Senin, 10 Oktober 2011

DPR (seumpama) Orang di Pinggir Jalan

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Anggota DPR bak orang di pinggir jalan saja. Saat rapat konsultasi dengan KPK, Senin (3/10), mereka berteriak seolah berada di luar pagar kekuasaan legislatif. Contohnya, Ketua Komisi III DPR Benny K Harman dari Partai Demokrat menyebut KPK sebagai teroris baru. Padahal, eksistensi KPK tidak jatuh dari langit, tetapi diatur undang-undang yang dibuat DPR. Benny juga mempertanyakan permintaan anggaran yang dibutuhkan kejaksaan yang tidak dipenuhi, seakan anggaran itu dirampok KPK. Padahal, DPR yang punya hak bujet, bukan orang di pinggir jalan. Contoh lain, Wakil Ketua Komisi III Azis Syamsuddin dari Partai Golkar mencecar KPK atas pemeriksaan pimpinan Badan Anggaran DPR. Ia mempersoalkan perbedaan pemeriksaan sebagai saksi dengan permintaan klarifikasi. Padahal, DPR sendiri yang memberi KPK wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Dalam hal yang meresahkan masyarakat, tidak soal apakah KPK melakukan pemeriksaan sebagai saksi atau hanya permintaan klarifikasi. Begitulah, DPR yang bikin undang-undang dan memberi wewenang yang begitu luas kepada KPK, DPR pula yang mencak-mencak ketika undang-undang itu diterapkan.

Contoh paling hebat ialah Wakil Ketua Komisi III Fahri Hamzah dari Partai Keadilan Sejahtera. Ia tidak percaya di dalam demokrasi ada lembaga superbodi. Lah, siapa yang kasih kewenangan superbodi kepada KPK kalau bukan DPR melalui Undang-undang No 30 Tahun 2002? Fahri bahkan menyatakan agar KPK dibubarkan. Siapakah yang berhak mencabut undang-undang? KPK tidak diatur dalam konstitusi. Kalau lembaga pemerintah yang menangani korupsi telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi, DPR bisa membubarkan KPK. Logika tersebut termaktub di dalam undang-undang tentang KPK. Jelas sekali Benny, Azis, dan Fahri geram dengan KPK. Jika mereka ingin membubarkan KPK, bubarkanlah lewat undang-undang. Bersikaplah layaknya anggota parlemen sejati, bukan parlemen jalanan yang berteriak-teriak dari luar pagar. Pertanyaannya, apakah teriakan mereka itu juga teriakan Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Keadilan Sejahtera? Jika suara mereka bukan suara partai, seharusnya partai menindak mereka. Namun, sampai sekarang partai berkilah suara mereka merupakan suara pribadi. Padahal, tidak ada anggota DPR sebagai pribadi, dari calon independen, tetapi sebagai orang partai. Sebuah silat lidah yang juga dari pinggir jalan.

(c) editorial/mediaindonesia.com
Foto : anaktk.com

Tidak ada komentar: