Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Sejak 1932, mereka berdua telah berteman, bahu membahu untuk mewujudkan
Indonesia yang bebas dari cengkraman kuku imperialisme. Puncaknya
terjadi pada 17 Agustus 1945, ketika
atas nama sebuah bangsa baru bernama Indonesia mereka mengumumkan kepada
dunia tentang kebebasan dan pernyataan perang terhadap semua yang
bernama penjajahan. Tapi Hatta tetaplah Hatta. Ia pemilik
prinsip: kawan sejati adalah kawan yang selalu tampil mengingatkan. Dan
pada 1960, Hatta tampil sebagai kawan sejati bagi Soekarno. Dalam sebuah
bukunya bertajuk Demokrasi Kita, Hatta mengeritik berbagai langkah
politik yang dijalankan Soekarno. Salah satu yang mendapat perhatian
Hatta adalah cara penyelenggaraan Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh
Soekarno sebagai bentuk praktek nyata dari prilaku diktator. ”Tetapi dengan perubahan DPR yang terjadi sekarang , dimana semua
anggotanya ditunjuk langsung oleh Presiden maka lenyaplah sisa – sisa
demokrasi yang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu
diktator...”tulisnya, langsung dan pedas .
Soekarno marah.
Sikap jujur dan peringatan dari sahabat dekatnya itu,disalahartikan
olehnya. Baginya pernyataan Hatta, hanya menjadi duri bagi perjalanan
revolusi yang tengah diusungnya.Ya, Soekarno saat itu memang tengah
mabuk revolusi. Beberapa hari setelah keluarnya tulisan itu, Soekarno
lantas memerintahkan untuk memberangus penerbitan Demokrasi Kita,
sekaligus menyertakan ancaman penjara bagi siapa yang menyimpannya dan
membacanya. Provokasi untuk menyingkirkan Hatta pun bertiup
kencang. Suatu hari, dalam suatu peringatan hari kemerdekaan, Ketua
Central Commite Partai Komunis Indonesia:Dipa Nusantara Aidit, membaca
teks Proklamasi tanpa menyebut nama Hatta diakhirnya. Berbahagiakah
Soekarno?. Alih-alih memuji Aidit dan PKI-nya, Soekarno malah
meradang. Seperti dikisahkan Guntur, di rumahnya sambil meninju meja
makan, ia berkata geram : “Orang boleh benci pada seseorang, orang boleh
dendam pada seseorang Boleeeh entah apalagi! Dan kamu tahu? Aku
kadang-kadang jedag dengan politiknya Hatta! Aku kadang-kadang saling
gebug dengan Hatta!! Tapi… Menghilangkan Hatta dari teks
proooklaamaasii, itu perbuatan pengecut!!!”.
Hatta tahu,
sebagai sahabat, Soekarno tak mungkin tega mencelakakannya. Ia yakin,
apapun yang dilakukan Soekarno pada dasarnya adalah untuk kebaikan
negeri yang sama-sama mereka dirikan tersebut. Keyakinan itu pula yang
ia genggam erat-erat, saat ia melangkahkan kakinya menuju Wisma Yaso,
justru ketika orang-orang yang dulu dekat dengan Si Bung di puncak
kekuasaanya seolah raib ditelan bumi atau mereka pura-pura tak pernah
mengenalnya. Bukan sekadar menjumpai, Hatta juga memberi
seuntai doa.Sentuhan tangannya buat Soekarno adalah sebuah isyarat :
bahwa dirinya tak akan pernah meninggalkan Soekarno, tak akan melupakan
manusia besar yang sangat dikenalnya itu, hanya karena tulisannya
diberangus dan ia diancam masuk penjara. Ia yakin, sebuah
perkawanan sejati diantara dua manusia jauh melebihi segalanya.Bahkan
melampau keyakinan-keyakinan ideologis dan kepentingan politik yang
nisbi. Ya, pada dasarnya, bisa jadi Hatta tetap percaya dan mencintai
Soekarno. Setidaknya itu terlukiskan di tahun 1956, saat ia marah kepada
pers Amerika Serikat yang terus menerus menghina sahabat lamanya itu:
“Seburuk-buruknya Soekarno… Ia adalah Presiden saya !"
Referensi dan Foto : (c) Hendri Johari/Hendijo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar