Mungkin banyak pemikirannya yang hingga hari ini belum bisa diterima oleh semua pihak, tapi bukan berarti pemikirannya itu ”tidak akan pernah” diterima. Terkadang, lontaran pemikiran seseorang bisa mendahului zaman. Nurcholish Madjid @ Cak Nur adalah contoh terbaik. Pemikiran Cak Nur tersebut justru terasa ”hidup” bagi kita setelah ia meninggal.
Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara. Dwifungsi tamat. Gus Dur adalah pejuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Fenomena paling hebat adalah ketika Gus Dur yang buta dan berkursi roda mengalahkan lawan-lawannya yang sehat dalam perebutan kursi Presiden Indonesia keempat. Banyak yang menganggap terpilihnya Gus Dur waktu itu sebagaii ironi besar bangsa Indonesia berpenduduk lebih dari 200 juta. Tetapi ironi sesungguhnya, dan itu sangat fenomenal, adalah kehebatan seorang buta dan lumpuh yang mampu melumpuhkan keperkasaan orang-orang sehat dan cerdas. Di kalangan pengagum fanatiknya Gus Dur adalah dewa. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan. Dengan selentingan kesukaannya 'begitu aja kok repot' Gus Dur tidak menggampangkan persoalan. Justru itu memperlihatkan kejeniusan seorang Gus Dur menyelesaikan banyak hal pelik dengan mudah.
Soekarno tak pernah, Soeharto apalagi, Habibie belum. Baru Gus Dur membuat sesuatu yang bersejarah ini: di depan sebuah pertemuan internasional di Bali, dialah presiden Indonesia pertama yang bisa membuat hadirin tertawa. Para kepala negara terdahulu berpidato dengan gagah, serius, atau mendayu-dayu. Tanpa humor. Tapi Gus Dur tidak. Presiden yang hampir buta itu berbicara tentang dirinya dan juga tentang wakil presidennya, Megawati, yang enggan berkomentar. “Kami berdua akan jadi sebuah tim yang sempurna,” katanya dalam bahasa Inggris yang bagus, tanpa teks. “Saya tak bisa melihat, dia tak bisa omong.” Para hadirin tergelak mendengar olok-olok itu. Harian Financial Time beredar ke seluruh dunia dan menulis tentang Gus Dur yang “memikat” (to charm) dunia. Selama bertahun-tahun retorika Indonesia adalah retorika kekuasaan. Di mimbar, Bung Karno bergemuruh seperti gelombang samudra magis yang berseling petir. Pidato Soeharto datar-lurus seperti barisan tentara yang maju dengan disiplin. Habibie memberi sambutan dengan nada naik-turun seperti sebuah kapal udara ringan yang melintasi perbukitan. Samudra, tentara, pesawat terbang—semua itu kiasan untuk bermacam daya yang menaklukkan. Sebaliknya, retorika Gus Dur adalah retorika pertemuan. Ah ..... sudahlah, membicarakan Gus Dur memang memikat. Kelemahannya juga memikat, apalagi tentang kelebihannya.
1 komentar:
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun
Selamat jalan Sang Guru Bangsa, semoga diberikan kelapangan. Amin
Posting Komentar