Hak publik pula untuk memiliki persepsi tersendiri tentang apa itu keadilan. Dengan logikanya yang sederhana, masyarakat kadang bahkan lebih cermat dalam menakar keadilan ketimbang para penegak hukum yang berkiblat dengan logika-logika yuridis yang kaku tanpa memiliki nurani keadilan itu sendiri (Adnan Buyung Nasution)
Hari ini Prita bebas. Sebuah peristiwa perlawanan rakyat menghadapi arogansi hukum yang mengatasnamakan "demi hukum" akan tercatat dalam sejarah. Dibaca dan akan dijadikan referensi anak cucu kita mendatang. Kasus Prita meninggalkan banyak catatan-catatan mengharukan dan menyentak ranah "humanis" kita. Koin atawa uang receh adalah salah satu bentuk fenomena yang mungkin dari zaman Hayam Wuruk hingga sekarang, mungkin tak akan bisa kita prediksi akan terjadi. Namun, kasus Prita memberikan pelajaran dan contoh berharga. Secara harfiah, pengumpulan receh memang dimaksudkan untuk membebaskan Prita dari hukuman dan beban finansial akibat tingginya denda yang harus dibayarkan. Namun secara implisit, gerakan ini sesungguhnya sarat makna. Ruh zaman (zeitgeist) yang harus dihadapi dalam konteks kekinian memang membenturkan kita dengan realitas sulitnya mencari keadilan. Hukum yang dikonstruksi di negeri ini enggan berpihak kepada rakyat kecil. Sebaliknya, secara telanjang hukum justru menunjukkan keberpihakannya kepada golongan tertentu. Namun apa daya, publik tak kuasa menghadapinya.
Masyarakat dihinggapi perasaan tak berdaya (powerless), pesimis, dan frustrasi menghadapi mandulnya hukum dalam mencipta keadilan. Hari ini Prita, esok, atas nama hukum, mungkin kita yang akan ”dipritakan”. Koin receh adalah bentuk perlawanan dengan satire di tengah ketidakberdayaan, sekaligus adalah kanal nonagresi untuk meliberasi diri dari semua emosi, kejengkelan, dan ketegangan psikologis akibat keadilan yang tak tertegakkan. Sementara uang receh sengaja dipilih untuk menggambarkan begitu mudah dan murahnya keadilan itu dibeli. Hati publik yang terketuk dalam kasus Prita adalah tanda hati yang masih memiliki empati. Secara imajinatif, publik memosisikan dirinya pada perasaan, pikiran, dan penderitaan seorang ibu rumah tangga, yang atas nama hukum dipaksa negara membayar ratusan juta, justru ketika ia menuntut haknya. Empati itu lantas mengalirkan dukungan yang tidak sebatas pada pernyataan belaka, tetapi diikuti perilaku prososial berupa pengumpulan uang receh yang secara spontan dilakukan di beberapa kota di Indonesia . "Uang Receh" menjadi catatan manis ..... "fenomena sosial" yang menampar kebekuan hukum Indonesia.
Masyarakat dihinggapi perasaan tak berdaya (powerless), pesimis, dan frustrasi menghadapi mandulnya hukum dalam mencipta keadilan. Hari ini Prita, esok, atas nama hukum, mungkin kita yang akan ”dipritakan”. Koin receh adalah bentuk perlawanan dengan satire di tengah ketidakberdayaan, sekaligus adalah kanal nonagresi untuk meliberasi diri dari semua emosi, kejengkelan, dan ketegangan psikologis akibat keadilan yang tak tertegakkan. Sementara uang receh sengaja dipilih untuk menggambarkan begitu mudah dan murahnya keadilan itu dibeli.
Palu hakim acapkali lebih berpaling kepada mereka yang berduit. Asumsi tersebut memang tidak dapat digeneralisasi, tetapi setidaknya kasus Prita menjadi pelajaran bahwa lembaga peradilan kita masih perlu pembenahan. Sepertinya kita harus lebih dewasa lagi dalam berpikir dan bersikap. Kita harus dapat melihat sebuah permasalahan dengan berbagai pertimbangan. Setidaknya ada pertimbangan tentang nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan yang menjadi patokan di dalamnya. Jangan hanya berpedoman pada Undang-undang yang sering menyesatkan dan sering menimbulkan perdebatan. Kedewasaan dalam beretika dan berpikir harus kembali kita kedepankan. Bukan malah memperuncing permasalahan dan saling berkeras untuk mengklaim sebagai pihak yang benar dengan menjadikan Undang-undang sebagai senjata yang mematikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar