Mari
sobat kita berjabat tangan/Tak perlu saling mengunggulkan/Berlombalah
membuat kebajikan/Siapa tahu di surga k'lak kita bertemu/Mengapa masih
saling memaki/Mengapa ada saja yang dipertentangkan/Pun buruk sangka
dan praduga/Ku ingin tersadar dari lamunan/Karena kita lupa saling
mengingatkan/Karena kita, saudara yang lain jadi berbeda/ (Puisi kiriman salah seorang mahasiswa saya, dua puluh satu purnama yang lalu)
Dalam bahasa sosiologi, suatu fenomena atau struktur sosial akan tetap eksis dan tetap digunakan ataupun diakui keberadaannya, apabila fungsional dalam sebuah realitas sosial. Poligami, misalnya, pada masa dulu dipandang fungsional bagi masyarakat. Apalagi yang melakukannya elit sosial dan elit agama. Bahkan akan dipandang patologic bila mereka mempraktekkan monogami. Namun jangan ditanya sekarang. Poligami ataupun Monogami, menjadi standar keluhuran pribadi seseorang. Elit sosial maupun elit agama yang mempraktekkan poligami justru dianggap patologic. Dahulu memiliki banyak anak dianggap "kaya". Sekarang justru dipandang asing. Nilai anak dari sudut kuantitatif dipandang dalam perspektif fungsional. Aksioma yang menyatakan : "Bila ingin menghilangkan suatu fenomena atau sebuah nilai sosial, dis-fungsikan nilai atau fenomena itu, ia akan hiang dengan sendirinya".
Hal
ini juga terlihat dalam praktek ritual keagamaan (dalam hal ini :
praktek ritual ibadah Islam). Selama Ramadhan berlangsung, karena memang
secara kuantitatif, begitu banyak orang yang "berkunjung" ke
masjid-musholla, melaksanakan qiyam ul-lail. Beragam style teknis
beribadah akan kita lihat. Ada yang sholat dengan "memicingkan mata",
menggelengkan kepala dari kiri ke kanan kala berzikir, menaik-naikkan
telunjuk waktu tahyat akhir dan
seterusnya. Terlepas dari dalil dan perdebatan syar'iyah-fiqh, namun
kala kita tanyakan "dalil keyakinan dan empirik" mereka melakukan style demikian,
akan didapatkan secara umum dua jawaban, pembelajaran dan fungsional.
Mereka lakukan seperti itu, karena memang seperti itu yang mereka
pelajari dari guru atau tokoh panutan yang diyakini. Kemudian, mereka
juga merasa "nyaman", merasa "at-home" dan merasa menikmati beritual
demikian. Orang yang melihat, mungkin merasa heran, tapi bagi mereka
yang melakukan, justru merasa nikmat senikmat-nikmatnya. Bagi orang lain
terkesan lebay, bagi mereka
justru fungsional. Dalam bahasa sosiologi agama, diinilah letak
kelebihan agama. Agama menawarkan kegairahan fungsional bagi
penganutnya.
Demikianlah, setiap manusia, dalam sejarah panjangnya, senantiasa mencari Tuhan dan fungsionalisasi teologisnya.
Demikianlah, setiap manusia, dalam sejarah panjangnya, senantiasa mencari Tuhan dan fungsionalisasi teologisnya.
Sumber Foto : Sami bin Abdullah al-Maghluts (cc) Mufizar Ilyas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar