Selasa, 07 Agustus 2012

Asketisme Pedagang Zen

Oleh : Muhammad Ilham

Kerja adalah ibadah ...... dan hasil kerja adalah untuk mengeluarkan orang dari kesulitan dan ketidakmampuan mereka, dan Kaya adalah bentuk "pertemuan"dari keduanya 
(Robert N.Bellah)


Pada waktu berbuka kemaren, mata saya tertumbuk pada sebuah buku yang dibawa oleh istri saya tentang "Maju a-la ZEN". Saya juga heran, mengapa "soulmate" saya ini membawa buku ini, biasanya ia tidak begitu menyukai buku-buku sejenis ini. Sambil menanti makan malam (perbukaan) yang sedang diolah di dapur, saya coba baca buku "Maju a-la ZEN" ini. Awalnya saya tidak begitu respek, tapi makin saya baca makin menarik, seumpama minum air laut, makin haus bila makin diminum. Dari buku ini, ada satu hal yang menarik bagi saya, ajaran Shuzuki Shosan, pendeta Budha aliran ZEN yang hidup pada masa Tokugawa. Ajaran ZEN ini dianggap aliran atau ajaran yang "paling" bertanggung jawab terhadap perkembangan kapitalisme Jepang pada zaman modern ini, yang pada akhirnya memberikan julukan bagi orang Jepang sebagai "binatang ekonomi", sebuah julukan yang diberikan orang "Timur" dan "Barat" pada manusia-manusia keturunan Dewi Ameterasu Omikami ini. Mereka dikenal sebagai bangsa yang sangat agresif mencari laba. Iklannya gemerlap merambah seluruh suduut belahan-bulat dunia ini. Merk atau Brand Jepang apa kini yang tidak dikenal oleh masyarakat dunia, bahkan sampai ke pelosok desa paling "pelosok sekalipun.

Tentu saja orang Jepang tidak akan menyukai julukan "binatang ekonomi" ini. Bukan saja karena mereka menolak realitas tingkah laku yang memang secara pas digambarkan. Tapi karena mereka beranggapan persepsi orang lain tentang bangsa Jepang adalah keliru. Memburu laba bukanlah tujuan mereka atau nilai-motivasi yang berada dibelakang kegiatan orang Jepang. Kerja keras yang tekun dan rajin untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, itulah basis dasar kegiatan apapun juga dalam berbagai bentuk profesi kerja : apakah pedagang, seniman ataupun sebagai seorang samurai. Dan, ini merupakan kontribusi ZEN. Ajaran ini mendapatkan tempat ketika sebagian besar penduduk negara Sakura ini kehilangan alasan untuk hidup, setelah mengalami perang saudara bertahun-tahun dan ketika memasuki masa damai, justru mengalami kesulitan untuk mengadaptasi diri. Ajaran kerja, sebagai cara untuyk mencapai kebebasan, nampaknya mengena di hati rakyat Jepang. Kerja dengan penuh kejujuran dalam ajaran ZEN merupakan bentuk dari sikap hidup Askestisme (Zuhd). Kerja adalah pekerjaan suci dan harus dihayati dalam kerangka religius. Kerja untuk mencari keuntungan justru ditolak. Kerja a-la ZEN bukanlah suatu kegiatan ekonomi, tapi suatu latihan untuk hidup zuhd.

Menurut buku ini, orang Jepang sangat menghargai seseorang yang sikapnya terhadap kerja bersifat religius. Nilai ini hanya akan bisa diejawantahkan dengan kerja produktif. Seorang pedagang dalam organisasi dagang Jepang a-la ZEN menganggap distribusi barang sebagai tugassuci untuk membebaskan setiap orang dari kekurangan. Mungkinkah karena ini, maka "religiusitas kerja"nya membuat Jepang unggul sebagai pengrajin industri dan sekaligus pedagang ? Mungkinkah karena ini pula .... dunia merasakan kehadiran "Jepang" di mana-mana ? .......... Dan ketika menjelang sahur, kala istri sedang asyik menyiapkan masakah sahur untuk kami, beberapa saat kemudian ia berkata, "bang, makanan sudah selesai saya masak, ayo kita makan bareng anak-anak," kata istri saya ketika saya masih membaca buku ini. Wajahnya nampak bahagia, mungkin ia ikhlas memasak masakan paling enak buat saya, walau dengan harga bahan baku murah. Ia hidangkan buat kami tanpa raut muka letih ............. dan mungkin karena ini pula, kehadiran masakah istri saya, sangat saya rindukan. Masakan itu terasa ada dimana-pun saya ada ...... hah, ingat orang Jepang, yang kehadiran "barang-barang" mereka ada dimana-mana.

Tidak ada komentar: