"Membakar buku adalah kejahatan. Tetapi kejahatan sesungguhnya adalah buku yang tidak dibaca" (Orang Bijak)
“Setiap rezim melahirkan ceritanya sendiri”, kata Mao Tse Tung. Dan biasanya, setiap rezim juga melahirkan catatan teks dalam bentuk buku – tentunya, ada yang mendukung, menjilat, menentang bahkan hanya untuk sekedar mencari ”sensasi”. Demikianlah, sehingga sejarah kemudian mencatat terbitnya buku ”Siapa Menanam Angin Akan Menuai Badai”, karangan Soegiarso Soerojo. Kehadiran buku ini ”menggugat” kemapanan (baca: indoktrinasi) a-la Orde Baru terhadap kasus latar dan konteks historis Pemberontakan 30 September 1965. Dari buku ini, lahirlah kemudian beberapa buku ”counter” seperti ”Buku Putih” terbitan Sekretariat Negara. Karena rezim Orde Baru begitu ”otoriter” terhadap kebebasan berpendapat, kehadiran beberapa buku ”counter” atau buku alternatif terhadap kasus berkenaan, tidak begitu banyak. Beda dengan rezim-rezim pasca Orde Baru. Zaman Presiden B.J. Habibie melahirkan buku-buku politik alternatif yang sangat dinamis. Mulai dari kesaksian BJ. Habibie sendiri, yang kemudian di-counter oleh ”Kesaksian di Tengah Badai’-nya Fadli Zon dan selanjutnya muncul pula buku Kivlan Zein yang menyudutkan Jenderal Wiranto .... dan selanjutnya dibantah oleh Wiranto sendiri yang kemudian di-counter ulang kembali Prabowo Subianto via Fadli Zon. Paling mutakhir untuk kasus ini, Letnan Jenderal Sintong Panjaitan (orang dekat BJ. Habibie), tak mau ketinggalan. Sebagai ”saksi sejarah”, Sintong Panjaitan yang dikenal berjasa membebaskan pembajakan Pesawat Garuda Woyla DC 9 di Dong Muang Air Port Bangkok ini (dibawah komando Jenderal Lambertus Benny ”LB” Murdani), juga menukilkan pengalaman empirisnya untuk meng-counter buku Prabowo cs. Dengan ”Kesaksian Seorang Jenderal”. Menghebohkan, tapi sebentar.
Bulan Desember 2009, dunia politik Indonesia kembali tersentak. Adalah George Junus Aditjondro sebagai pemicunya. Akibat buku “Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century” yang ditulisnya, George Junus Aditjondro menggegerkan konstelasi politik nasional. Pasalnya, buku yang diterbitkan Galang Press Jogjakarta dan diluncurkan pada 23 Desember 2009 ini, sengaja mengungkap borok ‘Kerajaan’ Ciekas, tempat Presiden SBY. Buku Membongkar Gurita Cikeas setebal 183 halaman ini didahuli dengan kata pengantar yang menyatakan bahwa penulis tidak bermaksud menyerang lingkaran keluarga Cikeas. Meski demikian, ini sebagai bentuk kepedulian penulis terhadap kinerja pemerintah SBY agar memberantas KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) tanpa tebang pilih. Dimulai dari keluarga besarnya yang banyak menguasai pos-pos strategis yang rentan terhadap peluang-peluang KKN. Sebanyak 10 bab yang ada dalam buku dibuka dengan foto bergambar keluarga SBY di rumah sakit saat menantu SBY, Anissa Pohan, melahirkan anak pertamanya. Ke-10 bab tersebut adalah Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Bank Century, Bantuan Grup Sampoerna untuk Harian Jurnas, Pemanfaatan PSO LKBN Antara untuk Bravo Media Center, Yayasan-Yayasan yang berafiliasi dengan SBY, Kaitan dengan Bisnis Keluarga Cikeas, Yayasan-yayasan yang Berafiliasi dengan Ny. Ani Yudhoyono, Pelanggaran-pelanggaran UU Pemilu oleh Caleg-Caleg Partai Demokrat, Kesimpulan, Lampiran, dan Referensi penulis. Meski ada ‘larangan’ bagi buku karya Aditjondro ini untuk beredar, namun Galang Press Yogyakarta sebagai penerbit tetap akan mendistribusikan buku tersebut. Menurut Dirut Galang Press, Julius Felicianus, Sabtu (26/12), buku ini sudah tersebar 4.000 eksemplar di toko buku se-Jawa.
George Junus Aditjondro selalu menciptakan sensasi. Tapi bukan sensasi a-la politisi Senayan. Aditjondro adalah ilmuan-peneliti. Tentunya, bukunya tersebut selalu berbasiskan data – walau mungkin ada data-datanya lemah. Namun, kehadiran data-data lemah tersebut sebagai ”jembatan emas” untuk melahirkan data-data dan analisa lebih kuat. ”Tak selamanya pendapat saya ini benar, kata Karl Raymond Popper, tapi saya bahagia, karena kesalahan pendapat saya ini justru akan menjadi pijakan bagi orang lain untuk melahirkan pendapat yang benar”. Saya adalah pengagum dan fans SBY. Saya hanya berharap kiranya, konsep ”fitnah” yang dikeluarkan oleh SBY dalam beberapa kesempatan belakangan ini, hanya-lah diperuntukkan putra Pacitan ini bagi politisi-politisi avountourir Senayan saja, jangan bagi Aditjondro.
Aditjondro sendiri sudah vokal sedari dulu dan sejak 1994 -1995 namanya dikenal luas sebagai pengkritik rezim Soeharto dan berani membongkar berbagai kasus korupsi dan Timor Timur. Masih segar dalam ingatan saya, ketika tahun 1990-an awal (waktu saya masih SMA), Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga pernah ”dihuni” tiga orang dosen populer. Prof. Arief Budiman (kakak kandung Sio Hok Gie) yang dikenal sebagai ”sosiolog mbeling” dan kritis terhadap rezim Suharto, kemudian ia tercampak ke Melbourne University Australia. Di samping Prof. Arief Budiman ini, UKSW juga menjadi tempat bagi DR. Ariel Heryanto mengajar. Ariel yang pernah menulis buku ”Perlawanan dalam Kepatuhan” ini juga terdepak dari UKSW sebagaimana Arief Budiman ..... dan kemudian mengajar di Melbourne University Australia setelah sebelumnya di Nanyang University Singapore. Aditjondro juga mengalami hal serupa dengan dua secondan-nya ini. Ada kesamaan diantara mereka bertiga, sama-sama chinnese schollar (intelektual keturunan Cina), sama-sama dari UKSW, sama-sama berbasis LSM, sama-sama orang pergerakan, sama-sama terusir dari UKSW dan Indonesia dan sama-sama ke Australia. Satu lagi ....... sama-sama tak disukai rezim apapaun di Indonesia.
Aditjondro sempat harus meninggalkan Indonesia ke Australia pada tahun 1995-2002 dan dicekal oleh rezim Soeharto pada Maret 1998. Di Australia ia menjadi pengajar di Universitas Newcastle dalam bidang sosiologi. Sosiolog sekaligus aktivis LSM ini lahir 27 Mei 1946 di Pekalongan, Jawa Tengah. Ia juga pernah dicekal pihak imigrasi Thailand yang ternyata masih menggunakan surat cekal yang dikeluarkan Soeharto pada 1998, saat hendak menghadiri sebuah lokakarya di Thailand pada November 2006. Kini pun, Aditjondro membongkar dugaan kasus korupsi keluarga Cikeas.
Sebenarnya, naskah buku Membongkar Gurita Cikeas ini diterima Galang Press pada Juni 2009 atau sebelum kasus Century menjadi booming. Sebelumnya, George juga pernah menulis tentang korupsi di kepresidenan. Pada tahun 2006, pria yang pernah dicekal oleh rezim Soeharto ini menulis buku yang berjudul 'Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa'. Ia juga pernah menulis buku berjudul 'Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari'. Buku itu mengkritik habis perilaku koruptif di era Soeharto dan Habibie. Kali ini, mungkin yang tidak mengenakkan bagi ‘geng Cikeas’ dalam merespon isi buku 'Membongkar Gurita Cikeas' adalah pembeberan empat yayasan yang dikelola keluarga Presiden SBY selama ini menjadi pemobilisasi dana dan suara pada Pemilu dan Pilpres 2009. Saat jumpa pers prapeluncuran bukunya di Yogyakarta, Aditjondro menyerukan dilakukan audit keuangan atas yayasan-yayasan yang terkait keluarga Presiden SBY. Menurutnya, yayasan-yayasan itu tidak pernah diaudit dan dilaporkan kepada DPR dan media. Hal ini berpotensi melakukan memobilisasi dana dan memobilisasi suara pada Pemilu dan Pilpres 2009.
Penarikan (pelarangan) buku "Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century" dari peredaran, diprotes oleh penulisnya. Ia mengaku heran atas larangan peredaran ini. Karena dua buku karangannya mengenai korupsi di kepresidenan tidak ada larangan. Buku Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century sendiri merupakan kelanjutan dari dua buku tersebut. Ia mengaku, tanpa menulis dua buku sebelumnya, maka penulisan buku ini tidak dapat dilakukan. "Pola-pola korupsi yang dilakukan sama, sehingga saya dapat membangun analisa," paparnya. Saya tidak mau terjebak dengan politisasi kehadiran buku kontroversi ini. Namun, sebagai orang yang bergelut dalam pengembangan epistimologi ilmu pengetahuan, rasanya ungkapan Karl Raymond Popper di atas perlu kita renungkan. Janganlah peredaran sebuah Buku dihambat dengan tangan kekuasaan, justru ciptakan ”counter” dengan penelitian dan buku alternatif. Pelarangan buku menjadi parameter untuk melihat apakah pemerintahan sudah dewasa dalam demokrasi atau sebaliknya, kekanak-kanakan. Di rezim demokrasi manapun buku tidak boleh dilarang, karena menyalahi prinsip kebebasan berpendapat dalam demokrasi. Inilah, salah satu "berkah" demokrasi (kalau boleh saya mengatakan demikian). Demokrasi tidak selamanya pilihan enak, tetapi pilihan pahit yang harus dirawat dengan ketabahan untuk kemudian menjadi sebuah realitas manis. Reformasi yang telah berjalan satu dasawarsa di Indonesia adalah kesadaran kolektif kita untuk memilih yang pahit itu. Demokrasi yang memberi tempat terhormat pada kebebasan pasti memunculkan kegaduhan. Tetapi, dialog adalah semangat resolusinya. Dengan dialog, konflik diselesaikan tanpa kekerasan. Pilihan itu dilengkapi lagi dengan hukum yang berpihak pada kebenaran dan keadilan.
Jika pemerintah melarang buku, sama halnya dengan kelompok massa tertentu yang membakar buku. Sama-sama tidak dewasa, cuma beda caranya saja, yang satu membakar dan yang satu melarang. Alangkah lebih baik dan elegannya apabila setelah buku itu terbit, dilakukan saja bedah fakta, bedah kasus, dengan mengundang penulisnya. Buktikan bahwa buku itu tidak benar. Kalau terbukti fitnah, pengarang bisa diproses secara hukum. Ini akan menciptakan proses pendewasaan bagi masyarakat dan tentunya akan menjadi pemicu dinamika pengembangan ilmu ke depan. Kontroversi terkadang harus dibutuhkan sebagaimana kata pujangga Pakistan Allahamah Muhammad Iqbal : ”Terkadang saya ingin mengatakan Tuhan itu mati, agar mereka bisa mengatakan bahwa sebenarnya Tuhan itu hidup”. Sekarang bukan masanya "bumihangus buku a-la tentara Mongol dan membuangnya ke Sungai Eufrat dan Tigris" ....... tapi masanya spirit "Baitul Hikmah" dengan koleksi beragam dari semua sudut dunia, dari semua aliran dan ideologi agama (dan terkadang: bertentangan dengan ideologi penguasa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar