat mendukung keyakinan saya ini.
Keluarga juga yakin, makam Tan Malaka di Selopanggung?
Persis. Keyakinan mereka seperti keyakinan saya. Untuk pastinya, akan dilakukan penggalian secepatnya untuk dilakukan tes DNA.
Jika benar, apakah makam akan dipindah?
Keluarga lebih senang jika Tan Malaka tetap dikuburkan di sini, namun mereka meminta kepada pemerintah Indonesia agar makamnya dipugar dan dibikin lebih layak seperti makam pahlawan lainnya. Warga sekitar makam juga berkeberatan jika kuburan (Tan Malaka) dipindah dari desa mereka. Pemerintah perlu melengkapinya dengan pusat studi dan dokumentasi. Sejarah perjuangan Tan Malaka sangat monumental dan perlu dipelajari lebih dalam. Banyak buku tulisan Tan Malaka, pustaka, dan peninggalan dia yang perlu diketahui.
Menurut keluarga Tan Malaka, Soekarno pernah mengeluarkan keputusan yang mengukuhkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional.
Ya, saya kira itu benar. Tak ada salahnya pemerintah Indonesia memberi perhatian kepada Tan Malaka. Ia adalah sebuah sejarah yang dahsyat dan luar biasa. Sangat bijaksana jika pemerintah Indonesia membangun pusat studi dan dokumentasi tentang Tan Malaka di dekat makamnya di Selopanggung ini agar generasi bangsa Indonesia memahami sejarah pahlawannya.
(Sebelum bertolak ke Jakarta untuk meneruskan perjalanan pulang ke Belanda, Poeze dan rombongan menyempatkan diri mampir di sejumlah tempat yang diharapkan memiliki sangkut paut dengan keberadaan Tan Malaka di Kediri. Ia juga menemui sejumlah saksi hidup).
Kapan makam Tan Malaka akan dibongkar?
Jika tidak ada halangan, kemungkinan besar kami akan melakukan pembongkaran pada Oktober mendatang. Nanti saya akan kembali lagi ke Kediri.
Berapa kali Anda datang ke Selopanggung?
Ini adalah kedatangan saya yang ketiga. Pertama pada 1990, kedua sekitar 1992, dan Juli 2008 ini ketiga kalinya. Saya tetap akan datang lagi untuk melanjutkan dan mempersiapkan penerjemahan buku saya dalam dalam bahasa Indonesia.
Dari hasil penelitian Anda, kapan dan siapa sebenarnya pembunuh Tan Malaka?
Tan Malaka ditembak mati di Selopanggung pada 21 Februari 1949. Dia ditembak pasukan tentara. Tan Malaka bukan ditembak mati di tepi Sungai Brantas seperti cerita yang ada selama ini.
Apa dasar keyakinan Anda itu?
Saya meneliti secara tuntas delapan versi. Bertahun-tahun melacak Tan Malaka, seolah-olah saya seorang detektif. Sangat sulit dan penuh tantangan.
Menurut Anda, Tan Malaka itu sosok seperti apa?
Dia sosok yang dahsyat, luar biasa, tapi juga ironis. Pemerintah harus mendorong generasi sekarang untuk terus melakukan penelitian tentang dia. Tan Malaka seperti Che Guevara (pejuang revolusi Marxis Argentina dan seorang pemimpin gerilya Kuba).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar