Oleh : Muhammad Ilham
Untuk mengenang (kembali) "efek" gempa yang meluluhlantakkan Kota Padang, bukan hanya fisik-infrastruktur kota, tapi efek psikologis masyarakat jauh lebih terasa secara nyata. Artikel ini (satu diantara 5 artikel) pernah diposting pada tanggal 2 Oktober 2009 di kompasiana.com. Semata-mata bersifat pengulangan, untuk mengingatkan kembali pada G/30S (baca: Gempa 30 September) Sumatera Barat yang teramat "fenomenal" itu.
Margareth Marcus atawa "Mariam Jameelah" (murid kesayangan Abul A'la Al-Maududi) suatu ketika pernah mengatakan bahwa "memisahkan faktor transedental dengan kejadian-kejadian alam merupakan bentuk sekularisme paling mengkhawatirkan, namun menganggap fenomena alam bukan merupakan tanda-tanda Tuhan, justru jauh lebih mengkhawatirkan". Saya sederhanakan : ... "apabila terjadi kecelakaan, lantas kita menganggap itu merupakan kesalahan manusia semata tanpa ada takdir Tuhan disana, maka itu adalah bentuk sekularisme yang mengkhawatirkan ...... namun justru lebih mengkhawatirkan apabila kecelakaan itu kita anggap sebagai takdir Tuhan semata, tanpa melihat kesalahan yang dilakukan oleh seseorang sehingga ia celaka karena tidak membaca tanda-tanda alam (rambu-rambu lalu lintas, misalnya).
Beberapa tahun yang lalu (kalau saya tidak salah tahun 2007), menjelang Ramadhan terjadi gempa yang cukup keras di Kota Padang. Satu hari jelang puasa, jam 17.00 sore, kira-kira. Hari dan saat itu, warga Padang sedang melaksanakan "tradisi kultural-teologis" a-la Minangkabau, Balimau. Ketika banyak warga sedang mandi Balimau di beberapa sungai dan tempat pemandian di Kota Padang, gempa "berdangdut". Semua orang berhamburan. Walau hanya sebentar, tapi gempa ini justru menjadi topik ceramah para pendakwah pada bulan Ramadhan kala itu, terutama di Kota Padang ................ dan itu termasuk saya yang kebetulan mengisi beberapa jadwal ceramah Ramadhan di beberapa masjid dan musholla di Kota Padang. Bila saya tak ada jadwal ceramah, biasanya saya pergi ke beberapa Masjid untuk sekedar "belajar tambahan" dari beberapa muballigh yang kebetulan ceramah di Masjid yang saya kunjungi untuk taraweh. Hampir secara keseluruhan, topik ceramah yang saya dengar berkaitan dengan gempa ......... para muballigh ini nampaknya menyadari hal-hal aktual, kala itu. Akan tetapi, kemampuan para muballigh ini merespon topik katual ini tidak diiringi oleh kearifan dalam melihat kompleksitas faktor yang melatarbelakangi gempa tersebut. Fakta sosial "Balimau" justru dijadikan sebagai penyebab an-sich terjadinya gempa. "Tahukah bapak, ibu saudara sekalian, gempa yang terjadi satu hari jelang puasa kemaren, merupakan laknat Allah karena kita masih memegang tradisi Balimau .......... seluruh laki-laki dan perempuan bercampur baur, hanya untuk mandi di seluruh sungai di Kota Padang", demikian setidaknya simpulan dan hujatan para muballigh yang saya dengar. Para muballih tersebut harusnya belajar antropologi, bahwa tradisi Balimau itu sudah menjadi tradisi-kultural Minangkabau sejak awal Islam masuk di ranah "rumah bagonjong". Walaupun secara normatif-teologis, kita harus meyakini bahwa fenomena alam merupakan sebuah takdir ............ ia memiliki qadar dan ukuran, apabila tiba masa qadar atau ukurannya, maka fenomena tersebut akan terjadi.
Pasca gempa, saya sholat di salah satu masjid di pusat Kota Padang, sebagai makmum. Dalam khutbahnya, sang khatib yang kebetulan merupakan salah seorang khatib kondang di Kota Padang, kembali mengulang kekhawatiran Maryam Jameelah di atas. "Penyebab gempa di Kota Padang dan Padang Pariaman, Bapak-Bapak saudara sekalian, karena perbuatan maksiat yang telah merajalela di daerah kita ini", demikian intro dan analisis si khatib tersebut dengan lantang. Kemudian beliau mulai mengeluarkan data-data yang dikutipnya dari opini dan pemberitaan media massa tentang maraknya perbuatan maksiat (terutama jumlah wanita tuna susila @ poyok yang dari waktu ke waktu menunjukkan grafik peningkatan ditangkap oleh Polisi Pamong Praja) dan seterusnya dan sebagainya ........... kemudian disimpulkan : Inilah penyebab gempa. Saya lihat jamaah masjid hanya melongo (entah kagum atau heran), tapi yang jelas terdengar celetukan salah seorang jamaah yang duduk disamping saya, "kalera, manyalahan se pande-nyo, salasai khutbah ko inyo dapek pitih, nan awak pulang karumah indak punyo bareh" (baca : bullshit, ustad ini hanya pandai menyalahkan dan mengkritik saja tanpa memberikan jalan keluar terbaik, setelah khutbah ini, ia dapat uang honor sebagai khatib, sementara kita tidak memiliki beras di rumah). Saya ketawa dalam hati. Saya tahu, jamaah yang berceletuk tersebut mengerti bahwa tidak boleh berbicara ketika khatib naik mimbar, apatah lagi mengeluarkan kata-kata kotor. Di akhir khutbah, sang khatib menutup khutbahnya dengan sebuah renungan, bunyinya kira-kira begini : "Bapak-bapak, saudara-saudara sekalian, pada waktu evakuasi gempa, banyak ditemukan di salah satu hotel, orang-orang yang telah mati dalam kondisi pakaian setengah bugil dan hanya layak dipakai di kamar mandi atau mau bersetubuh ............. ini menjadi bukti bahwa kita yang mengundang gempa karena banyaknya perbuatan maksiat di sekeliling kita, seperti yang telah terjadi di salah satu hotel di kota Padang ini," demikian kata sang khatib. Terdengar lagi celetukan jamaah yang duduk di samping saya tadi, "iko ustad paniang ma, jalehlah banyak ditamuan mayat bapakaian renang di hotel Ambacang tu, namonyo ajo sadang baranang, ma lo ka mungkin bapakaian jas atau daster urang mandi ........... dalang ustad ko mah" (Ustad ini tidak memiliki analisa, sudah jelas banyak ditemukan orang mati dengan pakaian setengah bugil, maklum mayat-mayat yang ditemukan tersebut berada di kolam renang hotel Ambacang, masak orang berenang menggunakan pakaian jas ataupun daster). Saya berdiri, kemudian pergi ke tempat wudhu' ........... (mengulang kembali) berwudhu' dan melepaskan tawa yang tertahan.
1 komentar:
Kalau Header Blog kito agian image sobuak baa?.ado contoh ambo buek di FB Ilham
Posting Komentar