Sabtu, 19 Desember 2009

Melanggengkan Kekuasaan Versi Antonio Gramschi

Oleh : Muhammad Ilham


ANTONIO GRAMSCHI, seorang filosof berkebangsaan Italia, suatu waktu pernah mengatakan bahwa kekuasaan itu bisa dilanggengkan dengan dua cara. Cara pertama melalui tindakan kekerasan, dan bersifat memaksa. Cara kedua adalah membujuk, dan ini bersifat lunak. Menurut Gramschi yang dikenal awalnya sebagai seorang Marxian (namun di akhir masa-masa "petualangan" intelektualnya, Grmaschi justru mengkritik pandangan Marxisme), perangkat keras yang memaksa itu dilaksanakan oleh lembaga-lembaga seperti institusi hukum, polisi dan penjara. Sedangkan yang lunak dan membujuk, dilaksanakan dalam pranata-pranata kehidupan swasta seperti kehidupan keagamaan, keluarga, pendidikan dan sebagainya. Gramschi yang mengakhiri hidupnya dalam penjara ini mengatakan bahwa perangkat keras yang bersifat memaksa dilaksanakan oleh negara (state), dan yang lunak-membujuk dilakukan oleh civil society.

Bila kekuasan dicapai dengan cara mengandalkan kekuatan memaksa semata, maka yang tercapai adalah domination (dominasi). Dalam konteks ini, akan tercipta stabilitas dan keamanan, tidak ada gejolak atau oposisi karena rakyat dikondisikan untuk bungkam. Apabila rakyat membangkang (bahkan mengkritik), maka "diamankan". Tindakan memaksa dengan kekerasan ini sangat mutlak diperlukan oleh penguasa (mungkin Gramschi, dalam konteks ini, terinspirasi dari Niccolo Machiavelli). Tetapi dominasi semacam ini, bagi Gramschi tidak akan mampu melanggengkan kekuasaan. Maka, untuk melanggengkan kekuasan tersebut, menurut Gramschi, dominasi harus dilengkapi dan lama kelamaan digantikan oleh hegemoni. Konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh Gramschi tahun 1926 ini adalah adalah suatu konsep pelanggengan kekuasaan dengan pengabsahan. Bila hegemoni tercapai, penguasa tidak perlu terus menerus menindas karena yang tertindas akan pasrah terhadap status quo. Mereka terbujuk untuk tidak lagi melihat ketimpangan yang merugikan mereka sendiri. Atau melihatnya sebagai sesuatu yang wajar, alamiah, bahkan adil sesuai dengan kehendak Illahi.

Tentu saja, mencapai kekuasaan yang hegemonis (membuat yang tertindas merasa bahagia ditindas) jauh lebih sulit ketimbang sekadar mencapai dominasi (penindasan yang keji). Namun, bagi Gramschi, hegemoni bisa terbentuk lewat berbagai cara dan dalam berbagai ranah kehidupan sehari-hari, bahkan tanpa disadari, terkesan tidak serius, tidak angker dan tidak bersifat politis. Misalnya melalui kesenian, keagamaan, kebudayaan dan keluarga. Hegemoni memberi kebebasan dan toleransi bagi keberagaman, tentunya hingga dalam batas-batas yang dapat dikendalikan penguasa. Dengan demikian, kaum tertindas diharapkan merasa senangdan berharap masih akan ada perbaikan walau masih dikuasai. Hegemoni bukan hanya bersifat mengalah terhadap tuntutan musuh, tetapi juga menahan diri untuk tidak semata-mata memperjuangkan kepentingan sendiri secara vulgar. "Kemasan" adalah kata kuncinya. Kepentingan sendiri dibungkus dengan aneka kepentingan lain, sehingga tampil seakan-akan mewakili kepentingan umum(misalnya : kepentingan nasional atau kepentingan rakyat) ...... Bagaimana dengan kondisi politik Indonesia akhir-akhir ini ?. Begitu banyak yang mengobral "atas nama kepentingan rakyat", "kasus ini mewakili suara rakyat" ... dan seterusnya.

Tidak ada komentar: