"Bayangkan dirimu,
kata sosiolog Iran tamatan Sorbonne Ali Shariati, sebagai sebuah partikel besi di
dalam sebuah medan magnet, seolah-olah engkau berada diantara
berjuta-juta burung putih yang sedan melakukan mikraj". Ali Shariati
yang dikenal sebagai ideolog Revolusi Islam Iran ini, benar dan
menyentuh. Sebuah partikel besi diantara semesta jutaan partikel besi
lainnya, sekor burung putih di antara jutaan burung putih. Ka'bah, kata Ali Shariati yang satu kelas
dengan "si jagal" Polpot kala kuliah di Sorbonne ini, adalah sebuah
kebersahajaan, tanda menyerahnya manusia di hadapan sang Azza wa Jalla.
Ia hanyalah sebuah kubus tanpa ornamen nan indah, kecuali kaligrafi pada
kiswah yang membungkusnya - ia praktis tanpa keelokan, tanpa ornamen,
tanpa keinginan menjadi impresif. Ia berdiri begitu saja di halaman
dalam Masjidil Haram, dan - sebagaimana kata Muhammad Assad - "tak
menyentak". Muhammad Assad, penulis Islam keturunan Yahudi Eropa itu
benar. Dalam bukunya Jalan ke Mekkah, sebuah buku nan indah tentang
perjalanan hidupnya, Assad mengatakan, "Saya telah menyaksikan di
berbagai negeri kaum Muslimin, tempat para tangan seniman besar
menciptakan karya yang diilhami, tapi justru dalam kesederhanaan Kubus
Ka'bah, yang menyangkal segala keindahan garis dan bentuk, tercermin
satu sikap bahwa betapapun indahnya segala apa yang dapat dibuat oleh
tangan-tangan manusia, adalah congkak jika dibandingkan dengan kebesaran
Tuhan". "Oleh karena itu, kata Assad, semakin sederhana yang dapat
disombongkan manusia, merupakan hal yang terbaik yang dapat dibuatnya
untuk menyatakan kebesaran Tuhan".
Sumber Foto : google.picture.com (cc) Muhammad Ilham Fadli facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar