Dalam acara Indonesia Lawyer Club selasa malam kemaren (18/10), Penasehat KPK yang juga sekaligus Ketua Komite Etik KPK, Abdullah Hehamahua, di"sudutkan" dalam taraf yang tak beretika. Pada acara yang digawangi wartawan fenomenal Karni Ilyas (TVOne) ini, lawyer Nazaruddin, Otto Cornelis (OC) Kaligis "menghantam" Abdullah Hehamahua. "Malaikat munafik" itu gelar yang diberikan pengacara kondang ini pada mantan Ketua HMI tersebut. Dengan intonasi suara (via telpon) penuh dendam dan kemarahan, Kaligis menghujat Hehamahua sebagai manusia pembohong yang tidak layak untuk dipercayai. Lucunya, tak ada pembelaan berarti dari anggota-anggota DPR serta pengamat hukum serta budayawan yang hadir pada malam itu. Justru, sebilah "badik" yang diberikan oleh mahasiswa kepada Abdullah Hehamahua agar tetap tegar melawan koruptor, bahkan secara spesifik mahasiswa (Makassar) tersebut mengatakan : "kami serahkan badik ini pada pak Abdullah, jangan takut melawan Kaligis". Entah karena usia sudah mulai menua, atau memang penguasaan emosi-nya yang stabil, Abdullah tidak begitu responsif-marah menanggapi statement Kaligis dan beberapa pengamat pada malam itu yang terkesan tendensius ingin "membonsai" tupoksi KPK, untuk tidak mengatakan ingin membubarkan KPK. Bagi saya, ketenangan Abdullah Hehamahua pada malam itu, menunjukkan kualitasnya. Ia tak mau terbawa arus perdebatan yang tak substantif. Ia ingin dianggap waras. Beda dengan Kaligis (terutama menurut saya) pada malam itu terkesan "sasak angok". Kejadian malam itu (kembali) mengingatkan kita pada rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan penegak hukum (KPK, Polri dan Jaksa Agung) hari senin (3/10) lalu yang berakhir antiklimaks.
Setelah dibiarkan berlangsung suka-suka, rapat berakhir mengambang, tanpa ada kesimpulan. Berlangsung suka-suka karena dalam rapat yang digelar Senin (3/10) itu DPR seenak udel menguliti, bahkan mengata-ngatai KPK sebagai teroris baru. Yang terjadi bukan rapat konsultasi, melainkan penghakiman, bahkan penghinaan, terhadap KPK. Substansi rapat yang seharusnya membahas soal penyamaan persepsi terkait dengan pemeriksaan pimpinan Badan Anggaran DPR melebar jauh hingga usul pembubaran KPK. Ada anggota DPR bahkan yang menggurui KPK perihal hukum dengan nada memarahi. Rapat yang berlangsung hampir 2 jam itu dihadiri seluruh pemimpin DPR, pemimpin Komisi III DPR, dan pemimpin fraksi-fraksi DPR, serta Kapolri Jenderal Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, dan empat komisioner KPK kecuali Bibit Samad Rianto. Dalam rapat yang dipimpin Ketua DPR Marzuki Alie itu, pimpinan Komisi III DPR yang menjadi mitra kerja KPK justru menghujani Ketua KPK Busyro Muqoddas dan jajarannya dengan serangan bertubi-tubi. Kapolri dan Jaksa Agung hanya menjadi penonton. Serangan pimpinan komisi hukum dalam rapat terbuka itu pada hakikatnya merupakan intervensi atas penegakan hukum yang sedang dilakukan KPK. Ketua Komisi III DPR Benny K Harman, misalnya, menyebut KPK sebagai teroris baru bagi anggota DPR. Menurut politikus Partai Demokrat yang namanya juga disebut-sebut tersangka Nazaruddin itu, akibat sikap KPK, anggota dewan tidak tenang menjalankan tugas.
Setali tiga uang, Fachri Hamzah, Wakil Ketua Komisi III dari PKS, mengusulkan KPK dibubarkan. Menurut dia, di negara demokrasi tidak ada lembaga superbodi. Sangat jelas, pimpinan Komisi III DPR seperti hendak membasuh muka dengan air liur. Maksud hati ingin menutupi aib dewan terkait dengan mafia anggaran, yang terjadi malah menambah aib. Mereka mempertontonkan kesombongan, kepongahan, sekaligus kekerdilan jiwa. Mestinya, bila anggota DPR tidak terkait dengan mafia anggaran, pemeriksaan pimpinan banggar tidak perlu membuat mereka kebakaran jenggot. Sikap ultradefensif itu justru mengindikasikan memang ada permainan anggaran yang dilakukan secara terstruktur dan masif. Pimpinan KPK menanggapi dingin arogansi DPR, bahkan mengalah. Pimpinan KPK sepertinya memegang falsafah bahwa yang waras sebaiknya mengalah. Yang waras memang tahu siapa yang tak waras, sebaliknya yang tak waras mana tahu dia tak waras. Namun, jauh lebih waras kalau yang waras mengambil langkah berani tak menghadiri pertemuan yang tak waras itu.
Sebagian tulisan bersumber dari (editorial) Media Indonesia/4-10-2011
Foto : jakpress.com
Setelah dibiarkan berlangsung suka-suka, rapat berakhir mengambang, tanpa ada kesimpulan. Berlangsung suka-suka karena dalam rapat yang digelar Senin (3/10) itu DPR seenak udel menguliti, bahkan mengata-ngatai KPK sebagai teroris baru. Yang terjadi bukan rapat konsultasi, melainkan penghakiman, bahkan penghinaan, terhadap KPK. Substansi rapat yang seharusnya membahas soal penyamaan persepsi terkait dengan pemeriksaan pimpinan Badan Anggaran DPR melebar jauh hingga usul pembubaran KPK. Ada anggota DPR bahkan yang menggurui KPK perihal hukum dengan nada memarahi. Rapat yang berlangsung hampir 2 jam itu dihadiri seluruh pemimpin DPR, pemimpin Komisi III DPR, dan pemimpin fraksi-fraksi DPR, serta Kapolri Jenderal Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, dan empat komisioner KPK kecuali Bibit Samad Rianto. Dalam rapat yang dipimpin Ketua DPR Marzuki Alie itu, pimpinan Komisi III DPR yang menjadi mitra kerja KPK justru menghujani Ketua KPK Busyro Muqoddas dan jajarannya dengan serangan bertubi-tubi. Kapolri dan Jaksa Agung hanya menjadi penonton. Serangan pimpinan komisi hukum dalam rapat terbuka itu pada hakikatnya merupakan intervensi atas penegakan hukum yang sedang dilakukan KPK. Ketua Komisi III DPR Benny K Harman, misalnya, menyebut KPK sebagai teroris baru bagi anggota DPR. Menurut politikus Partai Demokrat yang namanya juga disebut-sebut tersangka Nazaruddin itu, akibat sikap KPK, anggota dewan tidak tenang menjalankan tugas.
Setali tiga uang, Fachri Hamzah, Wakil Ketua Komisi III dari PKS, mengusulkan KPK dibubarkan. Menurut dia, di negara demokrasi tidak ada lembaga superbodi. Sangat jelas, pimpinan Komisi III DPR seperti hendak membasuh muka dengan air liur. Maksud hati ingin menutupi aib dewan terkait dengan mafia anggaran, yang terjadi malah menambah aib. Mereka mempertontonkan kesombongan, kepongahan, sekaligus kekerdilan jiwa. Mestinya, bila anggota DPR tidak terkait dengan mafia anggaran, pemeriksaan pimpinan banggar tidak perlu membuat mereka kebakaran jenggot. Sikap ultradefensif itu justru mengindikasikan memang ada permainan anggaran yang dilakukan secara terstruktur dan masif. Pimpinan KPK menanggapi dingin arogansi DPR, bahkan mengalah. Pimpinan KPK sepertinya memegang falsafah bahwa yang waras sebaiknya mengalah. Yang waras memang tahu siapa yang tak waras, sebaliknya yang tak waras mana tahu dia tak waras. Namun, jauh lebih waras kalau yang waras mengambil langkah berani tak menghadiri pertemuan yang tak waras itu.
Sebagian tulisan bersumber dari (editorial) Media Indonesia/4-10-2011
Foto : jakpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar