Seumpama "kue bika", demikianlah kondisi yang terjadi untuk menggambarkan PKS pada hari-hari pasca Reshuffle. Penggantian satu menteri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam reshuffle kali ini bukan gol yang pertama yang disarangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke kubu PKS. Masih jelas dalam ingatan saya, pada saat sebelum Pemilihan Presiden (PILPRES) 2009 dan setelah Pemilihan Umum Calon Legislatif (PILEG) selesai dilaksanakan dan komposisi dan jumlah kursi yang didapat oleh masing-masing partai peserta PILEG Dewan Perwakilan rakyat (DPR) sudah diketahui. Partai Demokrat (PD) mendapatkan 148 Kursi (26,43%), disusul oleh Partai Golkar (PG) dengan 106 kursi (18,93%), dan ditempat ketiga Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dengan 94 kursi (16,79%). PKS mendapat 57 kursi (10,18%). Dengan komposisi seperti itu, hanya PD yang memenuhi syarat untuk mencalonkan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres), karena syarat 20 % kursi di DPR sudah dipenuhi. Saat itu, tanpa berkoalisi dengan partai lain, PD bisa saja mengusulkan SBY sebagai capres. PG dan PDIP sebagai pemenang kedua dan ketiga, harus mencari partai koalisi untuk menggenapkan kursi mereka menjadi 20 %. Saat itu, lobi-lobi antara 3 besar partai dengan partai-partai kecil akhirnya menghasilkan 3 pasangan Capres dan Cawapres. Yang paling dulu mendaklarasikan adalah PG yang berkoalisi dengan Partai Hanura yang menjagokan Jusuf Kalla dan Wiranto (JK-Wir), lalu disusul oleh PDI-P dan Gerindra yang mengusung Megawati dan Prabowo (Mega Pro).
Sementara itu Capres dan Cawapres dari PD belum dideklarasikan, dan menurut menurut pernyataan salah seorang elit PD saat itu, SBY dipasangkan dengan sandal jepit pun akan menang. Dan memang terbukti banyak partai-partai yang merapat ke PD. PKS, PAN, PKB akhirnya bergabung dengan PD untuk mengusung SBY sebagai Capres. Namun sampai mendekati batas waktu pengumuman capres dan cawapres, PD dan koalisinya belum menetapkan Cawapres. Semua partai anggota koalisi saat itu sudah mengusulkan beberapa nama, dan PKS sebagai partai kedua terbesar dalam koalisi itu merasa optimis nama yang mereka ajukan akan dipilih sebagai cawapres mendampingi SBY. Ternyata SBY justru dipasangkan dengan cawapres yang bukan bersala dari ketiga Parpol pendukung koalisi. Yang paling merasa kecewa saat itu adalah PKS, bahkan sampai mengancam untuk menraik dukungannya kepada SBY dan tidak akan menghadiri deklarasi SBY-Boediono di Sasana Budaya Ganesha (SABUGA) Institut Teknologi Bandung. Sampai beberapa jam sebelum acara dimulai, PKS masih belum bersedia untuk mendukung pasangan SBY-Boediono, namun pada menit-menit terakhir, akhirnya PKS mau mendukung dan menghadiri acara deklarasi SBY-Berbudi.Saat itu, diberitakan bahwa perubahan sikap PKS itu karena janji akan diberikan 4 kursi menteri oleh SBY. Itulah yang sekarang dikatakan kontrak khusus, spesial pakai 2 telor oleh petinggi PKS, yang diingkarai oleh SBY. Itu adalah “gol” pertama SBY ke kubu PKS. Bisa membuat PKS takluk dan menerima Boediono sebagai cawapres dengan janji 4 kursi menteri. “Gol” kedua SBY ke kubu PKS adalah pada saat pemilihan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Saat itu yang dijagokan oleh PKS adalah Hidayat Nurwahid (HN), namun ternyata yang terpilih adalah Taufiek Kiemas yang berasal dari PDI-P, yang tidak termasuk dalam partai koalisi.
SBY memang hebat. Sebagai mantan Kepala Staf Teritorial (KASTER) dan Ka Sosial dan Politik (KASOSPOL) TNI, tentunya SBY adalah tipe pemikir dan memiliki kemampuan menyusun strategi di atas kertas. Biasanya seorang tipe pemikir akan terkesan lamban dan peragu karena mereka tahu konsekuensi dari semua alternatif yang ada, dan semua aspek akan dipertimbangkan. Berbeda dengan tipe pelaksana di lapangan (eksekutor), yang bertindak cepat sesuai dengan rencana yang sudah dipilih. Saya ingat bagaimana awalnya SBY memutuskan hubungan dengan JK untuk pencalonan capres-cawpares 2009 lalu. Yang pertama adalah dengan mencoba merusak hubungan antara PD dengan PG. Saat itu, Ahmad Mubarok dari PD mengeluarkan pernyataan yang “meremehkan” PG, bahwa PG hanya akan mendapat sekian persen suara di PILEG. Elit PG akhirnya bereaksi dan kembali menyerang PD. Itulah awal mula tanda-tanda SBY dan JK akan cerai. Seolah-olah yang memulai adalah PD, padahal tentunya hal itu diketahui oleh SBY, atau mungkin justru itu skenario yang dibuat oleh SBY untuk menceraikan JK, tapi tidak dikatakan secara terang-terangan dan tidak ingin ada kesan bahwa SBY yang menginginkan bercerai dari JK. Ketika ribut-ribut setelah kasus Pansus Mafia pajak, sempat ada isu bahwa PKS dan PG akan dikeluarkan dari koalisi karena ikut mendukung Pansus Mafia Pajak. Tapi ternyata saat itu tidak terjadi reshuffle, padahal saat itu GERINDRA sudah siap bergabung dengan koalisi seandainya PKS dan PG keluar dari koalisi. Kejadian itu merupakan “test the water” yang dilakukan oleh SBY dan PD untuk mengetahui peta kekuatan kalau senadainya PKS dan PG keluar dari koalisi, ternyata ada partai oposisi yang siap “berkhianat” masuk ke koalisi. Saat itu bahkan sudah santer berita akan ada menteri dari PKS yang diganti oleh menteri dari GERINDRA. Kenapa saat itu tidak terjadi reshuffle ?. Karena kalau saat itu dilakukan reshuffle, akan timbul kesan bahwa alasan reshuffle karena PKS mendukung pansus mafia pajak, yang berarti SBY takut kepada pansus mafia pajak dan tidak mendukung penyelesaian kasus mafia pajak. Dari kejadian itu juga SBY sudah tahu tentang karakter GERINDRA.
Sebelum terjadi reshuffle dan penggantian salah satu menteri dari PKS, elit PKS pernah berkata bahwa mereka yakin tidak akan kena reshuffle karena punya kontrak spesial pakai 2 telur dengan SBY. Dan kalau satu menteri dari PKS diganti, maka mereka akan menarik semua menteri dari PKS di kabinet, dan akan keluar dari koalisi. Pernyataan-pernyataan “keras” dari elit PKS beberapa hari sebelum dilakukan reshuffle bisa saja tidak lepas dari skenario yang dilakukan oleh SBY. Dengan pernyataan-pernyataan provokatif dari PD, akhirnya beberapa elit PKS terpancing untuk mengeluarkan “ancaman-ancaman” kepada SBY. Dua hari lalu, pada saat pengumuman reshuffle kabinet, SBY menunjukkan sikap tidak tidak takut dengan ancaman PKS yang ingin keluar dari koalisi bila ada menteri dari kader PKS yang diganti. Bahkan justru dengan tetap mengganti menteri dari PKS, ingin mempertunjukkan bahwa SBY tidak takut kalau PKS keluar dari koalisi, karena ada partai oposisi yang siap masuk dalam koalisi untuk menggantikan PKS. Selain itu ada kesan bahwa alasan reshuffle kali ini bukan karena alasan politis, tapi karena kinerja beberapa menteri sangat rendah menurut penilaian Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Walau pun akhirnya terlihat bahwa penggantian menteri tidak sepenuhnya berdasarkan kinerja, karena beberapa menteri yang berkinerja buruk malah tetap dipertahankan sementara menteri yang berkinerja baik malah diganti. Dan reshuffle kabinet 2 hari lalu adalah “gol” ketiga SBY ke kubu PKS, 1 menteri dari PKS diganti. PKS sekarang berada dalam posisi serba salah karena. Bila tetap berada di koalisi akan dicap menjilat ludah sendiri, lalu kalau benar-benar keluar dari kabinet akan dicap rakus dengan kekuasaan, karena motivasi mendukung SBY hanya karena diberi jabatan menteri.
(c) Farid/kompasiana - Foto : detik.com
Sementara itu Capres dan Cawapres dari PD belum dideklarasikan, dan menurut menurut pernyataan salah seorang elit PD saat itu, SBY dipasangkan dengan sandal jepit pun akan menang. Dan memang terbukti banyak partai-partai yang merapat ke PD. PKS, PAN, PKB akhirnya bergabung dengan PD untuk mengusung SBY sebagai Capres. Namun sampai mendekati batas waktu pengumuman capres dan cawapres, PD dan koalisinya belum menetapkan Cawapres. Semua partai anggota koalisi saat itu sudah mengusulkan beberapa nama, dan PKS sebagai partai kedua terbesar dalam koalisi itu merasa optimis nama yang mereka ajukan akan dipilih sebagai cawapres mendampingi SBY. Ternyata SBY justru dipasangkan dengan cawapres yang bukan bersala dari ketiga Parpol pendukung koalisi. Yang paling merasa kecewa saat itu adalah PKS, bahkan sampai mengancam untuk menraik dukungannya kepada SBY dan tidak akan menghadiri deklarasi SBY-Boediono di Sasana Budaya Ganesha (SABUGA) Institut Teknologi Bandung. Sampai beberapa jam sebelum acara dimulai, PKS masih belum bersedia untuk mendukung pasangan SBY-Boediono, namun pada menit-menit terakhir, akhirnya PKS mau mendukung dan menghadiri acara deklarasi SBY-Berbudi.Saat itu, diberitakan bahwa perubahan sikap PKS itu karena janji akan diberikan 4 kursi menteri oleh SBY. Itulah yang sekarang dikatakan kontrak khusus, spesial pakai 2 telor oleh petinggi PKS, yang diingkarai oleh SBY. Itu adalah “gol” pertama SBY ke kubu PKS. Bisa membuat PKS takluk dan menerima Boediono sebagai cawapres dengan janji 4 kursi menteri. “Gol” kedua SBY ke kubu PKS adalah pada saat pemilihan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Saat itu yang dijagokan oleh PKS adalah Hidayat Nurwahid (HN), namun ternyata yang terpilih adalah Taufiek Kiemas yang berasal dari PDI-P, yang tidak termasuk dalam partai koalisi.
SBY memang hebat. Sebagai mantan Kepala Staf Teritorial (KASTER) dan Ka Sosial dan Politik (KASOSPOL) TNI, tentunya SBY adalah tipe pemikir dan memiliki kemampuan menyusun strategi di atas kertas. Biasanya seorang tipe pemikir akan terkesan lamban dan peragu karena mereka tahu konsekuensi dari semua alternatif yang ada, dan semua aspek akan dipertimbangkan. Berbeda dengan tipe pelaksana di lapangan (eksekutor), yang bertindak cepat sesuai dengan rencana yang sudah dipilih. Saya ingat bagaimana awalnya SBY memutuskan hubungan dengan JK untuk pencalonan capres-cawpares 2009 lalu. Yang pertama adalah dengan mencoba merusak hubungan antara PD dengan PG. Saat itu, Ahmad Mubarok dari PD mengeluarkan pernyataan yang “meremehkan” PG, bahwa PG hanya akan mendapat sekian persen suara di PILEG. Elit PG akhirnya bereaksi dan kembali menyerang PD. Itulah awal mula tanda-tanda SBY dan JK akan cerai. Seolah-olah yang memulai adalah PD, padahal tentunya hal itu diketahui oleh SBY, atau mungkin justru itu skenario yang dibuat oleh SBY untuk menceraikan JK, tapi tidak dikatakan secara terang-terangan dan tidak ingin ada kesan bahwa SBY yang menginginkan bercerai dari JK. Ketika ribut-ribut setelah kasus Pansus Mafia pajak, sempat ada isu bahwa PKS dan PG akan dikeluarkan dari koalisi karena ikut mendukung Pansus Mafia Pajak. Tapi ternyata saat itu tidak terjadi reshuffle, padahal saat itu GERINDRA sudah siap bergabung dengan koalisi seandainya PKS dan PG keluar dari koalisi. Kejadian itu merupakan “test the water” yang dilakukan oleh SBY dan PD untuk mengetahui peta kekuatan kalau senadainya PKS dan PG keluar dari koalisi, ternyata ada partai oposisi yang siap “berkhianat” masuk ke koalisi. Saat itu bahkan sudah santer berita akan ada menteri dari PKS yang diganti oleh menteri dari GERINDRA. Kenapa saat itu tidak terjadi reshuffle ?. Karena kalau saat itu dilakukan reshuffle, akan timbul kesan bahwa alasan reshuffle karena PKS mendukung pansus mafia pajak, yang berarti SBY takut kepada pansus mafia pajak dan tidak mendukung penyelesaian kasus mafia pajak. Dari kejadian itu juga SBY sudah tahu tentang karakter GERINDRA.
Sebelum terjadi reshuffle dan penggantian salah satu menteri dari PKS, elit PKS pernah berkata bahwa mereka yakin tidak akan kena reshuffle karena punya kontrak spesial pakai 2 telur dengan SBY. Dan kalau satu menteri dari PKS diganti, maka mereka akan menarik semua menteri dari PKS di kabinet, dan akan keluar dari koalisi. Pernyataan-pernyataan “keras” dari elit PKS beberapa hari sebelum dilakukan reshuffle bisa saja tidak lepas dari skenario yang dilakukan oleh SBY. Dengan pernyataan-pernyataan provokatif dari PD, akhirnya beberapa elit PKS terpancing untuk mengeluarkan “ancaman-ancaman” kepada SBY. Dua hari lalu, pada saat pengumuman reshuffle kabinet, SBY menunjukkan sikap tidak tidak takut dengan ancaman PKS yang ingin keluar dari koalisi bila ada menteri dari kader PKS yang diganti. Bahkan justru dengan tetap mengganti menteri dari PKS, ingin mempertunjukkan bahwa SBY tidak takut kalau PKS keluar dari koalisi, karena ada partai oposisi yang siap masuk dalam koalisi untuk menggantikan PKS. Selain itu ada kesan bahwa alasan reshuffle kali ini bukan karena alasan politis, tapi karena kinerja beberapa menteri sangat rendah menurut penilaian Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Walau pun akhirnya terlihat bahwa penggantian menteri tidak sepenuhnya berdasarkan kinerja, karena beberapa menteri yang berkinerja buruk malah tetap dipertahankan sementara menteri yang berkinerja baik malah diganti. Dan reshuffle kabinet 2 hari lalu adalah “gol” ketiga SBY ke kubu PKS, 1 menteri dari PKS diganti. PKS sekarang berada dalam posisi serba salah karena. Bila tetap berada di koalisi akan dicap menjilat ludah sendiri, lalu kalau benar-benar keluar dari kabinet akan dicap rakus dengan kekuasaan, karena motivasi mendukung SBY hanya karena diberi jabatan menteri.
(c) Farid/kompasiana - Foto : detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar