PUTU SETIA, sastrawan besar Indonesia asal Bali suatu ketika dipanggil oleh sahabatnya, Romo Imam. "Kamu kenal Sri Mulyani?", tanya Romo Imam pada Putu. Ketika saya (Putu Setia) jawab tidak, Romo tampak kecewa. Romo lalu menyebut sejumlah nama. Kwik Kian Gie, Bambang Soesatyo, Maruarar Sirait, Aburizal Bakrie, dan banyak lagi. "Semuanya tidak saya kenal Romo, saya kan rakyat kecil, mana kenal tokoh besar itu," jawab saya. Dengan nada kecewa, Romo berkata: "Kamu kurang bergaul, padahal saya ingin membicarakan Sri Mulyani dalam kasus Bank Century." Saya berusaha membelokkan perbincangan. "Urusan Bank Century ruwet, kita bicara Ibu Sri dalam kaitan Hari Ibu saja," kata saya. Romo seperti tersinggung: "Itu keliru besar. Kasus Century masalah sederhana yang diruwetkan karena banyak pihak memiliki target masing-masing."
Romo menjelaskan dengan analogi rumah terbakar, padahal saya mengharapkan analogi Profesor Kodok, seperti yang dilansir Kwik. Saat itu, kata Romo, ada rumah terbakar di sebuah kompleks di kawasan kampung besar. Untuk memadamkan rumah itu, perlu disemprot air dan zat kimia yang membutuhkan biaya mahal. Uang ada, karena setiap rumah di kompleks itu sudah urunan untuk musibah tak terduga seperti ini. Bukan uang milik kampung. Badan otorita kompleks mengadakan rapat darurat. Ada dua pendapat, biarkan rumah itu terbakar sendiri, dan tak perlu biaya untuk memadamkan api. Pendapat lain, semprot segera, toh uang ada, karena bisa berdampak sistemik, api merambat ke rumah yang lainnya. Jika itu terjadi, bukan hanya warga kompleks yang menanggung akibatnya, tapi juga warga kampung. Keputusan harus diambil cepat. Berdasarkan analisis saat itu, rumah harus disemprot. Jadi masih ada fondasinya dan dibangun rumah baru. Pemilik rumah itu nanti harus mengembalikan uang hasil iuran itu, karena memang sifatnya bantuan sementara.
"Sri Mulyani mengambil keputusan itu dengan cepat," kata Romo. Kalau sekarang ada yang mencela pengambilan keputusan itu, kata Romo, itu sangat tak adil. Karena pencelanya berbicara saat kondisi aman tenteram. Pengambilan keputusan cepat saat keadaan emergency sering disebut "judi yang dibenarkan". Andaikata Sri Mulyani memutuskan membiarkan rumah itu terbakar, lalu api merembet ke mana-mana, bayangkan celaan macam apa pula yang diterimanya.
"Tapi nyatanya api tak merembet, Romo," saya memotong. "Kamu ikutan tolol," jawab Romo. "Kamu berbicara dalam konteks situasi sekarang yang aman."
Saya diam, takut kena "semprot". Kemudian Romo bicara lagi, jika aliran biaya menyemprot rumah itu dipersoalkan, nah, itu bagus, jangan Sri Mulyani yang dihujat. Kan tak mungkin Ibu Sri turun langsung memeriksa, berapa aliran uang untuk beli air, beli selang, dan sebagainya. Kalau di situ ada korupsi, ya, tindak di situ. Juga jangan sok pahlawan kesorean, selalu bilang: uang rakyat raib. Uang ini memang diperuntukkan bagi keadaan emergency semacam itu untuk para anggotanya yang kemudian akan dikembalikan lagi. Ya, kalau disebut uang negara atau uang rakyat, itu perdebatan para kusir delman, memangnya ada organisasi silat menerbitkan uang? Semua uang, ya, dikeluarkan negara, tapi ada "hak milik" yang melekat pada orang atau paguyuban.
"Kamu kenal Marsillam Simanjuntak?" tiba-tiba Romo bertanya tentang orang lagi. "Kalau dia saya kenal, karena Marsillam orang besar yang menghormati martabat saya sebagai orang kecil," jawab saya. "Sejauh mana kenal?" Saya jawab: "Sampai saya mengenali suaranya di telepon meski beliau sering bercanda. Karena itu, dalam rekaman yang kini beredar, saya yakin Sri Mulyani berbicara dengan Marsillam, bukan Robert Tantular."
Sumber : Majalah Tempo Edisi Minggu ke-3 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar