Rabu, 01 Agustus 2012

Seburuk-buruknya Soekarno, Ia adalah Presiden saya!”

Ditulis ulang : Muhammad Ilham 

Sejak 1932, mereka berdua telah berteman, bahu membahu untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari cengkraman kuku imperialisme. Puncaknya terjadi pada 17 Agustus 1945, ketika atas nama sebuah bangsa baru bernama Indonesia mereka mengumumkan kepada dunia tentang kebebasan dan pernyataan perang terhadap semua yang bernama penjajahan. Tapi Hatta tetaplah Hatta. Ia pemilik prinsip: kawan sejati adalah kawan yang selalu tampil mengingatkan. Dan pada 1960, Hatta tampil sebagai kawan sejati bagi Soekarno. Dalam sebuah bukunya bertajuk Demokrasi Kita, Hatta mengeritik berbagai langkah politik yang dijalankan Soekarno. Salah satu yang mendapat perhatian Hatta adalah cara penyelenggaraan Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh Soekarno sebagai bentuk praktek nyata dari prilaku diktator. ”Tetapi dengan perubahan DPR yang terjadi sekarang , dimana semua anggotanya ditunjuk langsung oleh Presiden maka lenyaplah sisa – sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu diktator...”tulisnya, langsung dan pedas . 

Soekarno marah. Sikap jujur dan peringatan dari sahabat dekatnya itu,disalahartikan olehnya. Baginya pernyataan Hatta, hanya menjadi duri bagi perjalanan revolusi yang tengah diusungnya.Ya, Soekarno saat itu memang tengah mabuk revolusi. Beberapa hari setelah keluarnya tulisan itu, Soekarno lantas memerintahkan untuk memberangus penerbitan Demokrasi Kita, sekaligus menyertakan ancaman penjara bagi siapa yang menyimpannya dan membacanya. Provokasi untuk menyingkirkan Hatta pun bertiup kencang. Suatu hari, dalam suatu peringatan hari kemerdekaan, Ketua Central Commite Partai Komunis Indonesia:Dipa Nusantara Aidit, membaca teks Proklamasi tanpa menyebut nama Hatta diakhirnya. Berbahagiakah Soekarno?. Alih-alih memuji Aidit dan PKI-nya, Soekarno malah meradang. Seperti dikisahkan Guntur, di rumahnya sambil meninju meja makan, ia berkata geram : “Orang boleh benci pada seseorang, orang boleh dendam pada seseorang Boleeeh entah apalagi! Dan kamu tahu? Aku kadang-kadang jedag dengan politiknya Hatta! Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta!! Tapi… Menghilangkan Hatta dari teks proooklaamaasii, itu perbuatan pengecut!!!”. 

Hatta tahu, sebagai sahabat, Soekarno tak mungkin tega mencelakakannya. Ia yakin, apapun yang dilakukan Soekarno pada dasarnya adalah untuk kebaikan negeri yang sama-sama mereka dirikan tersebut. Keyakinan itu pula yang ia genggam erat-erat, saat ia melangkahkan kakinya menuju Wisma Yaso, justru ketika orang-orang yang dulu dekat dengan Si Bung di puncak kekuasaanya seolah raib ditelan bumi atau mereka pura-pura tak pernah mengenalnya. Bukan sekadar menjumpai, Hatta juga memberi seuntai doa.Sentuhan tangannya buat Soekarno adalah sebuah isyarat : bahwa dirinya tak akan pernah meninggalkan Soekarno, tak akan melupakan manusia besar yang sangat dikenalnya itu, hanya karena tulisannya diberangus dan ia diancam masuk penjara. Ia yakin, sebuah perkawanan sejati diantara dua manusia jauh melebihi segalanya.Bahkan melampau keyakinan-keyakinan ideologis dan kepentingan politik yang nisbi. Ya, pada dasarnya, bisa jadi Hatta tetap percaya dan mencintai Soekarno. Setidaknya itu terlukiskan di tahun 1956, saat ia marah kepada pers Amerika Serikat yang terus menerus menghina sahabat lamanya itu: “Seburuk-buruknya Soekarno… Ia adalah Presiden saya !"

Referensi dan Foto : (c) Hendri Johari/Hendijo

Tidak ada komentar: