Dalam beberapa hari belakangan ini, saya berusaha "keras" untuk memahami dunia yang bukan "ranah" ilmu saya, yaitu ekonomi. Sebagai seorang yang bergelut dalam ilmu sejarah dan sosiologi politik, beberapa istilah yang muncul belakangan ini berkaitan dengan kasus Bank Century (BC) seperti "sistemik" dan "Bail-Out" hanya saya pahami dalam tataran konseptual tanpa ada dasar kontekstual. Memang saya pernah mengajar "Pendekatan Sejarah Ekonomi" di kampus saya dan "Pengaruh Politik dalam Sistem Ekonomi" di sebuah Perguruan Tinggi swasta, tapi tetap yang saya pahami masih dalam tataran filosofis-normatif saja. Karena itulah, dalam beberapa hari terakhir ini, saya sangat menikmati "perdebatan akademik" diantara pengamat-akademisi ekonomi di berbagai media. Dan, "perdebatan politik" berkaitan dengan BC, biasanya saya anggap "angin lalu", karena untuk kasus ini saya dari awal telah "berburuk sangka", dunia politik adalah "Bargaining" - tawar menawar, apalagi untuk kasus BC.
Beberapa pertanyaan yang muncul berkaitan dengan BC belakangan ini setidaknya membuat seorang Sri Mulyani "dihabisi" oleh orang-orang yang terkadang tidak mengerti dengan apa yang mereka katakan. Termasuk beberapa teman dan mahasiswa saya. Bagi mereka, kasus BC adalah "kesalahan" Sri Mulyani + Boediono. Mereka korupsi, biasanya itu simpulan awal dan akhir. Ketika ditanya, konteks sistemik dan Bail-out itu, mereka hanya mengetahui dari lontaran-lontaran "panas" politisi-politisi Senayan, dan bagi mereka itu-lah yang benar. Bagi saya, kebenaran di luar ranah ilmu saya, itu bukan kebenaran bagi saya. Karena itulah, memahami kasus BC, referensi saya adalah mereka yang betul-betul "dipercayai" selama ini sebagai ilmuan atau ekonomo berintegritas di Indonesia. Lucu, bila saya harus mendengar defenisi para politisi yang begitu "bernafsu". Saya berusaha memahami konteks kasus Bank Century tersebut dari beberapa pendapat ekonom berintegritas, dan beberapa pertanyaan terutama tentang konteks sistemik dan Bail-out itu, walaupun terkesan subjektif, setidaknya saya bisa belajar untuk "berfikir jernih" dan tidak terbawa "nafsu" para politisi di Senayan sana.
Bagi saya kasus BC (sebagaimana yang saya "tangkap" dan pahami) bisa dilihat latar-nya dengan sebuah analogi. Ada sebuah analogi yang baik sekali dari Menteri Keuangan Sri Mulyani: di sebuah perkampungan yang amat padat, terjadi kebakaran. Kebetulan pemilik rumah tersebut adalah orang yang jahat. Kita bisa saja membiarkan rumah itu terbakar, tetapi akibatnya rumah di sekitarnya akan ikut terbakar, dan seluruh perkampungan akan terbakar. Maka kita tak bisa mengambil risiko—siapa pun pemilik rumah tersebut—kita harus memadamkan apinya. Bukan untuk menolong dia, tetapi untuk menyelamatkan seluruh kampung. Dan ini tak hanya terjadi dengan Century di Indonesia. Lalu apakah benar ini sistemik? Bukankah faktanya krisis perbankan tak terjadi? Bagaimana jika waktu itu tidak dilakukan bailout? Sayangnya, kita tidak bisa tahu persis apakah karena bail out maka krisis perbankan tidak terjadi, atau memang situasi krisis tidak parah sehingga tidak perlu dilakukan bailout. Jika dua argumen mengenai soal yang sama datang dengan kesimpulan yang berbeda, mana yang paling mendekati ”kebenaran relatif”?
Dalam risalahnya yang berjudul The Methodology of Positive Economics, pemenang Nobel Ekonomi Milton Friedman menulis: teori atau model tidak bisa disimpulkan benar hanya karena model itu konsisten dengan bukti empiris, namun teori atau model dapat dikatakan salah—atau belum membuktikan kebenarannya—jika ia tidak konsisten dengan bukti empirisnya. Dalam kasus Bank Century ada dua fakta empiris: pertama, ada bailout, dan kedua: tidak ada krisis perbankan. Amat naif bila kita menyimpulkan bahwa karena bailout terhadap Century, krisis perbankan tidak terjadi. Sangat mungkin situasi perbankan yang aman disebabkan juga oleh faktor lain. Artinya, penyelamatan Century punya probabilitas untuk benar dan sekaligus juga salah. Artinya pula, kondisi perbankan yang aman mungkin disebabkan oleh penyelamatan Century, tetapi bukan pasti karena itu. Namun, yang jelas: tidak ada bukti empiris bahwa dengan menutup atau tidak memberikan bailout kepada Century, krisis perbankan tidak terjadi. Karena faktanya: pemerintah tidak pernah menutup Bank Century, dan krisis perbankan tidak terjadi. Karena itu, argumen bahwa kalau toh Century tidak di-bail out, ekonomi Indonesia akan selamat, tidak punya bukti empirisnya.
Lalu bagaimana soal aliran dana? Atau soal penyalahgunaan? Jawabannya sederhana: buktikan saja melalui data PPATK dan penyidikan KPK. Jika memang ada bukti dan kesalahan: hukum saja mereka yang bertanggung jawab. Siapa pun dia. Apa pun posisinya. Tetapi soal menjadi lain jika ia masuk ranah politik. Di sini terbuka semua kemungkinan, termasuk pengadilan terhadap kebijakan, termasuk kemungkinan mendapatkan jabatan. Jika kebijakan bisa diadili, tak ada orang yang berani mengambil risiko kebijakan. Lalu, kalau terjadi guncangan di sektor keuangan lagi—dengan risiko sistemik atau terkenanya sektor perbankan—apakah pemerintah dan Bank Indonesia berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menenangkan sektor keuangan?
Jadi, ini bukanlah sekadar soal mempertahankan Boediono dan Sri Mulyani. Ini adalah soal yang lebih besar: membela nasib Indonesia. Apakah karena persoalan politik, nasib rakyat harus dikorbankan? Siapa yang dibela? Kepentingan rakyat atau jabatan? Saya tak pandai menjawabnya. Kekisruhan dan keserakahan politik membuat kita lupa tentang nilai. Tentang integritas. Padahal kita tahu, negeri ini tak dibangun oleh keserakahan. Tak dibangun oleh perebutan kekuasaan. Ia dibangun oleh niat baik, ia dibangun oleh jutaan orang yang setiap hari bergulat untuk selangkah lebih baik. Ia dibangun oleh integritas, seperti rekam jejak Boediono dan Sri Mulyani selama ini. Integritas mungkin tak lebih kuat daripada kekuasaan, tetapi ia lebih tinggi. Sejarah menulis: republik ini dibangun oleh orang yang bisa bersikap, walau itu tak populer, walau itu tak ramai dijejaki orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar