Oleh : Muhammad Ilham
Ibnu Khaldun telah maju ke dalam sosiologi sampai pada batas yang tidak bisa dicapai Comte sekalipun ... !!
(Nathaniel Schmidt)
Ada rasa nelangsa ketika mencari "sumbu" suatu disiplin ilmu, selalu yang saya temui mereka yang bukan berasal dari peradaban Islam. Entah kenapa, setidaknya demikian yang saya pelajari dan saya baca selama ini (mungkin bacaan saya kurang sekali). Katakanlah, ketika mempelajari ilmu sosial sebagai suatu rumpun keilmuan yang besar, ingin saya mengucapkan kata-kata Archimedes "
Eureka" ketika saya menemukan nama-nama ilmuan muslim sebagai peletak dasar suatu disiplin ilmu. Memang terkadang bertemu juga, tapi hanya sebagai "penyambung" - untuk tidak mengatakan sebagai sebuah
footnote. Paling-paling yang cukup membanggakan, nama Aljabar diabadikan untuk bagian ilmu alat Matematika. Demikian juga, misalnya, Ibnu Sina (
Avissena) yang "terbang-menjulang" di dunia ilmu kedokteran. Sejarah keilmuan selalu menempatkannya sebagai "sumbu" ilmu kedokteran. Dalam ranah ilmu sosial, terasa sulit untuk menemukan se-menjulang Ibnu Sina. Kalau-pun ada, selalu dianggap sebagai bagian pelengkap dari sesuatu yang telah ada sebelumnya.
Ada yang bilang, Ibnu Khaldun adalah peletak dasar "paling utama" tradisi ilmu sosial, khususnya sosiologi. Tapi entah kenapa, selalu Auguste Comte, Emille Durkheim dan Marxian yang diklaim berjasa besar membentuk mainstream sosiologi itu sendiri. Karena itulah, malam tadi, saya baca beberapa buah buku tentang Ibnu Khaldun. Saya ingin - setidaknya untuk saya sendiri - memperkuat asumsi dasar saya bahwa yang berhak diklaim sebagai Bapak Ilmu Sosial (sosiologi) bukanlah orang Perancis yang bernama Auguste Comte itu. Bukan Emille Durkheim apatah lagi Karl Marx. Bukan Comtenian, Durkhemian atau Marxian. Saya ingin - sekali lagi, setidaknya untuk saya sendiri - menganggap bahwa Ibnu Khaldun-lah yang berhak menyandang Bapak Sosiologi. Bukan si Comte yang diakhir hidupnya melakukan sebuah tragedi yang menginspirasikan Durkheim melahirkan teori tersendiri - Bunuh Diri (Suicide). Karena itu-lah, buku Ibnu Khladun : Riwayat dan Karyanya karangan Abdulwahid Wafi, mulai saya baca kembali. Ya ... kembali, karena selama ini hanya saya baca sambil lalu, untuk tidak mengatakan melengkapi koleksi pustaka pribadi saya.
Ibnu Khaldun yang bernama lengkap Abdurrahman Abu Zaid ibn Khaldun (1332-1406 M.) mungkin adalah filsuf dan sarjana muslim yang paling tenar, bahkan untuk kalangan non-muslim sekalipun. Ia selalu "hangat" untuk dibicarakan terus dan treori-teorinya serasa "mengena", walaupun teori tersebut dikonstruknya lebih kurang enam abad lalu. Ibnu Khaldun dianggap besar di dua bidang : historiografi dan sosiologi. Dari buku Wafi ini, ada satu pesan bahwa kita (mungkin Indonesia) keliru memberikan penghormatan bahwa penemu sosiologi adalah Auguste Comte. Comte hanyalah penemu istilah, bukan materi-lapangan dan metodologi sosiologi itu sendiri. Mungkin kita kurang bacaan, atau inferior mengakui hal ini. Wafi mengingatkan kita akan penyakit mental ini.
Sejak E.M. Quatremere meringkaskan dan menterjemahkan karya monumental Ibnu Khaldun -
Muqaddimah - ranah ilmu sosial terbuka matanya bahwa substansi sosiologi diletakkan oleh Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun sendiri menamakan sosiologi dengan
al-'Umran (kemakmuran atau peradaban), terkadang diistilahkannya dengan
al-Ijtima' al-Basyari (masyarakat manusia). Sosiolog Polandia, Ludwig Gumplowichz (1838-1909) dengan gambalang mengatakan : "
saya sendiri ingin mengatakan bahwa Ibnu Khaldun-lah yang menemukan ilmu sosiologi. Dalam diri pengarang Arab ini yang sampai sekarang diabaikan kepeloporannya,
karyanya Muqaddimah adalah salah satu bukti begitu mengagumkan sebuah filsafat pemikiran sosial dan sejarah. Kami ini membuktikan bahwa sebelum Auguste Comte dan bahkan Vico yang dianggap membangun pertama ilmu sosiologi, telah datang seorang muslim taat yang membawa pemikiran-pemikiran cemerlang dalam pembahasannya yang kini kita sebut sosiologi". David S. Margoliuth didalam, artikelnya
Ibnu Khaldun (Encyclopedia of Social Sciences) yang dinukilkan Wafi mengagumi
Muqaddimah dengan mengibaratkannya sebagai sebuah ensiklopedi inspiratif tentang telaah semua gejala sosial. Bahkan filosof sejarah Reynold A. Nicholson pernah menganggap bahwa para ahli sejarah abad pertengahan seperti Giambatista Vico, Niccholo Machiavelli dan Gibbon - sebagai keturunan-keturunan intelektual Ibnu Khaldun. Bahkan dalam ranah ilmu politik (khususnya sosiologi politik), pemikiran Ibnu Khaldun lebih terasa "awal". Teori Ibn Khaldun mengenai
ashabiyyah, misalnya, bisa dianggap sebagai inspirasi dan peletak asumsi dasar pertama munculnya teori-teori lain yang begitu populer dalam ranah ilmu politik dan sosiologi abad sekarang ini seperti
imagined communities, contract social, dan
state of nature. Ashabiyyah yang merupakan "konsep kunci" Ibnu Khaldun bisa diterjemahkan sebagai sebagai kumpulan klan, nasionalisme, solidaritas primordial, atau komunitas terbayang (
imagined communities) yang d"gadang-gadang"kan Bennedict R.O.G. Anderson tersebut.
Social contract theory (teori kontrak sosial), misalnya, juga ditemukan dalam "ruh awalnya" dalam pemikiran Ibn Khaldun ketika Ibn Khaldun berbicara tentang baiah. Teori kontrak sosial dikembangkan oleh Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau, dan John Locke. Teori baiah Ibn Khaldun memperlihatkan keinginan bersatu untuk kepentingan bersama atas dasar sebuah konsensus (I’lam anna al-baiah hiya al-ahdu alã al-thã’ah). Mengenai state of nature, Ibn Khaldun menekankan bahwa otoritas politik adalah sebuah ide bawaan yang mesti selalu ada pada manusia. Politik sebagai ide bawaan terkait dengan manusia sebagai makhluk sosial. Ibn Khaldun menulis: Anna al-basyara la yumkinu hayãtuhum wa wujudūhum illã bi ijtimãihim (manusia tidak mungkin hidup tanpa bermasyarakat). Sebuah dasar teoritis yang kemudian "di/terkembangkan" oleh ilmuan lainnya .... dan yang pasti, setelah Ibnu Khaldun meninggal . Ibnu Khaldun seharusnya ditempatkan sebagai "sumbu" sosiologi, bahkan bukan itu saja. Kepeloporannya juga diakui dalam ranah ilmu lain seumpama demografi dan sosiografi - dan tentunya sumbangan terbesarnya pada epistimologi Islamiyah. Ini bukan apologia ataupun justifikasi historis. Saya fikir pembenaran historis-lah yang harus kita katakan. Sudah seharusnya, tradisi ilmu sosial Indonesia (khususnya sosiologi dan historiografi) menjadikan al-Muqaddimah dan al-'Ibar (terutama bagi yang mahir Bahasa Arab) sebagai salah satu buku pegangan terpenting, diantara tentunya buku-buku klasik lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar