".... ada dua jenis pemimpin, ada yang duduk di sofa (baca : kekuasaan dan jabatan) sebagai keharusan dan berfikir (untuk rakyat) sebagai sesuatu yang luks, dan ada pemimpin yang berfikir (untuk rakyat) sebagai sebuah keharusan dan duduk di sofa sebagai luks." (Asrul Sani)
Reshufle kabinet telah selesai. Siang kemaren, Presiden SBY mengumumkannya. Siang tadi, seluruh "mereka yang beruntung" itu, dilantik. Tapi perdebatan di kalangan pengamat politik, nampaknya tak pernah berakhir. Beragam analisis muncul, terkadang rasional, tapi tak jarang, (terkesan) lucu dan bermuatan a-priori. "Mengapa SBY tak mengangkat menteri-menterinya dari kalangan profesional. Menteri-menteri dari Partai Politik, lemparkan saja keluar", setidaknya demikian yang sering di-gema-kan para pengamat-pengamat pintar ini. Terkadang saya merasa bingung (walaupun untuk aspek-aspek tertentu saya amat setuju dengan usulan kalangan profesional yang seharusnya diangkat jadi anggota kabinet), tidakkah para pengamat tersebut lupa dengan : "tak ada makan siang gratis dalam dunia politik?". Dengan "kekuatan parlemen" hanya 20 persen lebih sikit, mau tak mau SBY harus mengakomodir partai-partai politik koalisinya, kalau mau aman jalannya pemerintahan kedepan, tentunya. Jadi tak-lah mengherankan bila saya kemaren mendapat "hadiah" buku dari kawan saya karena "bertaruh" apakah salah seorang menteri dari salah satu partai politik koalisi (bahkan sangat loyal pada SBY dan Demokrat), dipecat atau tidak. Si Menteri ini diindikasikan (kuat) terlibat korupsi. Saya jawab "tidak", sementara kawan saya ini memilih "pasti" dipecat. Nyatanya, saya dapat tambahan buku. Who get what how and when, kata mbah-nya ilmu politik - Harold Laswell. Namun sudahlah. Layar sudah terkembang. Atas nama hak prerogatifnya, SBY ingin sampaikan kepada publik, terutama para pengamat politik yang tiap hari muncul di media TV, "saya punya, lu semua mau apa ?".
Sore tadi, kawan saya (yang nampaknya tak ikhlas kalah "taruhan" buku dengan saya), menggugat komposisi kabinet hasil reshufle yang menurutnya tidak fresh. Menteri-menterinya banyak yang sakit (menyinggung Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi Mustafa Abu Bakar). Seharusnya, menurut kawan saya tadi, menteri-menteri yang diangkat tersebut, haruslah sehat fisik-jasmani mereka, dan .... rohani-mentalnya, tentu juga. "Kapan perlu, kabinet SBY hasil reshufle tersebut, diisi orang-orang muda, biar energik gitu," katanya. Saya hanya diam sambil teringat (kembali) dengan "pemimpin-pemimpin" besar yang pernah dicatat sejarah. Gamal Abdel Nasser, pemimpin kharismatik Mesir yang menghembuskan Pan-Arabisme sanggup menjadi pemimpin Mesir berpengaruh, bahkan Arab. Pengagum penyanyi legendaris Arab Ummi Kaltsum ini mampu menggulingkan Raja Farouk yang gembrot ketika usianya belum 30 tahun. Muammar Qaddafi menghalau Raja Idris dan berkuasa di Libya yang kaya minyak itu, juga dalam usia yang belum 30 tahun. Si Brewok, Fidel Castro, berhasil menggulingkan diktator Batista dan memimpin mahasiswa revolusioner memasuki kota Havana serta jadi kepala negara Kuba, padahal umurnya belum 30 tahun. John Fritgerald Kennedy, dalam usia mendekati 40 tahun, menjadi presiden termuda lewat pemilu sepanjang sejarah negeri Paman Sam ini. Ia ganteng, cerdas dan selalu tampil rapi. Sisiran rambutnya yang "manis" mencerminkan bagaimana ia ingin tampil sempurna. Dalam usia muda, ia menjadi pemimpin yang mampu mengambil sikap tegas dan berani mengambil tanggung jawab, bukan melempar. Peristiwa "Teluk Babi" tercatat dalam sejarah sebagai bentuk keberanian dan ketegasan seorang "anak muda" dan klan Kennedy yang pernah menulis dua buah buku ini, Why England Slept dan Profiles in Courrage. Mereka semua muda dan mereka matang, tegas dan dewasa serta berintegritas.
Mao Ze Dong yang tinggi besar bagai patung lilin dan berwajah dingin, dalam usia yang sudah "larut" mampu menggerakkan revolusi besar dan menghalau Chiang Kai Shek hingga lari ke Taiwan. Kamerad Mao ini masih sanggup menggerakkan Revolusi kebudayaan. Bahkan konon, ia juga masih sanggup dalam usia mendekati 70 tahun, berenang-renang di Sungai Kuning dan sesudah itu melahap habis sebaskom mie bakso tanpa berkedip. Dalam usia tua, vitalitasnya justru makin berkembang. Bung Karno yang ganteng dengan pancaran mata sangat berbinar, gelegar suara membahana, orator ulung dan sangat flamboyan, bisa jadi pemimpin berwibawa. Ia bersama Hatta "memutar" roda sejarah Indonesia. Ganteng dan muda. Nikita Kruschev mampu menjadi pemimpin Uni Sovyet yang brilyan dan masyhur. Badannya tambun dan berkepala bundar. Konon ia baru bisa membaca dalam usia hampir 20 tahun. Tapi ia pintar, bertanggung jawab dan berintegritas. Pemimpin Rusia sewaktu Kennedy jadi pemimpin Amerika Serikat ini pernah membuka sepatunya dalam Sidang Umum PBB ...... dan memukul-mukul meja, sebagai ekspresi kemarahan luar biasanya pada Amerika, pada Kennedy. Ketika John Kennedy mati tertembak, ia adalah salah seorang "lawan" yang menitikkan air mata dan termasuk orang pertama mengucapkan belasungkawa.
Sejarah telah mengajarkan, tak ada referensi terbaik bahwa usia memberikan kontribusi besar terhadap potensi kepemimpinan. Sejarah juga memberikan pelajaran berharga, bahwa pemimpin terbaik itu tidak ditentukan fisik yang kuat-prima, "profile-tubuh" indah sedap dipandang mata. Pemimpin-pemimpin besar di atas, selalu berfikir dan memiliki integritas tinggi bagi rakyatnya. Berfikir dan integritas tidak monopoli kaum muda atau kaum tua atau orang jelek apatah lagi orang gagah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar