Oleh : Muhammad Ilham
“Bangsa Palestina dibiarkan sendiri”, demikian kata Tony Clifton, seorang jurnalis Newsweek beberapa tahun lalu. Rasanya keluhan ini tak pernah kehilangan konteks. Selalu aktual. Wartawan asal Australia ini, secara terus terang mengaku pro-Palestina. “Di Timur Tengah …… tak ada damai tanpa Mesir, tak ada perang tanpa Suriah, akan tetapi dalam kondisi apapun, Palestina tetap dalam posisi yang dirugikan”, demikian epilog Clifton dalam bukunya God Cried (Tuhan yang Menangis).
Buku ini sangat menarik, walaupun edisi awalnya dicetak tahun 1982 sehingga ada fakta-fakta yang terkesan kehilangan “konteks”. Akan tetapi, persoalan Palestina selalu aktual. Tangisan yang aktual. Penderitaan yang aktual. Ketidakadilan yang aktual. Dan sikap ummat Islam (baca: entitas Islam Timur Tengah) yang selalu aktual : “masa bodoh”. Anti Menachen Begin dan anti Sharon (dua pilar utama ideologi zionisme tahun 1980-an) sangat terasa sekali dalam buku ini. Menachen Begin (kala itu PM Israel), diakui dunia sebagai pahlawan kemanusiaan. Bersama-sama dengan Anwar Sadat (Presiden Mesir) dan Jimmy Carter (Presiden AS sebelum Reagan), dihadiahi Nobel Perdamaian berkat Perjanjian Camp David. Ariel Sharon (kala itu Menteri Pertahanan/Menteri Luar Negeri), tercatat memiliki tangan yang "berlumuran darah" karena pembantaian orang-orang Palestina di Kamp Pengungsian Sabra Shatilla. Sharon mengomandoi pembantaian ini. Nobel yang diterima Begin diawali oleh darah rakyat Palestina dan kegarangan "monster" yang bernama Sharon. Lalu Arafat dan rakyat Palestina dimana ? Mereka ditinggalkan. Dibiarkan sendiri dan menjadi proyek politik elit-elit politik negara Timur Tengah.
Lalu mengapa judul buku ini “Tuhan yang Menangis?”. Idenya datang dari sebuah lelucon Palestina. Konon, Ronald Reagan (Presiden AS era 1980-an), Leonid Ilyich Ulyanov Brezhnev (Presiden Uni Sovyet) dan Yasser Arafat (tokoh sentral PLO) dipanggil menghadap Tuhan. Reagan bertanya kepada Tuhan, kapan Presiden AS memerintah dunia ? Tuhan menjawab 200 tahun lagi. Dan Reagan-pun menangis. Brezhnev juga bertanya senada, kapan komunis menguasai dunia? Tuhan menjawab 250 tahun lagi. Sebagaimana halnya Reagan, Brezhnev juga menangis. Akhirnya Arafat bertanya, kapan bangsa Palestina memiliki tanah air yang merdeka dan kehidupan damai ? Kali ini, justru Tuhan yang menangis.
Rabu, 25 Februari 2009
Filosofi Silat dalam Politik
Oleh : Muhammad Ilham
Malam tadi, saya nonton film “The Bodyguard from Beijing”. Jet Lee sebagai star hero-nya. Sejak saya kenal film-film mandarin, baik yang dibintangi oleh Bruce Lee, Wang Yu, Fa Yu Ching, Chen Kuan Tai, Danny Tan, Danny Low, Jacky Chen, Jet Lee hingga Stephen Cow – untuk menyebut beberapa nama diantaranya – maka satu hal yang mirip : mereka mampu mengalahkan lawan-lawannya dalam jumlah banyak, sendirian. Lakon pasti tidak akan pernah kalah, minimal babak belur, tapi tetap menang. Lalu bagaimana dalam jumlah lawan yang demikian banyak, sang lakon bisa menang? Sepintas lalu, saya teringat dengan ungkapan salah seorang teoritisi sosiologi konflik : “Ketika menghadapi satu tujuan dengan motivasi untuk menang, maka setiap individu akan berfikir secara kelompok, tapi bila mereka merasa keselamatan pribadinya terancam, maka mereka akan berfikir perorangan. Dalam bahaya atau kemelut, kelompok cenderung menjadi buyar”. Ciaaaat, kata Bruce Lee. Satu orang pingsan. Satu lagi terkapar. Yang lain ?..... mereka akhirnya ragu-ragu dan buyar. Hal ini bila dikorelasikan dengan bidang kehidupan lain, bisa nggak? Dalam bidang politik misalnya ?.
Menarik sekali bila melihat “kesan-kesan” yang kita tangkap pada masa jelang Pemilu Legislatif 9 April 2009 yang akan datang. Tiap caleg selalu mengadakan seruan (appeal) untuk memberikan kesan bahwa rakyat yang akan memilih dan dirinya adalah satu. Di sana-sini terdengar janji-janji. Lihatlah spanduk, baliho ataupun sticker dan ragam jenis instrumen sosialisasi lainnya. “Wakil Kita Masa Depan Kita”, “Menciptakan Ekonomi Kerakyatan”, “Mari Kita Sejahterakan Rakyat” dan seterusnya dan seterusnya yang pada prinsipnya membuat kita mengklaim mereka “panduto raya”. Dalam kondisi ini, timbul indentifikasi antara kepentingan rakyat dan kepentingan sang caleg. Sedapat-dapatnya, sang caleg menciptakan kesan berfikir menurut jalan rakyat. Tapi apapun yang dilakukan oleh para caleg belakangan ini, wajar-wajar saja. Sosialisasi yang berhasil, menurut sosiologi politik, adalah yang mampu mengadakan “political engineering” – suatu penyiasatan politik untuk mencapai tujuan politik dan mewujudkan kemauan politik tertentu, dengan cara menciptakan suatu kerangka berfikir menurut kerangka acuan kelompok.
“Historia Vitae Magistra”, kata Bennedicto Croce. Sejarah memberi pengalaman. Pengalaman historis bangsa kita, memberikan pelajaran yang sama. Kolonialisme yang ingin ditumbangkan melahirkan kondisi kerangka berfikir yang sama dalam benak setiap ank bangsa kal itu. Indonesia merdeka pun menjelma. Kemudian, lahir sejumlah kelompok dan partai politik. Kemudian saling gontok-gontokan. Kemudian, terjadi instabilitas. Kemudian, kemudian dan kemudian. Menjadi pertanyaan : “Mengapakah orang-orang yang tadinya demikian bersatu padu, dalam waktu yang tak lama berselang, menjadi amat terpecah belah?”. Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang barangkali membuat rakyat menjadi masygul dan kritis menghadapi seruan politik dalam berbagai kampanye. Persatuan kepentingan dengan mereka dikerahkan sehabis-habisnya tatkala suara atau tenaganya dibutuhkan untuk mensukseskan suatu perjuangan politik. Tetapi begitu perjuangan mulai memperlihatkan hasilnya, mereka cenderung tidak diutamakan lagi, sekurang-kurangnya tak lagi sehebat ketika lagi berjuang. Ungkapan “Wakil Kita Masa Depan Kita” menjadi kehilangan makna.
Lalu bagaimana hubungannya dengan Silat Jet Lee diatas ? Dengan sedikit variasi : “dalam perjuangan politik orang cenderung berfikir kelompok, dalam menikmati hasilnya, orang cenderung berfikir sebagai perorangan”. Pagi hari minggu kemaren, lamat-lamat saya mendengar nyanyian anak-anak yang baru pulang dari Didikan Subuh : Berakit-rakit ke hulu/berenang-renang ke tepian/bersakit-sakit dahulu/bersenang-senang sendirian/. Saya lihat kemudian, rupanya mereka bernyanyi menghadap pada baliho gambar seorang Caleg yang terletak dekat musholla. Setelah nyanyi, mereka pun ketawa dan salah seorang nyeletuk, “Calegnyo bencong, lai laki-laki tapi bibianyo bagincu”.
Malam tadi, saya nonton film “The Bodyguard from Beijing”. Jet Lee sebagai star hero-nya. Sejak saya kenal film-film mandarin, baik yang dibintangi oleh Bruce Lee, Wang Yu, Fa Yu Ching, Chen Kuan Tai, Danny Tan, Danny Low, Jacky Chen, Jet Lee hingga Stephen Cow – untuk menyebut beberapa nama diantaranya – maka satu hal yang mirip : mereka mampu mengalahkan lawan-lawannya dalam jumlah banyak, sendirian. Lakon pasti tidak akan pernah kalah, minimal babak belur, tapi tetap menang. Lalu bagaimana dalam jumlah lawan yang demikian banyak, sang lakon bisa menang? Sepintas lalu, saya teringat dengan ungkapan salah seorang teoritisi sosiologi konflik : “Ketika menghadapi satu tujuan dengan motivasi untuk menang, maka setiap individu akan berfikir secara kelompok, tapi bila mereka merasa keselamatan pribadinya terancam, maka mereka akan berfikir perorangan. Dalam bahaya atau kemelut, kelompok cenderung menjadi buyar”. Ciaaaat, kata Bruce Lee. Satu orang pingsan. Satu lagi terkapar. Yang lain ?..... mereka akhirnya ragu-ragu dan buyar. Hal ini bila dikorelasikan dengan bidang kehidupan lain, bisa nggak? Dalam bidang politik misalnya ?.
Menarik sekali bila melihat “kesan-kesan” yang kita tangkap pada masa jelang Pemilu Legislatif 9 April 2009 yang akan datang. Tiap caleg selalu mengadakan seruan (appeal) untuk memberikan kesan bahwa rakyat yang akan memilih dan dirinya adalah satu. Di sana-sini terdengar janji-janji. Lihatlah spanduk, baliho ataupun sticker dan ragam jenis instrumen sosialisasi lainnya. “Wakil Kita Masa Depan Kita”, “Menciptakan Ekonomi Kerakyatan”, “Mari Kita Sejahterakan Rakyat” dan seterusnya dan seterusnya yang pada prinsipnya membuat kita mengklaim mereka “panduto raya”. Dalam kondisi ini, timbul indentifikasi antara kepentingan rakyat dan kepentingan sang caleg. Sedapat-dapatnya, sang caleg menciptakan kesan berfikir menurut jalan rakyat. Tapi apapun yang dilakukan oleh para caleg belakangan ini, wajar-wajar saja. Sosialisasi yang berhasil, menurut sosiologi politik, adalah yang mampu mengadakan “political engineering” – suatu penyiasatan politik untuk mencapai tujuan politik dan mewujudkan kemauan politik tertentu, dengan cara menciptakan suatu kerangka berfikir menurut kerangka acuan kelompok.
“Historia Vitae Magistra”, kata Bennedicto Croce. Sejarah memberi pengalaman. Pengalaman historis bangsa kita, memberikan pelajaran yang sama. Kolonialisme yang ingin ditumbangkan melahirkan kondisi kerangka berfikir yang sama dalam benak setiap ank bangsa kal itu. Indonesia merdeka pun menjelma. Kemudian, lahir sejumlah kelompok dan partai politik. Kemudian saling gontok-gontokan. Kemudian, terjadi instabilitas. Kemudian, kemudian dan kemudian. Menjadi pertanyaan : “Mengapakah orang-orang yang tadinya demikian bersatu padu, dalam waktu yang tak lama berselang, menjadi amat terpecah belah?”. Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang barangkali membuat rakyat menjadi masygul dan kritis menghadapi seruan politik dalam berbagai kampanye. Persatuan kepentingan dengan mereka dikerahkan sehabis-habisnya tatkala suara atau tenaganya dibutuhkan untuk mensukseskan suatu perjuangan politik. Tetapi begitu perjuangan mulai memperlihatkan hasilnya, mereka cenderung tidak diutamakan lagi, sekurang-kurangnya tak lagi sehebat ketika lagi berjuang. Ungkapan “Wakil Kita Masa Depan Kita” menjadi kehilangan makna.
Lalu bagaimana hubungannya dengan Silat Jet Lee diatas ? Dengan sedikit variasi : “dalam perjuangan politik orang cenderung berfikir kelompok, dalam menikmati hasilnya, orang cenderung berfikir sebagai perorangan”. Pagi hari minggu kemaren, lamat-lamat saya mendengar nyanyian anak-anak yang baru pulang dari Didikan Subuh : Berakit-rakit ke hulu/berenang-renang ke tepian/bersakit-sakit dahulu/bersenang-senang sendirian/. Saya lihat kemudian, rupanya mereka bernyanyi menghadap pada baliho gambar seorang Caleg yang terletak dekat musholla. Setelah nyanyi, mereka pun ketawa dan salah seorang nyeletuk, “Calegnyo bencong, lai laki-laki tapi bibianyo bagincu”.
Foto : Makna lain "Binatang" dan Kebersihan
Senin, 23 Februari 2009
Politik : Ada Harapan ?
Oleh : Muhammad Ilham
/Harapan itu ibarat jalan di dalam rimba/
/Pada awalnya tak ada/
/tapi karena sering dilalui/
/akhirnya/
/jalan itu ada dengan sendirinya/
(Lut Szun : Filosof Tao Cina Klasik)
/Harapan itu ibarat jalan di dalam rimba/
/Pada awalnya tak ada/
/tapi karena sering dilalui/
/akhirnya/
/jalan itu ada dengan sendirinya/
(Lut Szun : Filosof Tao Cina Klasik)
Seseorang ingin terjun di dunia politik? Konsekuensinya, ia harus siap bergelut dengan dunia kebusukan. Kalau berhasil, dia akan menjadi politisi yang disegani kawan maupun lawan. Politik itu busuk, kata "rakyat bawah-pinggiran". Iya memang, bila kita dasarkan pada realita yang terlihat. Karena itu sebaiknya dipisahkan saja antara agama dan politik seperti di Barat. Jelas, terukur dan gentle. Kalau tidak, kasihan agama yang selalu di"tunggangi" oleh politisi-politik. Untuk menjadi politisi itu harus muka tembok, jantungnya dobel, hatinya seperti batu, kalau tidak bisa jangan harap berhasil jadi politisi. Bukti dari dasyatnya politik, maraknya praktek politik uang. Politik uang itu benar-benar mengancam transisi demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia.
Lalu bagaimana harusnya ? Pemilu 2009 menjadi momentum perbaikan bagi kualitas berdemokrasi dan pembangunan bangsa. Caranya rakyat benar-benar memilih wakil rakyat dan pemimpin yang berkomitmen mensejahterakan rakyat. Momentum bagi politisi untuk menunjukkan leadership-nya. bukan mengajari masyarakat untuk menjadikan politik sebagai bahan transaksi pragmatis. Jangan biarkan masyarakat mempraktekkan pola berpolitik yang merusak. praktek jual beli suara hanya akan menjauhkan cita-cita indonesia menjadi lebih baik. Seorang calon yang menangnya dengan cara membayar, pasti yang dipikirkan pertama kali bagaimana mengembalikan modalnya, bukan bagaimana memperbaiki nasib rakyatnya. Karena itulah, rakyat tak memilih caleg yang menaburkan uang dalam menarik simpati pemilih. Demikian juga, dengan caleg yang ingin memperbaiki negeri ini dengan setulus hati, agar tak mengajari rakyat dengan politik transaksional. Karena itu pula, MUI harusnya bukan mengeluarkan fatwa haram Golput, harusnya MUI mengeluarkan fatwa super "haram" bagi masyarakat untuk memilih CALEG YANG BERMASALAH dan mempraktekkan politik transaksional. Saya rasa, itu jauh lebih mendidik dan memiliki pengaruh besar dalam meniti harapan Indonesia yang lebih baik.
Minggu, 22 Februari 2009
Paradigma Sosiologi - Teori Sosiologi Tahap Awal
Oleh : Muhammad Ilham
(Sekedar "Bahan Komparasi" bagi Mahasiswa-Mahasiswa saya)
Kata Kunci : Paradigma, Fakta Sosial, Defenisi Sosial, Individualisme, Perilaku Sosial, Interpretatif, Historisisme, Value Free, Profetik
Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution memperkenalkan istilah Paradigma. Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya. Pandangan ini kemudian dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya yang bertitelkan Sociology: A Multiple Paradigm Science. Hanya saja, dalam penjelasan di bawah ini penulis tidak memakai buku asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan buku hasil saduran Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi.
Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.
Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution). Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead. Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.
Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik. Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat. Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.
Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial. Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan herme neutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.
Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen -nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial.
Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah, sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan dari masing-masing paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang sangat kompleks ini kita hanya berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma saja. Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat terpengaruh oleh positivisme, adalah terletak pada netralitas dan obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak bisa melihat pada sisi historitas obyek kajian. Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau yang bisa kita sebut sebagai paradigma intepretatif, bisa diadopsi sebagai sebuah paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan sosial secara positif. Akhirnya, kita tidak lagi hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian inherent dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik, penulis kira, sangat dekat dengan pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi profetik “realitas kenabian” sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk memahami masyatakat. Sosiologi profetik juga tidak mengabaikan pentingnya analisis kultural yang menjadi bagian penting dalam realitas sosial.
Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral). Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.
Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah. Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.
Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.
Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan. Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.
Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat. Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya. Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti. Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd. Seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah. Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif.
(Sekedar "Bahan Komparasi" bagi Mahasiswa-Mahasiswa saya)
Kata Kunci : Paradigma, Fakta Sosial, Defenisi Sosial, Individualisme, Perilaku Sosial, Interpretatif, Historisisme, Value Free, Profetik
Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution memperkenalkan istilah Paradigma. Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya. Pandangan ini kemudian dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya yang bertitelkan Sociology: A Multiple Paradigm Science. Hanya saja, dalam penjelasan di bawah ini penulis tidak memakai buku asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan buku hasil saduran Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi.
Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.
Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution). Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead. Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.
Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik. Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat. Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.
Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial. Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan herme neutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.
Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen -nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial.
Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah, sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan dari masing-masing paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang sangat kompleks ini kita hanya berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma saja. Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat terpengaruh oleh positivisme, adalah terletak pada netralitas dan obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak bisa melihat pada sisi historitas obyek kajian. Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau yang bisa kita sebut sebagai paradigma intepretatif, bisa diadopsi sebagai sebuah paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan sosial secara positif. Akhirnya, kita tidak lagi hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian inherent dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik, penulis kira, sangat dekat dengan pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi profetik “realitas kenabian” sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk memahami masyatakat. Sosiologi profetik juga tidak mengabaikan pentingnya analisis kultural yang menjadi bagian penting dalam realitas sosial.
Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral). Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.
Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah. Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.
Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.
Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan. Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.
Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat. Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya. Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti. Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd. Seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah. Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif.
Potret Lusuh Chairil Anwar Sang "Binatang Jalang"
Re-Write dan edit oleh : Muhammad Ilham
(Dari beberapa sumber terutama wikipedia dan Mesias. Secara umum, substansi tulisan merupakan ide orisinil “penulis awal”. Foto dari www.google.com).
(Dari beberapa sumber terutama wikipedia dan Mesias. Secara umum, substansi tulisan merupakan ide orisinil “penulis awal”. Foto dari www.google.com).
Di sebuah senja, 1943, seorang lelaki bermata merah, ceking dan lusuh, berjalan di antara gerbong-gerbong tua di Stasiun Senen. Matanya menerawang, sebelum langkahnya terhenti di gubuk reot mesum. Dihampirinya perempuan hamil penunggu gubuk itu, di rebahkannya tubuh ringkih itu di pangkuan si perempuan, matanya tetap menerawang. Perempuan itu, Marsiti, segera membukai baju si lelaki, memijat punggungnya, dan mereka bermesraan sesaat. Kemudian lelaki itu kembali tenggelam dalam bacaannya, buku puisi Marsman, yang dia curi entah dari mana. Lelaki itu adalah Chairil Anwar, yang jika gundah pasti mendatangi Marsiti, entah itu untuk bermesraan, mencari makan, atau memamerkan beberapa puisi baru yang telah dia ciptakan atau terjemahkan.
Chairil memang sosok yang jalang. Pelacuran, minuman keras, pencurian buku kecil- kecilan, tapi juga kekacauan perang, selalu dia masuki. Semua itu, bagi dia, adalah dunia kacau yang selalu memberi inspirasi. Tak heran jika di kepala dia hanya ada satu kata; sastra. Akibatnya, secara ekonomi Chairil tak pernah mandiri. Ketak mandirian inilah yang justru membuat Chairil punya banyak teman. "Kadang dia datang menyerahkan sebuah puisi, dan langsung meminta honorariumnya. Dia selalu yakin puisinya pasti kami muat," kenang Kodrat, redaktur Pustaka Jaya. Di mata Ida Rosihan Anwar, sosok Chairil selalu menyebalkan. "Ia selalu kelaparan, minta uang, dan makan di sana-sini," kenangnya. "Tapi anehnya, dia selalu diterima semua kawan, dan jika dia tak datang, banyak yang merasa kehilangan," tambah Ida, dalam acara "50 Tahun Wafatnya Chairil Anwar" di Taman Ismail Marzuki, 1999 lalu. "Jika tiga hari dia tidak datang, kami semua kehilangan. Tapi jika dia datang, jatah makan kami pun berkurang. Dia sosok yang menjemukan, sekaligus dirindukan. Bicara dengannya, saya selalu merasa kecil," kenang Sobron Aidit, dalam situs pribadinya. Keusilan Chairil memang banyak menebar kenangan. Chairil pernah meminta puisi Sobron untuk dimuat, dan saat dimuat, honornya tak pernah dia terima. "Waktu saya tanya, dengan senyum Chairil bilang, 'Soto yang kau makan lahap kemarin itulah honormu'. Saya selalu ingat gaya tenangnya jika ketahuan menipu," tambah Sobron.
Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Orang tuanya bercerai, dan ayahnya kawin lagi. Setelah perceraian itu, saat usai SMA, Chairil ikut ibunya ke Jakarta. Masa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Kedekatan ini begitu berkesan bagi Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda keberpihakan akan nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acap kehilangan sosoknya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada sang ibu. Sejak kecil, semangat Chairil terkenal liat. Jassin punya kenangan tentang ini. "Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dia dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu karena kami bertanding di depan para gadis." Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil menikah. Pernikahan itu tak berumur panjang. Karena kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah mengajukan cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis. Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Dia bahkan menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersetengah-setengah di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, "Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar."
Surat Terbuka Pramudya Ananta Tour kepada Keitch Foulcher
Re-Write oleh : Muhammad Ilham
Dari Demi Demokrasi 2 (1985) an English translation is in Indonesia Reports, cultural and social supplement (August 1986). Gambar/Foto dari www.wikipedia.com
Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. Terimakasih. Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang Pram. Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.: "All forgotten and forgiven" dan revisiannya: "We've forgiven but not forgotten." Saya hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan Bung sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik--di sini Indonesia--bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu prosedur nasional dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi kemerdekaan. Tak seorang pun di antara para manikebuis pernah menyatakan simpati--jangan bayangkan protes--pada lawannya yang dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap seniman nasional Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang. Di mana itu pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo sanak, yo kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah-- masih menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego patine.
Masalah pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua pendapat; revolusi sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah masalah ikutan daripadanya. Saya sendiri berpendapat, memang belum selesai. Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi Indonesia. Karena memang belum ada distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan yang selesai. Maka para sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional cenderung dinamai dan dibatasi sebagai perang kemerdekaan. Pertentangan manikebu dan pihak kami dulu tidak lain cuma soal polemik. Memang keras, tapi tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang satu jalan untuk mendapatkan kebenaran umum, yang bisa diterima oleh umum? Bahwa pada waktu itu terjadi teror yang dilakukan oleh orang-orang Lekra sebagaimana dituduhkan sekarang, betul- betul saya belum bisa diyakinkan. Beb Vuyk dalam koran Belanda menuduh: teror telah dilakukan orang-orang Lekra terhadap beberapa orang, antaranya Bernard IJzerdraad. Waktu ia datang ke Indonesia dan menemuinya sendiri, IJzerdraad menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak pernah mengkoreksi tulisannya. Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia setelah kegagalan pemberontakan PRRI-Permesta, kemudian minta kewarganegaraan Belanda. Mungkin ia merasa begitu pentingnya bagi Indonesia sehingga dalam usianya yang sudah lanjut merasa berkepentingan untuk mendirikan kebohongan terutama untuk menyudutkan saya. pada hal dalam polemik-polemik tsb. saya hanya menggunakan hak saya sebagai warganegara merdeka untuk menyatakan pendapat. Dan saya sadari hak saya. Seperti sering kali saya katakan: kewarganegaraan saya peroleh dengan pergulatan bukan hadiah gratis.
Dan apa sesungguhnya kudeta gagal G-30S/PKI itu? Saya sendiri tidak tahu. Sekitar tanggal 24 bulan lalu saya menerima fotokopi dari seorang wartawan politik Eropa dari Journal of Contemporary Asia, tanpa nomor dan tanpa tahun, berjudul: "Who's Plot--New Light on the 1965 Events," karangan W.F. Wertheim. Itulah untuk pertama kali saya baca uraian dari orang yang tak berpihak. Juga itu informasi pertama setelah 20 tahun belakangan ini. Rupa-rupanya karena ketidaktahuan saya itu saya harus dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2 bulan + hampir 6 tahun tahanan kota (tanpa pernyataan legal), tanpa pernah melihat dewan hakim yang mendengarkan pembelaan saya. Memang sangat mahal harga kewarganegaraan yang harus saya bayar. Maka juga kewarganegaraan saya saya pergunakan semaksimal mungkin. Itu pun masih ada saja orang yang tidak rela. Juga surat pada Bung ini saya tulis dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan saya.
Sekarang akan saya tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada di Indonesia waktu meletus peristiwa 1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami. Saya akan ceritakan sejauh saya alami sendiri, untuk tidak membuat terlalu banyak kesalahan. Pada 1 Oktober 1965 pagihari saya dengar dari radio adanya gerakan Untung. Kemudian berita tentang susunan nama Dewan Revolusi. Sebelum itu pengumuman naik pangkat para prajurit yang ikut dalam gerakan Untung dan penurunan pangkat bagi mereka yang jadi perwira di atas letkol. Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok belum-belum sudah mengurusi pangkat? Ini gerakan apa, oleh siapa? Saya lebih banyak di rumah daripada tidak. Kerja rutine ke luar rumah adalah dalam rangka menyiapkan Lentera dan mengajar pada Res Publika. Dan sangat kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya "diangkat" jadi "penasihat." Jadi di rumah itu saja saya "ketahui" beberapa hal yang terjadi dari suara-suara luar yang datang. Mula-mula datang Abdullah S.P., itu penantang Hamka, waktu itu baru saja bekerja di sebuah surat kabar Islam yang baru diterbitkan, dan yang sekarang saya lupa namanya. Ia mengatakan merasa tidak aman dan hendak mengungsi ke tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi yang sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika datang ke rumah menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas ditutup karena keadaan tidak aman. Ia menyerahkan honor lipat dari biasanya. Beberapa hari kemudian datang pegawai dari pabrik pensil, juga menyerahkan honor, juga lipat dari biasanya, karena pabrik terpaksa ditutup, keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman yang memberitakan, rumah Aidit dibakar, demikian juga beberapa rumah lain. Ia juga memberitakan tentang cara massa bergerak. Mereka menyerang rumahtangga orang, kemudian datang para petugas berseragam yang tidak melindungi malah menangkap yang diserang. "Saya yakin Bung akan diperlakukan begitu juga," katanya. Soalnya apa dengan saya? tanyaku. "Kesalahan bung, karena bung tokoh." Itu saja? Tempatku di sini, kataku akhirnya.
Seorang penjahit, yang pernah dibisiki larangan menjahitkan pakaian saya oleh tetangga anggota PNI-- penjahit itu juga tetangga--menawarkan tempat aman pada saya nun di Brebes (kalau saya tidak salah ingat). Saya ucapkan terimakasih. Mengherankan betapa orang lain dapat melihat, keamananku dalam ancaman. Seorang teman lain datang dan menganjurkan agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya. Apa yang saya harus larikan? Diri saya? dan mengapa? Kemudian datang seorang pengarang termuda yang saya kenal. Biasanya ia langsung masuk ke belakang dan membuka sendiri lemari makan. Ia tidak mengulangi kebiasaannya. Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya masih ingat kata- kata yang saya ucapkan kepadanya: saya seorang diri dari dulu, kalau pengeroyok memang hendak datangi saya akan saya hadapi seorang diri; tempat saya di sini. Keadaan makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua bulan melahirkan. adalah tepat bila ia dan anak-anak untuk sementara menginap di rumah mertua. Papan nama saya, dari batu marmer, bertahun-tahun hanya tergeletak, sengaja saya pasang di tembok depan dengan lebih dahulu memahat tembok. Sebagai pernyataan: saya di sini, jangan nyasar ke alamat yang salah.
Di tempat lain isteri kedua mertua saya mengadakan selamatan untuk keselamatan saya. Sementara itu saya tetap tinggal di rumah menyiapkan ensiklopedi sastra Indonesia. Dalam keadaan lelah saya saya beralih mempelajari Hadits Bukori. di malam hari semua lampu saya padamkan dan saya duduk seorang diri di beranda. Teman saya hanya seorang, adik saya yang pulang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya, Koesalah Soebagyo Toer. Kemudian datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00. Tahu-tahu rumah saya sudah dikepung. Lampu pagar dari 200 watt--waktu tegangan hanya 110, namun dapat dianggap terlalu mewah untuk kehidupan kampung--saya nyalakan. Di depan pintu saya lihat orang lari menghindari cahaya. Mukanya bertopeng. Tangannya membawa pikar. Malam-malam, dengan topeng pula, langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu habis dirampoknya dari rumah yang habis diserbu. Saya tahu itu pikiran jahat. apa boleh buat karena suara- suara gencar memberitakan ke rumah, pihak militer mengangkuti anak-anak sekolah ke atas truk dan disuruh berteriak-teriak menentang Soekarno. Saya tidak pernah melihat sendiri. Saya percaya, karena pelda (atau peltu?) yang tinggal di depan rumah saya, sudah dua malam berturut- turut bicara keras di gang depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri, Soekarno sudah tidak ada artinya. Konon ia bekas KNIL. Malah pada malam kedua ia buka mulut keras-keras sambil mondar-mandir, dan saya merasa itu ditujukan pada saya, rokok kretek saya cabut dari bibir dan saya lemparkan padanya. Terdengar ia melompat sambil memekik. Jadi kalau saya punya pikiran jahat seperti itu bukan tidak pada tempatnya. Nah, setiap lampu pagar saya matikan, muncul gerombolan di depan pintu. Bila saya nyalakan lagi mereka lari. Jelas mereka muka -muka yang saya telah kenal. Tak lama kemudian batu-batu kali tetangga samping, yang dipersiapkan untuk membangun rumah, berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin dilemparkan oleh tenaga satu orang. Paling tidak dua orang dengan jalan membandulnya dengan sarung atau dengan lainnya. Kalau anak-anak saya masih di rumah, terutama bayi 2 bulan itu, saya tak dapat bayangkan apa yang bakal terjadi. Batu besar berjatuhan di dalam rumah menerobosi genteng dan langit-langit. Jadi benar-benar orang menghendaki kematian saya. Saya ambil tongkat pengepel dari kayu keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai kecil (pemberian Joebaar Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir saya, di sini, di tempat saya. Saya tahu, takkan mungkin dapat melawan satu gerombolan, tapi saya toh harus membela diri? Jalan kedua untuk bertahan adalah memberi gerombolan itu sesuatu yang mereka ingat seumur hidup: kata-kata yang lebih ampuh dari senjata.
Dengan suara cukup keras saya memekik: Ini yang kalian namai berjuang? Kalau hanya berjuang aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan begini caranya. Datang ke sini pemimpin kalian! Berjuang macam apa begini ini? Ingar-bingar terhenti. Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar batu kali menyambar paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang sekaligus hancur. Lemparan batu menjadi hebat kembali. Lampu pagar sengaja dihancurkan dengan lemparan juga. Saya dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja. Tetapi saya dengar juga suara orang tua tetangga sebelah kiri saya, seorang dukun cinta: jangan, jangan dibakar, nanti rumah saya ikut terbakar. Tak lama kemudian terdengar suara lagi: jangan lewat di tanah saya. Waktu saya lihat ke dalam rumah adik saya sudah tidak ada. Rupanya ia meloloskan diri dari pintu pagar belakang dan langsung memasuki tanah sang dukun cinta. Dan betul saja kata teman itu: kemudian datang orang- orang berseragam. Metode kerja yang kelak akan terus- menerus dapat dilihat. Mereka terdiri dari polisi dan militer. Saya belum lagi sempat menggunakan tongkat dan samurai saya, mereka belum lagi memasuki pekarangan rumah saya. Komandan militer operasi dan gerombolannya saya bukakan pintu. Mereka masuk dan langsung menyalahkan saya: sia- sia melawan rakyat. Kontan saya jawab: Gerombolan, bukan rakyat. Setelah mereka memeriksa seluruh rumah ia bilang lagi: Siapkan, pak mari kami amankan, segera pergi dari sini. Saya berteriak memanggil adik saya. Dia muncul, entah dari mana. Dijanjikan akan diamankan, saya siapkan naskah saya Gadis Pantai untuk diselesaikan dan mesin tulis. Pada seorang polisi dalam team itu saya bertanya: kenal saya? Kenal, pak. Tolong selamatkan semua kertas dan perpustakaan saya. di situ adalah perkerjaan Bung Karno (waktu itu saya belum sampai selesai menghimpun cerpen-cerpen Bung Karno, dan korespondensi Soekarno-Sartono-Thamrin masih belum memadai untuk diterbitkan). Dia berjanji untuk menyelamatkan.
Mereka giring kami berdua melalui gang. Gerombolan itu berjalan mengepung di samping dan belakang. Ada yang membawa tombak, keris, golok, belati. Benar, alat negara itu tidak menangkap gerombolan penyerbu, malah menangkap yang diserbu. Dan sebanyak itu dikerahkan untuk menumpas satu-dua orang. Hebat benar membikin momentum qua perjuangan. Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah, sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan menjerat leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan. Tali mati. Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan dibunuh semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan seperti ini. Lebih indah bila dengan bertarung di atas tanah tempat saya tinggal. Melewati jembatan depan rumahsakit umum pusat Koptu Sulaiman menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya palingkan kepala dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan tulang pipi. Saya memahami kemarahan nya, bukan padaku sebenarnya, tapi pada atasannya, karena tak boleh ikut memasuki rumah saya. Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru. Yang sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada perwira itu saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan diselamatkan. Kalau Pemerintah memang menghendaki agar diambil, tapi jangan dirusak. Ia menyanggupi. Dari situ kami dibawa memasuki sebuah kompleks perumahan yang saya tak tahu kompleks apa. Dari jendela nampak puncak emas Monas. Kemudian saya dapat mengenali rumah itu; hanya masuknya tidak berkelok- kelok melalui kompleks, tetapi langsung dari jalan raya, karena pada 1955 di ruang yang sama saya pernah menemui Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di penjara Bukitduri.
Piket mengambil semua yang saya bawa di tangan, naskah dan mesin tulis, juga samurai yang tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia tinggal seorang diri rolex saya dikembali kan, berpesan supaya jangan kelihatan, sembunyikan baik-baik. kami dipersilakan ke sebuah ruangan tempat di mana sudah menggeloyor di lantai beberapa orang. Seorang adalah Daryono dari suatu SB (entah SB apa) dan seorang perjaka jangkung tetangga sendiri. Piket yang mengembalikan jamtangan itu memasuki ruangan tempat kami tergolek di lantai. Di sebuah papantulis besar tertulis dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ dan menghapus tulisan itu sambil berguman: apa saja ini! Seorang bocah berpangkat kopral, bermuka manis, menghampiri dan menanyai ini-itu. Saya tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab dengan pukulan dan tempeleng, kemudian pergi. Kurang lebih dua jam kemudian saya lihat Nissan patrol datang dan menurun-nurunkan barang. Beberapa contoh ditaruh di atas meja di ruangan tempat kami menggeletak di lantai. Saya kenal benda-benda itu: kartotik file saya sendiri, dokumentasi potret sejarah, malah juga klise timah yang saya siapkan untuk saya pergunakan dalam jangka panjang. Saya jadi mengerti perpustakaan dan dokumentasi saya, jerih-payah selama lima belas tahun telah dibongkar, 5.000 jilid buku dan beberapa ton koleksi suratkabar. Angka-angka itu saya dapatkan dari sarjana perpustakaan yang sekitar dua tahun membantu saya.
Tangkapan-tangkapan baru terus berdatangan. Ada yang sudah tak bisa jalan dan dilemparkan ke lantai. Kemudian datang tangkapan yang langsung mengenali saya. Ia bertanya mengapa saya berlumuran darah. Baru waktu itu saya sadar kemejaku belang-bonteng kena darah sendiri, demikian juga celana, yang rupanya teriris batu kali yang dilemparkan. Dialah yang bercerita, semua kertas saya diangkuti militer. Massa menyerbu dan merampok apa saja yang ada, sampai-sampai mangga yang sedang sarat berbuah digoncang buahnya. Tak ada satu cangkir atau piring tersisa. Rumah bung tinggal jadi bolongan kosong blong. Jangan dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru yang teringat adalah satu kalimat dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal: Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita cukup rendah, memprihatinkan, kita perlu meningkatkannya. Saya juga teringat pada kata-kata lain lagi: Kalau kau mendapatkan kebiadaban, jangan beri kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia keadilan sebagai belasan. Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan. Di antara orang kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana orang tidak bisa dan tidak boleh ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika--saya sudah tidak ingat dari Mali, Ghana atau Pantai Gading--yang waktu naik mobil pertanyakan: Apa Nasakom itu mungkin? Apa itu bukan utopi? Saya jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan. Setiap waktu bom waktu kolonial bisa meletus. Itu kami tidak kehendaki. Nampaknya Nasakom sebagai kenyataan masih dalam pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom gagal? Bukankah itu berarti punahnya pemerintah sipil, karena Nasakom tersapu? Jawabku: Kami hanya bisa berusaha. Dia bilang lagi: Kalau Nasakom disapu, tidak akan lagi ada kekuatan nasionalis, agama maupun komunis! Dialog selanjutnya saya sudah tak ingat.
Pagi itu-itu diawali kedatangan serombongan wartawan Antara, tanpa sepatu, semua lututnya berdarah. Di antaranya paman saya sendiri, R. Moedigdo, yang saya tumpangi hampir 3,5 tahun semasa pendudukan Jepang. Dia pun tak terkecuali. Kemudian saya dengar, mereka baru datang dari tangsi CPM Guntur dan habis dipaksa merangkak di atas kerikil jalanan. Menyusul datang power. Orang- orang militer melempar-lemparkan tangkapan baru itu dari atas geladak dan terbanting ke tanah. Ruangan telah penuh- sesak dengan tangkapan baru, sampai di gang-gang. Itu berarti semakin banyak erangan dan rintihan. Di antaranya terdapat sejumlah wanita. Sedang gaung dari pers yang menyokong militer sudah sejak belum ditangkap, tak henti- hentinya menalu gendang untuk membangkitkan emosi rakyat terhadap PKI dan organisasi massanya: Gerwani di Lubangbuaya memotongi kemaluan para jendral dan melakukan tarian cabul dan semacamnya, tipikal buah pikiran orang yang tak pernah mempunyai cita-cita. Bulu kuduk berdiri bukan karena tak pernah menduga orang Indonesia bisa membuat kreasi begitu kejinya.
Kemudian datang waktu pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan, yang sepanjang jam, siang dan malam diisi oleh raungan dan pekikan. Juga dari mulut wanita. Memang ruang yang saya masuki waktu itu tidak seriuh biasanya. Alat-alat penyetrum tidak dikerahkan. Di pojokan seorang KKO bertampang Arab, hitam, tinggi dan langsing, dingan kaki bersepatu bot menginjak kaki telanjang yang diperiksanya. Dan di antara jari-jemari pemuda malang itu disisipi batang pensil dan tangan itu kemudian diremas si pemeriksa sambil tersenyum dan bertanya: Ada apa? Ada apa kok memekik? Di samping pemuda itu adalah saya, diperiksa oleh seorang letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan Adil. Di luar dugaan pemeriksaan terhadap saya tidak disertai penganiayaan seperti dideritakan pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa itu tenang dan sopan, dan mungkin cukup terpelajar dan beradab. Ia memulai dengan pertanyaan mengapa saya berdarah-darah. Jawab: terjatuh. Tapi itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan. Pertanyaan: Bagaimana pendapat tentang gerakan Untung? Jawab: tidak tahu sesuatu tentangnya. Pertanyaan: Apa membenarkan gerakan itu? Jawab: Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan- kenyataannya yang authentik mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan bisa menjawab pertanyaan itu.
Sebelum meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan dulu beberapa hal sebelum penangkapan saya. Pertama: sejak semula saya sependapat bahwa gerakan Untung, yang kemudian dinamai G-30S/PKI, adalah gerakan dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat itu tetap bertahan sampai sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim dalam Journal of Contemporary Asia. Berita-berita pengejaran dan pembunuhan semakin hari semakin banyak dan menekan. Kedua: seorang perwira intel pernah datang berkunjung khusus untuk menyampaikan, bahwa militer akan memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai tikus. Tiga: dua mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang baru dibangun, masih lengang, di sekitar kampus. Keempat: pemeriksaan terhadap para tangkapan berkisar pada dua hal, pertama keterlibatan dalam peristiwa Lubangbuaya, kedua keanggotaan Pemuda Rakyat dan PKI. Kelima: beberapa hari sebelum penangkapan seorang pegawai Balai Pustaka mengumumkan dalam harian Api Pancasila di Jakarta, bahwa saya adalah tokoh Pemuda Rakyat. Karena sebagai pelapor ia menyebutkan diri pegawai Balai Pustaka, jadi saya datang menemui direktur BP--waktu itu Hutasuhut, kalau saya tidak salah ingat--dan mengajukan protes karena BP dipergunakan sebagai benteng untuk menyebarkan informasi yang salah tentang saya. Direktur BP menolak protes saya. Pegawai yang menulis itu tinggal beberapa puluh langkah dari rumah saya. Dalam peristiwa plagiat Hamka ia pernah mengirimkan surat pembelaan untuk Hamka dan hanya sebagian daripadanya saya umumkan.
Dan memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk pendirian ranting Pemuda Rakyat. Tetapi itu bukan satu- satunya. Kalau sore ruangan belakang juga menjadi tempat taman kanak-kanak (reportase tentangnya pernah ditulis oleh Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak meleset mengingat). Setiap Kamis malam ruangan depan dipergunakan untuk tempat diskusi Grup diskusi Simpat Sembilan. Setiap pertemuan didahului dengan pemberitahuan pada kelurahan. Jadi tidak ada sesuatu yang dapat dituduhkan illegal. Keenam: seseorang menyampaikan pada saya, mungkin juga pada sejumlah orang lagi, kalau diperiksa adakan anggota PKI atau ormasnya, akui saja ya--tidak peduli benar atau tidak; soalnya mereka tidak segan-segan membikin orang jadi invalid seumur hidup untuk menjadi tidak berguna bagi dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya selanjutnya. Dan, tidak semua orang tsb., dapat saya sebut namanya, karena memang tidak mampu mengingat--hampir 20 tahun telah liwat. Jadi waktu pemeriksa menanyakan apakah saya anggota PKI, saya jawab ya. Pertanyaan: Apakah percaya negara ini akan jadi negara komunis? Jawab: Tidak dalam 40 tahun ini. Sebabnya?
Cuma itu sesungguhnya isi pemeriksaan pokok. Tetapi karena selama dalam penahanan itu harian Duta Masyarakat memberitakan reportase tentang penyerbuan gerombolan itu ke rumah saya dan rumah S. Rukiah Kertapati, di mana disebutkan di rumah saya ditemukan buku-buku curian dari musium pusat dan di rumah Rukiah setumpuk permata, jadi pemeriksaan berpusat pada soal pencurian tsb. Memang saya pernah meminjam satu beca majalah, harian dan buku dari musium pusat. Yang belum saya kembalikan adalah Door Duisternis to Licht Kartini dan harian Medan Prijaji tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun baik, akan bisa ditemukan, bahwa sumbangan saya ada 10 kali lebih banyak dari pada yang masih saya pinjam. Dengan demikian pemeriksaan selesai. Benar-tidaknya omongan saya ini dapat dicek pada proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada instansi yang berwenang. Bila ada selisih, soalnya karena waktunya sudah terlalu lama. Mungkin Bung bertanya dari mana saya tahu ada berita dalam Duta Masyarakat yang menuduh saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul seorang kapten di ruang tempat serombongan tahanan. Ia langsung mengenali saya, sebaliknya saya mengenal dia sebagai sersan di RTM tahun 1960. Ia bertubuh tinggi, berkulit langsat dan bibir atasnya suwing. Saya tak dapat mengingat namanya. Suatu malam ia kunjungi aku di kamar kapalselam (sel isolasi) di RTM itu. Banyak mengobrol, antara lain ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam Peristiwa Madiun. Pagi itu ternyata ia berpangkat kapten. Langsung ia bertanya di mana Sjam. Itu untuk pertama kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera membatalkan pertanyaanya dengan kata-kata: Ah, Pak Pram sastrawan, tentu tidak tahu siapa dia. Ramahnya luarbiasa, bawahannya diperintah kannya untuk mengambilkan kopi dan menyediakan veldbed untuk saya. Dan hanya perintah pertama yang dilaksanakan. Setelah ia pergi seorang sersan gemuk yang terkenal galak, dari Sulawesi, kalau tak salah ingat, juga seorang haji, memanggil saya dengan ramahnya dan menyuruh saya membaca Duta Masyarakat itu.
Nah Bung, setelah pemeriksaan satu rombongan dikirim ke CPM Guntur. Sebelum pergi saya minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik saya, karena baru saja datang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya. Ia luluskan permintaan saya, diketikkan surat pembebasan. Sebelum pergi ia saya titipi jam tangan saya, untuk dipergunakan belanja istri saya. Di Guntur hanya untuk didaftar dan dirampas apa yang ada dalam kantong para tangkapan. Sepatu sampai sikatgigi dan ikatpinggang. Waktu itu baru saya sadari di dalam kantong saya masih tersimpan honorarium dari Res Publika dan pabrik pensil. Semua dirampas dengan alasan: nanti dalam tahanan agar tidak dicuri temannya. Dari guntur kami dibawa ke Salemba. Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus tertekuk, tidak boleh berdiri tegak, setinggi para penangkap. Dalam pelataran- pelataran penjara itu nama dibaca satu-persatu oleh seorang militer. Waktu sampai pada giliran saya ia berhenti dan berseru: Lho, Pak Pram, di sini ketemu lagi? Peltu (atau pelda) itu adalah pengawal bersepedamotor yang mengawal sebuah sedan biru-tua dalam bulan November 1960 dari Peperti Peganggsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam sedan itu saya, setelah diminta "diwawancarai" oleh Sudharmono, mayor BC Hk. Dan peltu atau pelda di depanku Oktober 1965 itu adalah Rompis.
Sejak itu berkelanjutan perampasan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak sipil saya selama hampir 20 tahun ini. Dan Bung Keith, tidak satu orang pun dari kaum manikebuis itu terkena lecet, tidak kehilangan satu lembar kertas pun. Sampai sekarang pun mereka masih tetap hidup dalam andaian, sekiranya kaum kiri menang. Dari menara andaian itu mereka menghalalkan segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan, pembunuhan. Tetap hidup dalam kulit telur keamanan dan kebersihan, suci, anak baik-baik para orangtua, dan anak emas dewa kemenangan. Paling tidak sepuluh tahun lamanya saya melakukan kerjapaksa, mereka satu jam pun tidak pernah. Nampaknya mereka masih tidak rela melihat saya hidup keluar dari kesuraman. Waktu saya baru pulang dari Buru, banyak di antaranya yang memperlihatkan sikap manis. Bukan main. Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul keberingasan. Tentang A.K.M. sendiri pertama kali saya mengenalnya pada tahun 1946, di sebuah hotel di Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya sedang dalam sebuah missi militer. Ia datang ke hotel itu dan ngomong-ngomong dengan pemiliknya. Namanya tetap teringat, karena waktu itu ia redaktur majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut. Pertemuan kedua ialah di Balai Pustaka, waktu ia masih jadi pegawai Balai Pustaka yang dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan ia jadi sep saya dalam kantor yang sama--ya saya sebagai pegawai negeri dengan pengalaman semasa revolusi sama sekali tidak diakui, karena semua pegawainya bekas pegawai kekuasaan Belanda. Sewaktu ia hidup aman di Australia, ternyata ia masih dalam hidup dalam andaian, dan sebagaimana yang lain- lain tetap membiakkan pengalaman kecil-mengecil semasa Soekarno untuk jadi gabus apung dalam menyudutkan orang- orang semacam saya. Titik tolaknya tetap andaian. Semua tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara berdepan, dari dulu sampai detik saya menulis ini. Dalam pada itu yang dirampas dari saya sampai detik ini belum dikembalikan. Rumah saya diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat kapten sampai mayor atau letkol, bahkan bagian belakang disewakan pada orang lain. Itu pun hanya rumah kampung, namun punya nilai spiritual bagi keluarga dan saya sendiri. Barangkali ada gunanya saya ceritakan.
Saya mendirikannya pada tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak Honoraria seorang pengarang adalah 15 persen, langsung dipotong oleh penerbit. Waktu saya menyiarkan protes tentang tingginya pajak yang 15 persen, tidak lebih dari seminggu kemudian perdana menteri Djuanda menaikkannya jadi 20 persen, sama dengan pajak lotre. Maka juga pendirian rumah itu melalui ancang-ancang panjang. Kumpul-kumpul dulu kayu dari meter kubik pertama hingga sampai sepuluh dst. Saya merencanakan rumah berdinding bambu sesuai dengan kekuatan. Sepeda motor saya, BSA 500cc.--sepeda motor militer sebenarnya--juga dikurbankan. Tiba-tiba mertua lelaki datang dan mengecam: mengapa mesti bambu? Itu terlalu mahal biayanya. Menyusul perintah: tembok! Ternyata bukan asal perintah. Ia tinggalkan pada saya dua puluh ribu rupiah. Kalau sudah ada, kembalikan, katanya lagi. Maka jadilah rumah tembok yang terbagus di seluruh gang. Ternyata tidak sampai di situ ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti, seorang pengarang bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT. Teman-teman yang dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang tetap tidak percaya seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri. Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya janjikan pada ayah saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari penjara Belanda. yang saya lakukan lebih daripada apa yang saya janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya adalah rumah terbagus di seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding kayu jati. (Sekarang memang jati lebih mahal dari tembok).
Kami sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai tahun 1965 atau 7 tahun. Orang yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun. Iseng-iseng pernah saya tanyakan; jawabnya seenaknya: apa bisa membuktikan rumah itu bukan pemberian partai? Habis sampai di situ. Pada yang lain mendapat jawaban: jual saja rumah itu, separohnya berikan pada penghuninya. Dan saya bilang: saya tidak ada prasangka orang yang menghuni rumah saya itu dari golongan pelacur. Walhasil sampai sekarang tetap begitu saja. Baik, kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang saya alami. Saya sama sekali tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan semua pengalaman indrawi mau pun jiwai, bukan hanya sekedar modal, malah menjadi fondasi bagi seorang pengarang. Apa yang dialamai A.K.M. semasa Soekarno masih belum apa-apa dibandingkan yang saya alami. Peristiwa Kemayoran? Pada 1958 sepulang dari Konferensi Pengarang A- A di Tasykent lewat Tiongkok saya tidak diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa lewat Mandalay, Burma. Artinya, dengan kesulitan tak terduga. Sampai di Rangoon pihak Kedutaan RI tidak mau membantu memecahkan kesulitan saya. Apa boleh buat, tidak ada jalan bagi saya daripada mengancam akan memanggil para wartawan Rangoon dan Jawatan Imigrasi Burma, memberikan pernyataan, bahwa ada kedutaan yang tak mau mengurus warganegaranya yang terdampar. Mereka terpaksa mengurus saya sampai tiba di Jakarta. Dari Rangoon kemudian datang surat yang menuntut macam- macam. Saya hanya menjawab dengan caci-maki dengan tembusan pada menteri luarnegeri, waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu masih tersimpan dalam arsip. Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan hari saya menghadap Bung Karno untuk menyerahkan dokumen keputusan Konferensi di samping juga bingkisan dari Ketua Dewan Menteri Uzbekistan, Syaraf Rasyidov, kepadanya, disaksikan oleh beberapa orang, diantaranya Menteri Hanafi. Tak terduga dalam pertemuan itu terjadi sedikit pertikaian dengan Bung Karno. Ia memberi saya suatu instruksi dan saya menolak, karena sebagai pengarang saya punya porsi kerja sendiri. Pertikaian ini kemudian melarut, yang saya anggap wajar, sampai akhirnya atas perintah Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih keras di Cipinang, karena menentang PP 10. Hampir satu tahun dalam penjara, kemudian dilepaskan dalam satu rombongan dan dengan satu nafas dengan para pemberontak PRRI-Permesta sebagai hadiah terbebasnya Irian Barat. Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya Nasution itu-itu juga memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan pada angkatan perang dalam melawan PRRI di SumBar.
Penahanan 1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya. Bukan saya yang melakukan adalah kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama sekali tidak ada setitik pun keadilan di dalamnya. Saya merasa hanya menuliskan apa yang saya anggap saya ketahui, dan berdasarkan padanya pendapat saya sendiri. Dengan nama jelas, lengkap. Alamat saya pun jelas, bukan seekor keong yang setiap waktu dapat memindahkan rumahnya. Saya membutuhkan pengadilan. Dan itu tidak diberikan kepada saya. Dalam isolasi ketat di Cipinang saya kirimkan surat pada Bung Karno melalui Ngadino, kemudian mengganti nama jadi Armunanto, kepala redaksi Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk mendapat hukuman yang justified, entah sebagai pengacau, entahlah sebagai penipu. Setidak-tidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak meneruskannya, dengan alasan ada orang lain menyimpan tembusannya. Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya yakin surat itu masih tersimpan. Dapat Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa Soekarno masih tidak berarti dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri alami. Saya heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyatakan keheranannya mengapa namanya dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional. Terasa lucu dan naif, selama ia sendiri tidak punya kekuasaan untuk menentukannya. Katanya Lekra membakari bukunya? Saya baru tahu dari halaman itu. Mungkin Boen S. Oemarjati yang berhak memberi penjelasan. Di halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang mengagumkan tentang Taslim Ali. Saya sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan Intrabu. Jadi dalam gambaran saya orang yang "selalu menterornya dengan meletakkan pestol di atas meja" -nya itu adalah saya. Pramoedya Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan Muhammad tertanggal 28 November 1980 pada Sumartana mengatakan (hlm.3): "Achdiat pernah bercerita, bahwa Pram pernah datang ke Balai Pustaka dengan meletakkan pistol di meja." Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa yang saya temui dan saya teror? Kiranya, kalau Goenawan tak berandai- andai, A.K.M. sendiri yang berhak menjawab. Dalam alam kemerdekaan nasional memang pernah saya bersenjata api. Suatu hari dalam 1958. Bukan pestol, tapi parabellum. Tempat: dalam sebuah jeep dalam perjalanan antara Bayah dengan Cikotok. Saksi: seorang letnan angkatan darat. Ia membutuhkan bantuan saya untuk menyelidiki benar- tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan kesimpulan, bahwa semua itu omong kosong belaka. Mengapa bersenjata? Karena sebelumnya sebuah kendaraan umum telah dicegat DI, dibakar. Dan bangkainya masih nongkrong di pinggir jalan. Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik. Dan saya pun tidak pernah bisa diyakinkan ada orang datang untuk menteror Taslim Ali. Apa yang bisa didapatkan dari dia? Sebaiknya A.K.M. menyebut jelas siapa nama penteror itu.
Di halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis bahwa: "di depan rumahnya saya sempat menyusukan selembar 10 ribu rupiah ke dalam kepalannya. Dia agaknya begitu terharu, sehingga nampak matanya basah tergenang," dan "saya tahu Pram tentu butuh duit ketika itu." Memang agak janggal menampilkan saya saya semacam itu. Pada waktu itu saya tidak dapat dikatakan dalam kesulitan keuangan. Segera setelah pulang dari Buru sejumlah bekas tahanan Buru datang pada saya minta dibantu memecahkan kesulitan mereka mencari penghidupan. Memang pihak gereja telah banyak membantu, dan saya menghormati dan menghargai jasanya pada mereka dengan tulus. Tetapi selama status dan namanya bantuan barang tentu tidak mencukupi kebutuhan apalagi untuk keluarganya. Jadi saya dirikan sebuah PT pemborong bangunan, sebuah usaha yang bisa menampung banyak tenaga. Pada waktu A.K.M. datang ke rumah telah 36 orang ditampung, sebagian berkeluarga. Tidak kurang dari 5 rumah dikerjakan, di antara 2 rumah mewah. Ada di antara mereka menumpang ada saya. Usaha ini telah dapat memberi hidup (terakhir) 60 orang dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu? Beberapa kali datang intel, yang dengan lisan mengatakan, rumah saya jadi tempat berkumpul tapol. Beberapa orang dari kantor kotapraja memberi ultimatum untuk menyediakan uang sekian ratus ribu dalam sekian hari. Seseorang datang dan mengibar-ngibarkan kartu identitasnya sebagai intel Hankam. Seorang datang mengaku sebagai pegawai sospol Depdag dengan tambahan keterangan, teman-temannya orang Batak banyak, dan orang tidak selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan mereka. Itu yang datang dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak kalah banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata sudah surut tenaganya karena tua. Mereka belum terbiasa dengan teknik baru pembangunan rumah sekarang. Mereka tidak terbiasa dengan material baru dan pengerjaannya. Di samping itu kerjapaksa berbelas tahun tanpa imbalan tanpa penghargaan, setiap hari terancam hukuman, telah berhasil merusakkan mental sebagian dari mereka.
Dalam pekerjaan yang mereka hadapi mereka tidak berbekal ketrampilan vak. Sedang impian berbelas tahun dalam posisinya sebagai budak-budak Firaun adalah terlalu indah. Seorang yang di Buru mempunyai setiakawan begitu tinggi dan diangkat jadi kepala kerja, kemudian lari membawa uang, dan bukan sedikit. Seorang yang relatif masih muda, suatu malam datang dengan membawa truk dan mengangkuti material bangunan yang telah tersedia dan menjualnya di tempat lain dengan harga rendah untuk dirinya sendiri. Seorang lagi yang juga tergolong muda, sama sekali tanpa ketrampilan tukang, mendadak mengorganisasi pemogokan dengan tuntutan berlipat dari hasil kerjanya. Pick-up Luv Chevrolet, sumbangan teman- teman Savitri, dalam 3 bulan sudah berban gundul dan penyok-penyok. Pukulan lain yang tak kurang menyulitkan datang. Memang sudah diselesaikan sekitar 8 rumah dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua di antara yang dibangunkan rumahnya tidak mau melunasi kewajibannya, mengetahui kedudukan hukum kami lemah. Berkali-kali Savitri minta pertanggungjawaban atas bantuan teman-temannya yang diberikan. Saya tak mampu lakukan itu. Tidak lain dari saya sendiri yang akan merasa malu, dan semua harus saya telan sendiri. Akhirnya saya perintahkan pembubaran PT itu tanpa pernah memberikan pertanggungjawaban pada teman- teman Savitri.
Nah Bung, seperti itu situasi waktu terima selembar sepuluh ribu itu, yang sama sekali tidak pernah saya kira akan dipergunakan oleh A.K.M. untuk memperindah gambaran tentang dirinya. Semua kebaikan tidak akan sia-sia memang bila tidak berpamrih. Dengan pamrih pun tentu saja tidak mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang sadar pasti mempunyai motif. Tetapi bila pemberian dipergunakan sebagai investasi, yang setiap waktu dikutip ribanya, sekalipun hanya riba moril, itu memang betul-betul investasi, bukan pemberian. Dan siapa di dunia ini tidak pernah menerima? Waktu saya baru datang dari Buru dan sejumlah orang yang datang hanya untuk bersumbang. Jumlahnya dari 60 sampai 100 ribu, di antaranya 3 mesin tulis, yang tiga-tiganya langsung diteruskan untuk tapol yang lebih memerlukan. Demikian juga halnya dengan uang pemberian. Saya pribadi praktis tidak ada uang dalam kantong. Itu akan kelihatan bila berada di luar rumah. Di Buru pun ada sejumlah pemberi, dari lingkungan dalam dan luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu. Dalam keadaan sulit di Buru pun orang normal tidak bisa tinggal jadi penerima saja. Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi keperluan tulis-menulis saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali berturut satu kardus besar berisi kacamata, dan pakaian untuk saya pribadi. (Sampai sekarang saya simpan.) Maksud saya hanya untuk menerangkan, pada bangsa-bangsa terkebelakang, atau menurut redaksi baru bangsa-bangsa yang berkembang, memberi adalah keluarbiasaan dan menerima adalah kebiasaan yang perlu dinyatakan.
Jangan dikira saya menulis demikian dengan emosi. Tidak. Suatu dialog bagi saya tetap lebih menyenangkan daripada monolog. Setidak-tidaknya dialog adalah pencerminan jiwa demokratis. Tetapi ucapan all forgiven and forgotten atau we've forgiven but not forgotten, benar- benar produk megalomaniak yang disebabkan mendadak bisa melesat dari kompleks inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar dirinya. Tentang Pancasila di hlm. 6, saya takkan banyak bicara kecuali menyarankan untuk membuka-buka kembali pers Indonesia semasa Soekarno, khususnya sekitar sebab mengapa presiden RI membubarkan konstituante itu. Golongan mana yang menolak dan mana yang menerima Pancasila sebelum dapat interpretasi atau pun revisi, formal ataupun non- formal.
Dalam hubungan ini saya teringat pada ucapan Nyoto, kalau tidak salah di alun-alun Klaten pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan pada suatu golongan masyarakat (saya takkan mungkin mampu mereproduksi redaksinya) yang membaca kalimat-kalimat Pancasila menjadi: Satu, Ketuhanan yang Maha Esa; Dua, Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan yang Maha Esa; Empat, Ketuhanan yang Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan yang Maha Esa. Dia tidak dalam keadaan bergurau. Selama 14 tahun dalam tahanan ucapan Nyoto bukan saja menjadi kebenaran, lebih dari itu. Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih tepatnya dengan istilah orde baru santiaji, orang tidak menyinggung sila-sila lain sesudah sila pertama, kalau menyinggung pun hanya sekedar penyumbat botol kosong: beragama dan tidak beragama berarti sembahyang. Tidak bersembahyang berarti tidak pancasilais, bisa juga anti-pancasila. Ya, buntut panjang itu rupanya diperlukan untuk menterjemahkan alam pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak mampu membebaskan diri dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan, pangkat dan tanda-tandanya--dan bagi suku Jawa cukup lengkap di dideretkan dalam sastra wayang.
Berdasarkan pengalaman sendiri saya dapat katakan: Revolusi Indonesia tidak digerakkan oleh Pancasila; ia digerakkan oleh patriotisme dan nasionalisme. Baru pada 1946 saya pernah mendapat tugas untuk memberi penerangan tentang Pancasila dan PBB kepada pasukan. Selanjutnya tetap tidak ada pertautan antara Pancasila dengan Revolusi. Saya menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang ia yakini, sekali pun dengan Pancasila itu juga orang- orang sejenis kami di-buru-kan sampai 10 tahun, dan A.K.M. tidak pernah melakukan sesuatu protes. Dan pertanyaan kemudian, apakah ia tetap berpandangan demikian--artinya tak perlu melaksanakannya dalam praktek--pada waktu kepentingan dan keselamatan jiwanya terancam? Bicara di lingkungan aman memang lebih mudah untuk siapapun, dan: tanpa pembuktian. Dalam hubungan Pancasila dengan demokrasi barat di hlm. 7 sebagai pesan A.K.M. pada rekan-rekannya sarjana Australia saya mempunyai kisah.
Pada 1984, Mr. Moh. Roem terkena serangan jantung dan dirawat di RSCM. Seorang dokter menjemput saya, mengatakan, Pak Roem menginginkan kedatangan saya. Saya tak pernah mengkaji apakah itu keinginan Pak Roem atau ambisi si dokter itu saja. Langsung saya berangkat bersama dengannya. Di ruang itu Pak Roem tidur dalam keadaan masih dihubungkan pada alat pengontrol jantung. Penjemput saya langsung menemani perawat sehingga hanya kami berdua di situ tanpa saksi. Menghadapi orang dalam keadaan gawat tentu saja saya tidak bicara apa-apa. hanya beliau yang bicara sampai lelah, sebagai pertanda saya harus mengundurkan diri untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan sendiri. Terlalu banyak yang disampaikannya pada saya untuk orang dalam keadaan gawat seperti itu. Satu hal yang berhubungan dengan Pancasila dan demokrasi Barat, dan beliau sebagai ahli hukum, adalah: 50 + 1? Ya, biar begitu perlu dipertimbangkan dengan adil, tidak seperti selama ini dinilai. Dalam sejarah kita telah dibuktikan, bahwa kesatuan Indonesia terwujud hanya karena demokrasi parlementer Barat.
Nah, Bung Keith, inti persoalan dengan kaum manikebu cukup jelas: saya menggunakan hak saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang juga ada pada kaum manikebu. Omong kosong bila dikatakan pada waktu itu mereka tak punya media untuk menerbitkan sanggahan. Waktu sekarang, waktu secara formal hak sanggah melalui mass media tidak ada, saya tetap menyanggah dengan berbagai cara yang mungkin, kalau memang ada yang perlu disanggah. Sedang ucapan Pak Roem tsb., ternyata adalah pesan politik terakhir. Beberapa minggu kemudian beliau meninggal dunia. Saya belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan, hanya di luar hubungan dengan surat terbuka Achdiat K. Mihardja.
Tak lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari M.L., yang intinya tepat suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja saya mendapat kesan kuat, pembicaraan kita Bung teruskan padanya. Terima kasih, bahwa hal-hal yang tidak jelas sudah dibikin terang olehnya. Untuk tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam persoalan khusus ataupun umum ada manfaatnya saya sampaikan bahwa saya menyetujui kehidupan bipoler. Saya membenarkan adanya dua superpower, bukan saja sebagai kenyataan, juga sebagai pernyataan makro nurani politik ummat manusia. Kalau hanya ada satu superpower akibatnya seluruh dunia akan jadi bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya dan kekuatan tidak, kekuasaan dan opposisi. Dalam tingkat nasional saya menyetujui kehidupan bipoler. Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau tidak, rakyat akan jadi bebek pengambang, dengan kepribadian tidak berkembang. Demokrasi dengan opposisi adalah juga pernyataan makro nurani politik nasional. Dia adalah juga pencerminan mikro nurani pribadi manusia, yang tindakannya ditentukan oleh ya atau tidak. Hewan dengan serba naluri tak memerlukan nurani. Ia tak mengenal ya ataupun tidak.
Semoga surat kelewat panjang ini--lebih tepat usaha pendokumentasian diri sendiri--ada manfaatnya. Saya tidak ada keberatan bila diperbanyak. Salam pada semua yang saya kenal, juga pada M.L. dan Savitri yang pernah saya kecewakan. Belakangan ini kesehatan saya agak membaik. Soalnya saya menggunakan ramuan tradisional yang ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan melalui tes urine dengan benedict kadar gula yang positif dalam 24 jam dapat menjadi negatif, yang tidak dapat saya peroleh melalui sport dan kerja badan selama 2 minggu. Salam hangat untuk Bung sendiri dan keluarga. Tetap (tanda tangan).
Dari Demi Demokrasi 2 (1985) an English translation is in Indonesia Reports, cultural and social supplement (August 1986). Gambar/Foto dari www.wikipedia.com
Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. Terimakasih. Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang Pram. Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.: "All forgotten and forgiven" dan revisiannya: "We've forgiven but not forgotten." Saya hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan Bung sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik--di sini Indonesia--bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu prosedur nasional dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi kemerdekaan. Tak seorang pun di antara para manikebuis pernah menyatakan simpati--jangan bayangkan protes--pada lawannya yang dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap seniman nasional Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang. Di mana itu pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo sanak, yo kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah-- masih menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego patine.
Masalah pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua pendapat; revolusi sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah masalah ikutan daripadanya. Saya sendiri berpendapat, memang belum selesai. Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi Indonesia. Karena memang belum ada distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan yang selesai. Maka para sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional cenderung dinamai dan dibatasi sebagai perang kemerdekaan. Pertentangan manikebu dan pihak kami dulu tidak lain cuma soal polemik. Memang keras, tapi tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang satu jalan untuk mendapatkan kebenaran umum, yang bisa diterima oleh umum? Bahwa pada waktu itu terjadi teror yang dilakukan oleh orang-orang Lekra sebagaimana dituduhkan sekarang, betul- betul saya belum bisa diyakinkan. Beb Vuyk dalam koran Belanda menuduh: teror telah dilakukan orang-orang Lekra terhadap beberapa orang, antaranya Bernard IJzerdraad. Waktu ia datang ke Indonesia dan menemuinya sendiri, IJzerdraad menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak pernah mengkoreksi tulisannya. Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia setelah kegagalan pemberontakan PRRI-Permesta, kemudian minta kewarganegaraan Belanda. Mungkin ia merasa begitu pentingnya bagi Indonesia sehingga dalam usianya yang sudah lanjut merasa berkepentingan untuk mendirikan kebohongan terutama untuk menyudutkan saya. pada hal dalam polemik-polemik tsb. saya hanya menggunakan hak saya sebagai warganegara merdeka untuk menyatakan pendapat. Dan saya sadari hak saya. Seperti sering kali saya katakan: kewarganegaraan saya peroleh dengan pergulatan bukan hadiah gratis.
Dan apa sesungguhnya kudeta gagal G-30S/PKI itu? Saya sendiri tidak tahu. Sekitar tanggal 24 bulan lalu saya menerima fotokopi dari seorang wartawan politik Eropa dari Journal of Contemporary Asia, tanpa nomor dan tanpa tahun, berjudul: "Who's Plot--New Light on the 1965 Events," karangan W.F. Wertheim. Itulah untuk pertama kali saya baca uraian dari orang yang tak berpihak. Juga itu informasi pertama setelah 20 tahun belakangan ini. Rupa-rupanya karena ketidaktahuan saya itu saya harus dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2 bulan + hampir 6 tahun tahanan kota (tanpa pernyataan legal), tanpa pernah melihat dewan hakim yang mendengarkan pembelaan saya. Memang sangat mahal harga kewarganegaraan yang harus saya bayar. Maka juga kewarganegaraan saya saya pergunakan semaksimal mungkin. Itu pun masih ada saja orang yang tidak rela. Juga surat pada Bung ini saya tulis dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan saya.
Sekarang akan saya tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada di Indonesia waktu meletus peristiwa 1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami. Saya akan ceritakan sejauh saya alami sendiri, untuk tidak membuat terlalu banyak kesalahan. Pada 1 Oktober 1965 pagihari saya dengar dari radio adanya gerakan Untung. Kemudian berita tentang susunan nama Dewan Revolusi. Sebelum itu pengumuman naik pangkat para prajurit yang ikut dalam gerakan Untung dan penurunan pangkat bagi mereka yang jadi perwira di atas letkol. Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok belum-belum sudah mengurusi pangkat? Ini gerakan apa, oleh siapa? Saya lebih banyak di rumah daripada tidak. Kerja rutine ke luar rumah adalah dalam rangka menyiapkan Lentera dan mengajar pada Res Publika. Dan sangat kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya "diangkat" jadi "penasihat." Jadi di rumah itu saja saya "ketahui" beberapa hal yang terjadi dari suara-suara luar yang datang. Mula-mula datang Abdullah S.P., itu penantang Hamka, waktu itu baru saja bekerja di sebuah surat kabar Islam yang baru diterbitkan, dan yang sekarang saya lupa namanya. Ia mengatakan merasa tidak aman dan hendak mengungsi ke tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi yang sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika datang ke rumah menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas ditutup karena keadaan tidak aman. Ia menyerahkan honor lipat dari biasanya. Beberapa hari kemudian datang pegawai dari pabrik pensil, juga menyerahkan honor, juga lipat dari biasanya, karena pabrik terpaksa ditutup, keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman yang memberitakan, rumah Aidit dibakar, demikian juga beberapa rumah lain. Ia juga memberitakan tentang cara massa bergerak. Mereka menyerang rumahtangga orang, kemudian datang para petugas berseragam yang tidak melindungi malah menangkap yang diserang. "Saya yakin Bung akan diperlakukan begitu juga," katanya. Soalnya apa dengan saya? tanyaku. "Kesalahan bung, karena bung tokoh." Itu saja? Tempatku di sini, kataku akhirnya.
Seorang penjahit, yang pernah dibisiki larangan menjahitkan pakaian saya oleh tetangga anggota PNI-- penjahit itu juga tetangga--menawarkan tempat aman pada saya nun di Brebes (kalau saya tidak salah ingat). Saya ucapkan terimakasih. Mengherankan betapa orang lain dapat melihat, keamananku dalam ancaman. Seorang teman lain datang dan menganjurkan agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya. Apa yang saya harus larikan? Diri saya? dan mengapa? Kemudian datang seorang pengarang termuda yang saya kenal. Biasanya ia langsung masuk ke belakang dan membuka sendiri lemari makan. Ia tidak mengulangi kebiasaannya. Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya masih ingat kata- kata yang saya ucapkan kepadanya: saya seorang diri dari dulu, kalau pengeroyok memang hendak datangi saya akan saya hadapi seorang diri; tempat saya di sini. Keadaan makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua bulan melahirkan. adalah tepat bila ia dan anak-anak untuk sementara menginap di rumah mertua. Papan nama saya, dari batu marmer, bertahun-tahun hanya tergeletak, sengaja saya pasang di tembok depan dengan lebih dahulu memahat tembok. Sebagai pernyataan: saya di sini, jangan nyasar ke alamat yang salah.
Di tempat lain isteri kedua mertua saya mengadakan selamatan untuk keselamatan saya. Sementara itu saya tetap tinggal di rumah menyiapkan ensiklopedi sastra Indonesia. Dalam keadaan lelah saya saya beralih mempelajari Hadits Bukori. di malam hari semua lampu saya padamkan dan saya duduk seorang diri di beranda. Teman saya hanya seorang, adik saya yang pulang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya, Koesalah Soebagyo Toer. Kemudian datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00. Tahu-tahu rumah saya sudah dikepung. Lampu pagar dari 200 watt--waktu tegangan hanya 110, namun dapat dianggap terlalu mewah untuk kehidupan kampung--saya nyalakan. Di depan pintu saya lihat orang lari menghindari cahaya. Mukanya bertopeng. Tangannya membawa pikar. Malam-malam, dengan topeng pula, langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu habis dirampoknya dari rumah yang habis diserbu. Saya tahu itu pikiran jahat. apa boleh buat karena suara- suara gencar memberitakan ke rumah, pihak militer mengangkuti anak-anak sekolah ke atas truk dan disuruh berteriak-teriak menentang Soekarno. Saya tidak pernah melihat sendiri. Saya percaya, karena pelda (atau peltu?) yang tinggal di depan rumah saya, sudah dua malam berturut- turut bicara keras di gang depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri, Soekarno sudah tidak ada artinya. Konon ia bekas KNIL. Malah pada malam kedua ia buka mulut keras-keras sambil mondar-mandir, dan saya merasa itu ditujukan pada saya, rokok kretek saya cabut dari bibir dan saya lemparkan padanya. Terdengar ia melompat sambil memekik. Jadi kalau saya punya pikiran jahat seperti itu bukan tidak pada tempatnya. Nah, setiap lampu pagar saya matikan, muncul gerombolan di depan pintu. Bila saya nyalakan lagi mereka lari. Jelas mereka muka -muka yang saya telah kenal. Tak lama kemudian batu-batu kali tetangga samping, yang dipersiapkan untuk membangun rumah, berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin dilemparkan oleh tenaga satu orang. Paling tidak dua orang dengan jalan membandulnya dengan sarung atau dengan lainnya. Kalau anak-anak saya masih di rumah, terutama bayi 2 bulan itu, saya tak dapat bayangkan apa yang bakal terjadi. Batu besar berjatuhan di dalam rumah menerobosi genteng dan langit-langit. Jadi benar-benar orang menghendaki kematian saya. Saya ambil tongkat pengepel dari kayu keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai kecil (pemberian Joebaar Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir saya, di sini, di tempat saya. Saya tahu, takkan mungkin dapat melawan satu gerombolan, tapi saya toh harus membela diri? Jalan kedua untuk bertahan adalah memberi gerombolan itu sesuatu yang mereka ingat seumur hidup: kata-kata yang lebih ampuh dari senjata.
Dengan suara cukup keras saya memekik: Ini yang kalian namai berjuang? Kalau hanya berjuang aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan begini caranya. Datang ke sini pemimpin kalian! Berjuang macam apa begini ini? Ingar-bingar terhenti. Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar batu kali menyambar paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang sekaligus hancur. Lemparan batu menjadi hebat kembali. Lampu pagar sengaja dihancurkan dengan lemparan juga. Saya dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja. Tetapi saya dengar juga suara orang tua tetangga sebelah kiri saya, seorang dukun cinta: jangan, jangan dibakar, nanti rumah saya ikut terbakar. Tak lama kemudian terdengar suara lagi: jangan lewat di tanah saya. Waktu saya lihat ke dalam rumah adik saya sudah tidak ada. Rupanya ia meloloskan diri dari pintu pagar belakang dan langsung memasuki tanah sang dukun cinta. Dan betul saja kata teman itu: kemudian datang orang- orang berseragam. Metode kerja yang kelak akan terus- menerus dapat dilihat. Mereka terdiri dari polisi dan militer. Saya belum lagi sempat menggunakan tongkat dan samurai saya, mereka belum lagi memasuki pekarangan rumah saya. Komandan militer operasi dan gerombolannya saya bukakan pintu. Mereka masuk dan langsung menyalahkan saya: sia- sia melawan rakyat. Kontan saya jawab: Gerombolan, bukan rakyat. Setelah mereka memeriksa seluruh rumah ia bilang lagi: Siapkan, pak mari kami amankan, segera pergi dari sini. Saya berteriak memanggil adik saya. Dia muncul, entah dari mana. Dijanjikan akan diamankan, saya siapkan naskah saya Gadis Pantai untuk diselesaikan dan mesin tulis. Pada seorang polisi dalam team itu saya bertanya: kenal saya? Kenal, pak. Tolong selamatkan semua kertas dan perpustakaan saya. di situ adalah perkerjaan Bung Karno (waktu itu saya belum sampai selesai menghimpun cerpen-cerpen Bung Karno, dan korespondensi Soekarno-Sartono-Thamrin masih belum memadai untuk diterbitkan). Dia berjanji untuk menyelamatkan.
Mereka giring kami berdua melalui gang. Gerombolan itu berjalan mengepung di samping dan belakang. Ada yang membawa tombak, keris, golok, belati. Benar, alat negara itu tidak menangkap gerombolan penyerbu, malah menangkap yang diserbu. Dan sebanyak itu dikerahkan untuk menumpas satu-dua orang. Hebat benar membikin momentum qua perjuangan. Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah, sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan menjerat leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan. Tali mati. Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan dibunuh semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan seperti ini. Lebih indah bila dengan bertarung di atas tanah tempat saya tinggal. Melewati jembatan depan rumahsakit umum pusat Koptu Sulaiman menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya palingkan kepala dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan tulang pipi. Saya memahami kemarahan nya, bukan padaku sebenarnya, tapi pada atasannya, karena tak boleh ikut memasuki rumah saya. Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru. Yang sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada perwira itu saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan diselamatkan. Kalau Pemerintah memang menghendaki agar diambil, tapi jangan dirusak. Ia menyanggupi. Dari situ kami dibawa memasuki sebuah kompleks perumahan yang saya tak tahu kompleks apa. Dari jendela nampak puncak emas Monas. Kemudian saya dapat mengenali rumah itu; hanya masuknya tidak berkelok- kelok melalui kompleks, tetapi langsung dari jalan raya, karena pada 1955 di ruang yang sama saya pernah menemui Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di penjara Bukitduri.
Piket mengambil semua yang saya bawa di tangan, naskah dan mesin tulis, juga samurai yang tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia tinggal seorang diri rolex saya dikembali kan, berpesan supaya jangan kelihatan, sembunyikan baik-baik. kami dipersilakan ke sebuah ruangan tempat di mana sudah menggeloyor di lantai beberapa orang. Seorang adalah Daryono dari suatu SB (entah SB apa) dan seorang perjaka jangkung tetangga sendiri. Piket yang mengembalikan jamtangan itu memasuki ruangan tempat kami tergolek di lantai. Di sebuah papantulis besar tertulis dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ dan menghapus tulisan itu sambil berguman: apa saja ini! Seorang bocah berpangkat kopral, bermuka manis, menghampiri dan menanyai ini-itu. Saya tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab dengan pukulan dan tempeleng, kemudian pergi. Kurang lebih dua jam kemudian saya lihat Nissan patrol datang dan menurun-nurunkan barang. Beberapa contoh ditaruh di atas meja di ruangan tempat kami menggeletak di lantai. Saya kenal benda-benda itu: kartotik file saya sendiri, dokumentasi potret sejarah, malah juga klise timah yang saya siapkan untuk saya pergunakan dalam jangka panjang. Saya jadi mengerti perpustakaan dan dokumentasi saya, jerih-payah selama lima belas tahun telah dibongkar, 5.000 jilid buku dan beberapa ton koleksi suratkabar. Angka-angka itu saya dapatkan dari sarjana perpustakaan yang sekitar dua tahun membantu saya.
Tangkapan-tangkapan baru terus berdatangan. Ada yang sudah tak bisa jalan dan dilemparkan ke lantai. Kemudian datang tangkapan yang langsung mengenali saya. Ia bertanya mengapa saya berlumuran darah. Baru waktu itu saya sadar kemejaku belang-bonteng kena darah sendiri, demikian juga celana, yang rupanya teriris batu kali yang dilemparkan. Dialah yang bercerita, semua kertas saya diangkuti militer. Massa menyerbu dan merampok apa saja yang ada, sampai-sampai mangga yang sedang sarat berbuah digoncang buahnya. Tak ada satu cangkir atau piring tersisa. Rumah bung tinggal jadi bolongan kosong blong. Jangan dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru yang teringat adalah satu kalimat dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal: Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita cukup rendah, memprihatinkan, kita perlu meningkatkannya. Saya juga teringat pada kata-kata lain lagi: Kalau kau mendapatkan kebiadaban, jangan beri kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia keadilan sebagai belasan. Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan. Di antara orang kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana orang tidak bisa dan tidak boleh ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika--saya sudah tidak ingat dari Mali, Ghana atau Pantai Gading--yang waktu naik mobil pertanyakan: Apa Nasakom itu mungkin? Apa itu bukan utopi? Saya jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan. Setiap waktu bom waktu kolonial bisa meletus. Itu kami tidak kehendaki. Nampaknya Nasakom sebagai kenyataan masih dalam pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom gagal? Bukankah itu berarti punahnya pemerintah sipil, karena Nasakom tersapu? Jawabku: Kami hanya bisa berusaha. Dia bilang lagi: Kalau Nasakom disapu, tidak akan lagi ada kekuatan nasionalis, agama maupun komunis! Dialog selanjutnya saya sudah tak ingat.
Pagi itu-itu diawali kedatangan serombongan wartawan Antara, tanpa sepatu, semua lututnya berdarah. Di antaranya paman saya sendiri, R. Moedigdo, yang saya tumpangi hampir 3,5 tahun semasa pendudukan Jepang. Dia pun tak terkecuali. Kemudian saya dengar, mereka baru datang dari tangsi CPM Guntur dan habis dipaksa merangkak di atas kerikil jalanan. Menyusul datang power. Orang- orang militer melempar-lemparkan tangkapan baru itu dari atas geladak dan terbanting ke tanah. Ruangan telah penuh- sesak dengan tangkapan baru, sampai di gang-gang. Itu berarti semakin banyak erangan dan rintihan. Di antaranya terdapat sejumlah wanita. Sedang gaung dari pers yang menyokong militer sudah sejak belum ditangkap, tak henti- hentinya menalu gendang untuk membangkitkan emosi rakyat terhadap PKI dan organisasi massanya: Gerwani di Lubangbuaya memotongi kemaluan para jendral dan melakukan tarian cabul dan semacamnya, tipikal buah pikiran orang yang tak pernah mempunyai cita-cita. Bulu kuduk berdiri bukan karena tak pernah menduga orang Indonesia bisa membuat kreasi begitu kejinya.
Kemudian datang waktu pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan, yang sepanjang jam, siang dan malam diisi oleh raungan dan pekikan. Juga dari mulut wanita. Memang ruang yang saya masuki waktu itu tidak seriuh biasanya. Alat-alat penyetrum tidak dikerahkan. Di pojokan seorang KKO bertampang Arab, hitam, tinggi dan langsing, dingan kaki bersepatu bot menginjak kaki telanjang yang diperiksanya. Dan di antara jari-jemari pemuda malang itu disisipi batang pensil dan tangan itu kemudian diremas si pemeriksa sambil tersenyum dan bertanya: Ada apa? Ada apa kok memekik? Di samping pemuda itu adalah saya, diperiksa oleh seorang letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan Adil. Di luar dugaan pemeriksaan terhadap saya tidak disertai penganiayaan seperti dideritakan pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa itu tenang dan sopan, dan mungkin cukup terpelajar dan beradab. Ia memulai dengan pertanyaan mengapa saya berdarah-darah. Jawab: terjatuh. Tapi itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan. Pertanyaan: Bagaimana pendapat tentang gerakan Untung? Jawab: tidak tahu sesuatu tentangnya. Pertanyaan: Apa membenarkan gerakan itu? Jawab: Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan- kenyataannya yang authentik mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan bisa menjawab pertanyaan itu.
Sebelum meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan dulu beberapa hal sebelum penangkapan saya. Pertama: sejak semula saya sependapat bahwa gerakan Untung, yang kemudian dinamai G-30S/PKI, adalah gerakan dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat itu tetap bertahan sampai sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim dalam Journal of Contemporary Asia. Berita-berita pengejaran dan pembunuhan semakin hari semakin banyak dan menekan. Kedua: seorang perwira intel pernah datang berkunjung khusus untuk menyampaikan, bahwa militer akan memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai tikus. Tiga: dua mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang baru dibangun, masih lengang, di sekitar kampus. Keempat: pemeriksaan terhadap para tangkapan berkisar pada dua hal, pertama keterlibatan dalam peristiwa Lubangbuaya, kedua keanggotaan Pemuda Rakyat dan PKI. Kelima: beberapa hari sebelum penangkapan seorang pegawai Balai Pustaka mengumumkan dalam harian Api Pancasila di Jakarta, bahwa saya adalah tokoh Pemuda Rakyat. Karena sebagai pelapor ia menyebutkan diri pegawai Balai Pustaka, jadi saya datang menemui direktur BP--waktu itu Hutasuhut, kalau saya tidak salah ingat--dan mengajukan protes karena BP dipergunakan sebagai benteng untuk menyebarkan informasi yang salah tentang saya. Direktur BP menolak protes saya. Pegawai yang menulis itu tinggal beberapa puluh langkah dari rumah saya. Dalam peristiwa plagiat Hamka ia pernah mengirimkan surat pembelaan untuk Hamka dan hanya sebagian daripadanya saya umumkan.
Dan memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk pendirian ranting Pemuda Rakyat. Tetapi itu bukan satu- satunya. Kalau sore ruangan belakang juga menjadi tempat taman kanak-kanak (reportase tentangnya pernah ditulis oleh Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak meleset mengingat). Setiap Kamis malam ruangan depan dipergunakan untuk tempat diskusi Grup diskusi Simpat Sembilan. Setiap pertemuan didahului dengan pemberitahuan pada kelurahan. Jadi tidak ada sesuatu yang dapat dituduhkan illegal. Keenam: seseorang menyampaikan pada saya, mungkin juga pada sejumlah orang lagi, kalau diperiksa adakan anggota PKI atau ormasnya, akui saja ya--tidak peduli benar atau tidak; soalnya mereka tidak segan-segan membikin orang jadi invalid seumur hidup untuk menjadi tidak berguna bagi dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya selanjutnya. Dan, tidak semua orang tsb., dapat saya sebut namanya, karena memang tidak mampu mengingat--hampir 20 tahun telah liwat. Jadi waktu pemeriksa menanyakan apakah saya anggota PKI, saya jawab ya. Pertanyaan: Apakah percaya negara ini akan jadi negara komunis? Jawab: Tidak dalam 40 tahun ini. Sebabnya?
Cuma itu sesungguhnya isi pemeriksaan pokok. Tetapi karena selama dalam penahanan itu harian Duta Masyarakat memberitakan reportase tentang penyerbuan gerombolan itu ke rumah saya dan rumah S. Rukiah Kertapati, di mana disebutkan di rumah saya ditemukan buku-buku curian dari musium pusat dan di rumah Rukiah setumpuk permata, jadi pemeriksaan berpusat pada soal pencurian tsb. Memang saya pernah meminjam satu beca majalah, harian dan buku dari musium pusat. Yang belum saya kembalikan adalah Door Duisternis to Licht Kartini dan harian Medan Prijaji tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun baik, akan bisa ditemukan, bahwa sumbangan saya ada 10 kali lebih banyak dari pada yang masih saya pinjam. Dengan demikian pemeriksaan selesai. Benar-tidaknya omongan saya ini dapat dicek pada proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada instansi yang berwenang. Bila ada selisih, soalnya karena waktunya sudah terlalu lama. Mungkin Bung bertanya dari mana saya tahu ada berita dalam Duta Masyarakat yang menuduh saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul seorang kapten di ruang tempat serombongan tahanan. Ia langsung mengenali saya, sebaliknya saya mengenal dia sebagai sersan di RTM tahun 1960. Ia bertubuh tinggi, berkulit langsat dan bibir atasnya suwing. Saya tak dapat mengingat namanya. Suatu malam ia kunjungi aku di kamar kapalselam (sel isolasi) di RTM itu. Banyak mengobrol, antara lain ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam Peristiwa Madiun. Pagi itu ternyata ia berpangkat kapten. Langsung ia bertanya di mana Sjam. Itu untuk pertama kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera membatalkan pertanyaanya dengan kata-kata: Ah, Pak Pram sastrawan, tentu tidak tahu siapa dia. Ramahnya luarbiasa, bawahannya diperintah kannya untuk mengambilkan kopi dan menyediakan veldbed untuk saya. Dan hanya perintah pertama yang dilaksanakan. Setelah ia pergi seorang sersan gemuk yang terkenal galak, dari Sulawesi, kalau tak salah ingat, juga seorang haji, memanggil saya dengan ramahnya dan menyuruh saya membaca Duta Masyarakat itu.
Nah Bung, setelah pemeriksaan satu rombongan dikirim ke CPM Guntur. Sebelum pergi saya minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik saya, karena baru saja datang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya. Ia luluskan permintaan saya, diketikkan surat pembebasan. Sebelum pergi ia saya titipi jam tangan saya, untuk dipergunakan belanja istri saya. Di Guntur hanya untuk didaftar dan dirampas apa yang ada dalam kantong para tangkapan. Sepatu sampai sikatgigi dan ikatpinggang. Waktu itu baru saya sadari di dalam kantong saya masih tersimpan honorarium dari Res Publika dan pabrik pensil. Semua dirampas dengan alasan: nanti dalam tahanan agar tidak dicuri temannya. Dari guntur kami dibawa ke Salemba. Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus tertekuk, tidak boleh berdiri tegak, setinggi para penangkap. Dalam pelataran- pelataran penjara itu nama dibaca satu-persatu oleh seorang militer. Waktu sampai pada giliran saya ia berhenti dan berseru: Lho, Pak Pram, di sini ketemu lagi? Peltu (atau pelda) itu adalah pengawal bersepedamotor yang mengawal sebuah sedan biru-tua dalam bulan November 1960 dari Peperti Peganggsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam sedan itu saya, setelah diminta "diwawancarai" oleh Sudharmono, mayor BC Hk. Dan peltu atau pelda di depanku Oktober 1965 itu adalah Rompis.
Sejak itu berkelanjutan perampasan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak sipil saya selama hampir 20 tahun ini. Dan Bung Keith, tidak satu orang pun dari kaum manikebuis itu terkena lecet, tidak kehilangan satu lembar kertas pun. Sampai sekarang pun mereka masih tetap hidup dalam andaian, sekiranya kaum kiri menang. Dari menara andaian itu mereka menghalalkan segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan, pembunuhan. Tetap hidup dalam kulit telur keamanan dan kebersihan, suci, anak baik-baik para orangtua, dan anak emas dewa kemenangan. Paling tidak sepuluh tahun lamanya saya melakukan kerjapaksa, mereka satu jam pun tidak pernah. Nampaknya mereka masih tidak rela melihat saya hidup keluar dari kesuraman. Waktu saya baru pulang dari Buru, banyak di antaranya yang memperlihatkan sikap manis. Bukan main. Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul keberingasan. Tentang A.K.M. sendiri pertama kali saya mengenalnya pada tahun 1946, di sebuah hotel di Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya sedang dalam sebuah missi militer. Ia datang ke hotel itu dan ngomong-ngomong dengan pemiliknya. Namanya tetap teringat, karena waktu itu ia redaktur majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut. Pertemuan kedua ialah di Balai Pustaka, waktu ia masih jadi pegawai Balai Pustaka yang dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan ia jadi sep saya dalam kantor yang sama--ya saya sebagai pegawai negeri dengan pengalaman semasa revolusi sama sekali tidak diakui, karena semua pegawainya bekas pegawai kekuasaan Belanda. Sewaktu ia hidup aman di Australia, ternyata ia masih dalam hidup dalam andaian, dan sebagaimana yang lain- lain tetap membiakkan pengalaman kecil-mengecil semasa Soekarno untuk jadi gabus apung dalam menyudutkan orang- orang semacam saya. Titik tolaknya tetap andaian. Semua tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara berdepan, dari dulu sampai detik saya menulis ini. Dalam pada itu yang dirampas dari saya sampai detik ini belum dikembalikan. Rumah saya diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat kapten sampai mayor atau letkol, bahkan bagian belakang disewakan pada orang lain. Itu pun hanya rumah kampung, namun punya nilai spiritual bagi keluarga dan saya sendiri. Barangkali ada gunanya saya ceritakan.
Saya mendirikannya pada tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak Honoraria seorang pengarang adalah 15 persen, langsung dipotong oleh penerbit. Waktu saya menyiarkan protes tentang tingginya pajak yang 15 persen, tidak lebih dari seminggu kemudian perdana menteri Djuanda menaikkannya jadi 20 persen, sama dengan pajak lotre. Maka juga pendirian rumah itu melalui ancang-ancang panjang. Kumpul-kumpul dulu kayu dari meter kubik pertama hingga sampai sepuluh dst. Saya merencanakan rumah berdinding bambu sesuai dengan kekuatan. Sepeda motor saya, BSA 500cc.--sepeda motor militer sebenarnya--juga dikurbankan. Tiba-tiba mertua lelaki datang dan mengecam: mengapa mesti bambu? Itu terlalu mahal biayanya. Menyusul perintah: tembok! Ternyata bukan asal perintah. Ia tinggalkan pada saya dua puluh ribu rupiah. Kalau sudah ada, kembalikan, katanya lagi. Maka jadilah rumah tembok yang terbagus di seluruh gang. Ternyata tidak sampai di situ ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti, seorang pengarang bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT. Teman-teman yang dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang tetap tidak percaya seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri. Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya janjikan pada ayah saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari penjara Belanda. yang saya lakukan lebih daripada apa yang saya janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya adalah rumah terbagus di seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding kayu jati. (Sekarang memang jati lebih mahal dari tembok).
Kami sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai tahun 1965 atau 7 tahun. Orang yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun. Iseng-iseng pernah saya tanyakan; jawabnya seenaknya: apa bisa membuktikan rumah itu bukan pemberian partai? Habis sampai di situ. Pada yang lain mendapat jawaban: jual saja rumah itu, separohnya berikan pada penghuninya. Dan saya bilang: saya tidak ada prasangka orang yang menghuni rumah saya itu dari golongan pelacur. Walhasil sampai sekarang tetap begitu saja. Baik, kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang saya alami. Saya sama sekali tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan semua pengalaman indrawi mau pun jiwai, bukan hanya sekedar modal, malah menjadi fondasi bagi seorang pengarang. Apa yang dialamai A.K.M. semasa Soekarno masih belum apa-apa dibandingkan yang saya alami. Peristiwa Kemayoran? Pada 1958 sepulang dari Konferensi Pengarang A- A di Tasykent lewat Tiongkok saya tidak diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa lewat Mandalay, Burma. Artinya, dengan kesulitan tak terduga. Sampai di Rangoon pihak Kedutaan RI tidak mau membantu memecahkan kesulitan saya. Apa boleh buat, tidak ada jalan bagi saya daripada mengancam akan memanggil para wartawan Rangoon dan Jawatan Imigrasi Burma, memberikan pernyataan, bahwa ada kedutaan yang tak mau mengurus warganegaranya yang terdampar. Mereka terpaksa mengurus saya sampai tiba di Jakarta. Dari Rangoon kemudian datang surat yang menuntut macam- macam. Saya hanya menjawab dengan caci-maki dengan tembusan pada menteri luarnegeri, waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu masih tersimpan dalam arsip. Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan hari saya menghadap Bung Karno untuk menyerahkan dokumen keputusan Konferensi di samping juga bingkisan dari Ketua Dewan Menteri Uzbekistan, Syaraf Rasyidov, kepadanya, disaksikan oleh beberapa orang, diantaranya Menteri Hanafi. Tak terduga dalam pertemuan itu terjadi sedikit pertikaian dengan Bung Karno. Ia memberi saya suatu instruksi dan saya menolak, karena sebagai pengarang saya punya porsi kerja sendiri. Pertikaian ini kemudian melarut, yang saya anggap wajar, sampai akhirnya atas perintah Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih keras di Cipinang, karena menentang PP 10. Hampir satu tahun dalam penjara, kemudian dilepaskan dalam satu rombongan dan dengan satu nafas dengan para pemberontak PRRI-Permesta sebagai hadiah terbebasnya Irian Barat. Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya Nasution itu-itu juga memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan pada angkatan perang dalam melawan PRRI di SumBar.
Penahanan 1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya. Bukan saya yang melakukan adalah kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama sekali tidak ada setitik pun keadilan di dalamnya. Saya merasa hanya menuliskan apa yang saya anggap saya ketahui, dan berdasarkan padanya pendapat saya sendiri. Dengan nama jelas, lengkap. Alamat saya pun jelas, bukan seekor keong yang setiap waktu dapat memindahkan rumahnya. Saya membutuhkan pengadilan. Dan itu tidak diberikan kepada saya. Dalam isolasi ketat di Cipinang saya kirimkan surat pada Bung Karno melalui Ngadino, kemudian mengganti nama jadi Armunanto, kepala redaksi Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk mendapat hukuman yang justified, entah sebagai pengacau, entahlah sebagai penipu. Setidak-tidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak meneruskannya, dengan alasan ada orang lain menyimpan tembusannya. Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya yakin surat itu masih tersimpan. Dapat Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa Soekarno masih tidak berarti dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri alami. Saya heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyatakan keheranannya mengapa namanya dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional. Terasa lucu dan naif, selama ia sendiri tidak punya kekuasaan untuk menentukannya. Katanya Lekra membakari bukunya? Saya baru tahu dari halaman itu. Mungkin Boen S. Oemarjati yang berhak memberi penjelasan. Di halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang mengagumkan tentang Taslim Ali. Saya sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan Intrabu. Jadi dalam gambaran saya orang yang "selalu menterornya dengan meletakkan pestol di atas meja" -nya itu adalah saya. Pramoedya Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan Muhammad tertanggal 28 November 1980 pada Sumartana mengatakan (hlm.3): "Achdiat pernah bercerita, bahwa Pram pernah datang ke Balai Pustaka dengan meletakkan pistol di meja." Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa yang saya temui dan saya teror? Kiranya, kalau Goenawan tak berandai- andai, A.K.M. sendiri yang berhak menjawab. Dalam alam kemerdekaan nasional memang pernah saya bersenjata api. Suatu hari dalam 1958. Bukan pestol, tapi parabellum. Tempat: dalam sebuah jeep dalam perjalanan antara Bayah dengan Cikotok. Saksi: seorang letnan angkatan darat. Ia membutuhkan bantuan saya untuk menyelidiki benar- tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan kesimpulan, bahwa semua itu omong kosong belaka. Mengapa bersenjata? Karena sebelumnya sebuah kendaraan umum telah dicegat DI, dibakar. Dan bangkainya masih nongkrong di pinggir jalan. Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik. Dan saya pun tidak pernah bisa diyakinkan ada orang datang untuk menteror Taslim Ali. Apa yang bisa didapatkan dari dia? Sebaiknya A.K.M. menyebut jelas siapa nama penteror itu.
Di halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis bahwa: "di depan rumahnya saya sempat menyusukan selembar 10 ribu rupiah ke dalam kepalannya. Dia agaknya begitu terharu, sehingga nampak matanya basah tergenang," dan "saya tahu Pram tentu butuh duit ketika itu." Memang agak janggal menampilkan saya saya semacam itu. Pada waktu itu saya tidak dapat dikatakan dalam kesulitan keuangan. Segera setelah pulang dari Buru sejumlah bekas tahanan Buru datang pada saya minta dibantu memecahkan kesulitan mereka mencari penghidupan. Memang pihak gereja telah banyak membantu, dan saya menghormati dan menghargai jasanya pada mereka dengan tulus. Tetapi selama status dan namanya bantuan barang tentu tidak mencukupi kebutuhan apalagi untuk keluarganya. Jadi saya dirikan sebuah PT pemborong bangunan, sebuah usaha yang bisa menampung banyak tenaga. Pada waktu A.K.M. datang ke rumah telah 36 orang ditampung, sebagian berkeluarga. Tidak kurang dari 5 rumah dikerjakan, di antara 2 rumah mewah. Ada di antara mereka menumpang ada saya. Usaha ini telah dapat memberi hidup (terakhir) 60 orang dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu? Beberapa kali datang intel, yang dengan lisan mengatakan, rumah saya jadi tempat berkumpul tapol. Beberapa orang dari kantor kotapraja memberi ultimatum untuk menyediakan uang sekian ratus ribu dalam sekian hari. Seseorang datang dan mengibar-ngibarkan kartu identitasnya sebagai intel Hankam. Seorang datang mengaku sebagai pegawai sospol Depdag dengan tambahan keterangan, teman-temannya orang Batak banyak, dan orang tidak selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan mereka. Itu yang datang dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak kalah banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata sudah surut tenaganya karena tua. Mereka belum terbiasa dengan teknik baru pembangunan rumah sekarang. Mereka tidak terbiasa dengan material baru dan pengerjaannya. Di samping itu kerjapaksa berbelas tahun tanpa imbalan tanpa penghargaan, setiap hari terancam hukuman, telah berhasil merusakkan mental sebagian dari mereka.
Dalam pekerjaan yang mereka hadapi mereka tidak berbekal ketrampilan vak. Sedang impian berbelas tahun dalam posisinya sebagai budak-budak Firaun adalah terlalu indah. Seorang yang di Buru mempunyai setiakawan begitu tinggi dan diangkat jadi kepala kerja, kemudian lari membawa uang, dan bukan sedikit. Seorang yang relatif masih muda, suatu malam datang dengan membawa truk dan mengangkuti material bangunan yang telah tersedia dan menjualnya di tempat lain dengan harga rendah untuk dirinya sendiri. Seorang lagi yang juga tergolong muda, sama sekali tanpa ketrampilan tukang, mendadak mengorganisasi pemogokan dengan tuntutan berlipat dari hasil kerjanya. Pick-up Luv Chevrolet, sumbangan teman- teman Savitri, dalam 3 bulan sudah berban gundul dan penyok-penyok. Pukulan lain yang tak kurang menyulitkan datang. Memang sudah diselesaikan sekitar 8 rumah dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua di antara yang dibangunkan rumahnya tidak mau melunasi kewajibannya, mengetahui kedudukan hukum kami lemah. Berkali-kali Savitri minta pertanggungjawaban atas bantuan teman-temannya yang diberikan. Saya tak mampu lakukan itu. Tidak lain dari saya sendiri yang akan merasa malu, dan semua harus saya telan sendiri. Akhirnya saya perintahkan pembubaran PT itu tanpa pernah memberikan pertanggungjawaban pada teman- teman Savitri.
Nah Bung, seperti itu situasi waktu terima selembar sepuluh ribu itu, yang sama sekali tidak pernah saya kira akan dipergunakan oleh A.K.M. untuk memperindah gambaran tentang dirinya. Semua kebaikan tidak akan sia-sia memang bila tidak berpamrih. Dengan pamrih pun tentu saja tidak mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang sadar pasti mempunyai motif. Tetapi bila pemberian dipergunakan sebagai investasi, yang setiap waktu dikutip ribanya, sekalipun hanya riba moril, itu memang betul-betul investasi, bukan pemberian. Dan siapa di dunia ini tidak pernah menerima? Waktu saya baru datang dari Buru dan sejumlah orang yang datang hanya untuk bersumbang. Jumlahnya dari 60 sampai 100 ribu, di antaranya 3 mesin tulis, yang tiga-tiganya langsung diteruskan untuk tapol yang lebih memerlukan. Demikian juga halnya dengan uang pemberian. Saya pribadi praktis tidak ada uang dalam kantong. Itu akan kelihatan bila berada di luar rumah. Di Buru pun ada sejumlah pemberi, dari lingkungan dalam dan luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu. Dalam keadaan sulit di Buru pun orang normal tidak bisa tinggal jadi penerima saja. Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi keperluan tulis-menulis saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali berturut satu kardus besar berisi kacamata, dan pakaian untuk saya pribadi. (Sampai sekarang saya simpan.) Maksud saya hanya untuk menerangkan, pada bangsa-bangsa terkebelakang, atau menurut redaksi baru bangsa-bangsa yang berkembang, memberi adalah keluarbiasaan dan menerima adalah kebiasaan yang perlu dinyatakan.
Jangan dikira saya menulis demikian dengan emosi. Tidak. Suatu dialog bagi saya tetap lebih menyenangkan daripada monolog. Setidak-tidaknya dialog adalah pencerminan jiwa demokratis. Tetapi ucapan all forgiven and forgotten atau we've forgiven but not forgotten, benar- benar produk megalomaniak yang disebabkan mendadak bisa melesat dari kompleks inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar dirinya. Tentang Pancasila di hlm. 6, saya takkan banyak bicara kecuali menyarankan untuk membuka-buka kembali pers Indonesia semasa Soekarno, khususnya sekitar sebab mengapa presiden RI membubarkan konstituante itu. Golongan mana yang menolak dan mana yang menerima Pancasila sebelum dapat interpretasi atau pun revisi, formal ataupun non- formal.
Dalam hubungan ini saya teringat pada ucapan Nyoto, kalau tidak salah di alun-alun Klaten pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan pada suatu golongan masyarakat (saya takkan mungkin mampu mereproduksi redaksinya) yang membaca kalimat-kalimat Pancasila menjadi: Satu, Ketuhanan yang Maha Esa; Dua, Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan yang Maha Esa; Empat, Ketuhanan yang Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan yang Maha Esa. Dia tidak dalam keadaan bergurau. Selama 14 tahun dalam tahanan ucapan Nyoto bukan saja menjadi kebenaran, lebih dari itu. Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih tepatnya dengan istilah orde baru santiaji, orang tidak menyinggung sila-sila lain sesudah sila pertama, kalau menyinggung pun hanya sekedar penyumbat botol kosong: beragama dan tidak beragama berarti sembahyang. Tidak bersembahyang berarti tidak pancasilais, bisa juga anti-pancasila. Ya, buntut panjang itu rupanya diperlukan untuk menterjemahkan alam pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak mampu membebaskan diri dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan, pangkat dan tanda-tandanya--dan bagi suku Jawa cukup lengkap di dideretkan dalam sastra wayang.
Berdasarkan pengalaman sendiri saya dapat katakan: Revolusi Indonesia tidak digerakkan oleh Pancasila; ia digerakkan oleh patriotisme dan nasionalisme. Baru pada 1946 saya pernah mendapat tugas untuk memberi penerangan tentang Pancasila dan PBB kepada pasukan. Selanjutnya tetap tidak ada pertautan antara Pancasila dengan Revolusi. Saya menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang ia yakini, sekali pun dengan Pancasila itu juga orang- orang sejenis kami di-buru-kan sampai 10 tahun, dan A.K.M. tidak pernah melakukan sesuatu protes. Dan pertanyaan kemudian, apakah ia tetap berpandangan demikian--artinya tak perlu melaksanakannya dalam praktek--pada waktu kepentingan dan keselamatan jiwanya terancam? Bicara di lingkungan aman memang lebih mudah untuk siapapun, dan: tanpa pembuktian. Dalam hubungan Pancasila dengan demokrasi barat di hlm. 7 sebagai pesan A.K.M. pada rekan-rekannya sarjana Australia saya mempunyai kisah.
Pada 1984, Mr. Moh. Roem terkena serangan jantung dan dirawat di RSCM. Seorang dokter menjemput saya, mengatakan, Pak Roem menginginkan kedatangan saya. Saya tak pernah mengkaji apakah itu keinginan Pak Roem atau ambisi si dokter itu saja. Langsung saya berangkat bersama dengannya. Di ruang itu Pak Roem tidur dalam keadaan masih dihubungkan pada alat pengontrol jantung. Penjemput saya langsung menemani perawat sehingga hanya kami berdua di situ tanpa saksi. Menghadapi orang dalam keadaan gawat tentu saja saya tidak bicara apa-apa. hanya beliau yang bicara sampai lelah, sebagai pertanda saya harus mengundurkan diri untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan sendiri. Terlalu banyak yang disampaikannya pada saya untuk orang dalam keadaan gawat seperti itu. Satu hal yang berhubungan dengan Pancasila dan demokrasi Barat, dan beliau sebagai ahli hukum, adalah: 50 + 1? Ya, biar begitu perlu dipertimbangkan dengan adil, tidak seperti selama ini dinilai. Dalam sejarah kita telah dibuktikan, bahwa kesatuan Indonesia terwujud hanya karena demokrasi parlementer Barat.
Nah, Bung Keith, inti persoalan dengan kaum manikebu cukup jelas: saya menggunakan hak saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang juga ada pada kaum manikebu. Omong kosong bila dikatakan pada waktu itu mereka tak punya media untuk menerbitkan sanggahan. Waktu sekarang, waktu secara formal hak sanggah melalui mass media tidak ada, saya tetap menyanggah dengan berbagai cara yang mungkin, kalau memang ada yang perlu disanggah. Sedang ucapan Pak Roem tsb., ternyata adalah pesan politik terakhir. Beberapa minggu kemudian beliau meninggal dunia. Saya belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan, hanya di luar hubungan dengan surat terbuka Achdiat K. Mihardja.
Tak lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari M.L., yang intinya tepat suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja saya mendapat kesan kuat, pembicaraan kita Bung teruskan padanya. Terima kasih, bahwa hal-hal yang tidak jelas sudah dibikin terang olehnya. Untuk tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam persoalan khusus ataupun umum ada manfaatnya saya sampaikan bahwa saya menyetujui kehidupan bipoler. Saya membenarkan adanya dua superpower, bukan saja sebagai kenyataan, juga sebagai pernyataan makro nurani politik ummat manusia. Kalau hanya ada satu superpower akibatnya seluruh dunia akan jadi bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya dan kekuatan tidak, kekuasaan dan opposisi. Dalam tingkat nasional saya menyetujui kehidupan bipoler. Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau tidak, rakyat akan jadi bebek pengambang, dengan kepribadian tidak berkembang. Demokrasi dengan opposisi adalah juga pernyataan makro nurani politik nasional. Dia adalah juga pencerminan mikro nurani pribadi manusia, yang tindakannya ditentukan oleh ya atau tidak. Hewan dengan serba naluri tak memerlukan nurani. Ia tak mengenal ya ataupun tidak.
Semoga surat kelewat panjang ini--lebih tepat usaha pendokumentasian diri sendiri--ada manfaatnya. Saya tidak ada keberatan bila diperbanyak. Salam pada semua yang saya kenal, juga pada M.L. dan Savitri yang pernah saya kecewakan. Belakangan ini kesehatan saya agak membaik. Soalnya saya menggunakan ramuan tradisional yang ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan melalui tes urine dengan benedict kadar gula yang positif dalam 24 jam dapat menjadi negatif, yang tidak dapat saya peroleh melalui sport dan kerja badan selama 2 minggu. Salam hangat untuk Bung sendiri dan keluarga. Tetap (tanda tangan).
Senin, 16 Februari 2009
Rivalitas Hatta vs Aidit : Refleksi Pemikiran Aidit tentang Hatta
Diedit : Muhammad Ilham (dari national-list) diskusi di yahoo.com
........... (dari penggalan Pidato Dipa Nusantara Aidit@Danu Nusantara Aidit@Dja'far Nawawi Adit = DN. Aidit)
........... (dari penggalan Pidato Dipa Nusantara Aidit@Danu Nusantara Aidit@Dja'far Nawawi Adit = DN. Aidit)
Terlebih dulu saya ingin menyatakan bahwa Pemerintah Ali-ldham (maksudnya : Ali Sastro Amidjojo dan Idham Chalid: pen.) dalam keterangannya pada tanggal 21 Januari dan dalam jawabannya pada pandangan umum babak pertama pada tanggal 4 Februari jl. bisa membatasi diri pada persoalannya, yaitu tentang kejadian-kejadian di Sumatera dalam bulan Desember 1956. Hal ini dapat saya hargai dan tentang ini kawan-kawan sefraksi saya sudah menyatakan pendapat Fraksi PKI. Pada pokoknya pendapat kami mengenai kejadian-kejadian di Sumatera dalam bulan Desember tahun jl. Adalah sbb. : Pertama : Kejadian-kejadian di Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan adalah rentetan kejadian yang sengaja ditimbulkan oleh sebuah partai kecil yang kalah dalam pemilihan umum jl. yang berhasil mendalangi sebuah partai besar dan oknum-oknum liar, yang tidak melihat kemungkinan dengan jalan demokratis dapat duduk kembali dalam kekuasaan sentral, dan yang hanya melihat kemungkinan dengan jalan menggunakan saluran partai-partai lain, dengan jalan mempertajam pertentangan antara partai- partai agama dengan PKI dan PNI, dengan bikin-bikinan menimbulkan kemarahan Rakyat di daerah-daerah supaya memberontak terhadap Pemerintah Pusat, dengan jalan mengadudomba suku satu dengan suku lainnya dan dengan jalan menghasut orang-orang militer supaya memberontak kepada atasannya.
Kedua : Kejadian-kejadian tersebut terang sejalan dan berhubungan dengan rencana kaum imperialis, yang dipelopori oleh Amerika Serikat untuk menarik Indonesia kedalam pakt militer SEATO. Rencana-rencana dari pemberontak di Sumatera untuk memisahkan Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat dan untuk mendirikan negara sendiri yang mempunyai peralatan sipil dan militer sendiri, yang mempunyai hubungan luar negeri sendiri, adalah sepenuhnya sejalan dengan rencana Amerika Serikat yang diatur oleh Pentagon (Kementerian Pertahanan) dan State Department (Kementerian Luar Negeri) Amerika Serikat, oleh "jendral-jendral" DI-TII dan oleh aparat-aparat serta kaki tangan-kakitangan Amerika Serikat yang ada di Indonesia. Jadi, persoalannya adalah jelas, yaitu kepentingan vital Rakyat Indonesia di satu pihak berhadapan langsung dengan kepentingan kaum imperialis asing di pihak lain. Dalam hal ini Pemerintah Ali-Idham menyatukan diri dengan kepentingan Rakyat Indonesia, dan oleh karena itu PKI tidak ragu-ragu berdiri di pihak Pemerintah dan melawan kaum pemberontak serta aktor-aktor intelektualisnya.
Saya tidak membantah, bahwa baik Peristiwa Madiun maupun Peristiwa Sumatera mempunyai satu sumber dan satu tujuan, yaitu bersumber pada imperialisme Amerika dan Belanda dan bertujuan untuk meletakkan Indonesia sepenuhnya di bawah telapak kaki mereka. Berhubung dengan sebuah statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953 saya pernah dihadapkan kemuka pengadilan. Dalam sidang pengadilan tanggal 27 Januari 1955, dengan berpegang pada ayat 3 pasal 310 KUHP yang ditimpakan pada saya, sudah saya nyatakan kesediaan saya kepada pengadilan untuk membuktikan dengan saksi-saksi bahwa Peristiwa Madiun memang provokasi dan bahwa dalam Peristiwa Madiun tersebut tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. memang berlumuran darah. Dengan ini berarti bahwa Hatta, ketika itu masih wakil Presiden, harus tampil sebagai saksi berhadapan dengan saya. Kesediaan saya ini, yang juga diperkuat oleh advokat saya, Sdr. Mr. Suprapto, tidak mendapat persetujuan pengadilan. Jaksa menyatakan keberatannya akan pembuktian yang mau saya ajukan dengan saksi-saksi. Oleh karena jaksa menolak pembuktian yang mau saya ajukan, maka jaksa terpaksa mencabut tuduhan melanggar pasal 310 dan 311 KUHP. Jelaslah, bahwa ada orang-orang yang kuatir kalau Peristiwa Madiun ini menjadi terang bagi Rakyat.
Dalam pembelaan saya di muka pengadilan tanggal 24 Februari 1955 telah saya katakan "bahwa di antara orang-orang yang karena tidak mengertinya telah ikut dalam pengejaran 'terhadap kaum Komunis', tidak sedikit sekarang sudah tidak mempunjai purbasangka lagi terhadap PKI dan sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi menjadi alat perang-saudara dari kaum imperialis dan kakitangannya". Alat-alat negara sipil maupun militer sudah mengerti bahwa dalam Peristiwa Madiun mereka telah disuruh memerangi saudara-saudara dan teman-temannya sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dalam pemilihan umum untuk Parlemen maupun untuk Konstituante lebih 80% daripada anggota-anggota Angkatan Perang memberikan suaranya kepada partai-partai demokratis, dan 30% daripada suara yang diberikan anggota Angkatan Perang adalah diberikan kepada PKI. PSI dan Masyumi hanya mendapat kurang dari 20%, jadi kurang dari suara yang didapat oleh PKI sendiri atau PNI sendiri. PSI yang mempunyai pengaruh di sejumlah opsir tinggi adalah partai kelima di dalam Angkatan Perang, sedangkan Masyumi, karena politik pro DI-nya, adalah partai keenam. Dengan ini, saya hanya hendak membuktikan bahwa memukul PKI dengan menyembar-nyemburkan Peristiwa Madiun adalah tidak merugikan PKI, malahan memberi alasan pada kami untuk berbicara dan menjelas-jelaskan tentang Peristiwa Madiun.
Apalagi sekarang, sesudah terjadi pemberontakan kolonel Simbolon di Sumatera Utara dan pemberontakan "Dewan Banteng" di Sumatera Barat, menggunakan Peristiwa Madiun untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang, bukan muka PKI yang kena, tetapi muka Masyumi dan PSI sendiri yang sekarang membela pemberontak-pemberontak di Sumatera itu dengan mati-matian. Hatta Bertanggungjawab Atas Penculikan, Pembunuhan Dan Perang-Saudara Tahun 1948. Mari, dalam menilai kebijaksanaan pemerintah Ali-Idham sekarang, kita perbandingkan antara kebijaksanaan pemerintah Hatta tahun 1948 mengenai Peristiwa Madiun dengan kebijaksanaan pemerintah Ali-ldham sekarang. Dari hasil penilaian ini saya akan rnenentukan sikap saya terhadap kebijaksanaan pemerintah sekarang.
Peristiwa Madiun didahului oleh kejadian-kejadian di Solo, mula-mula dengan pembunuhan atas diri kolonel Sutarto, Komandan TNI Divisi IV, dan kemudian pada permulaan September 1948 dengan penculikan dan pembunuhan terhadap 5 orang perwira TNI, yaitu major Esmara Sugeng, kapten Sutarto, kapten Sapardi, kapten Suradi dan letnan Muljono. Juga diculik 2 orang anggota PKI, Slamet Wijaja dan Pardijo. Kenyataan bahwa saudara yang diculik ini pada tanggal 24 September dimasukkan ke dalam kamp resmi di Danurejan, Jokjakarta, membuktikan bahwa pemerintah Hatta langsung campurtangan dalam soal penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di atas. Ini tidak bisa diragukan lagi !
Dalam pidatonya tanggal 19 September 1948 Presiden Sukarno mengatakan bahwa Peristiwa Solo dan Peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri. Ini sepenuhnya benar! Sesudah penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di Solo yang diatur dari Yogya, keadaan di Madiun menjadi sangat tegang sehingga terjadilah pertempuran antara pasukan-pasukan dalam Angkatan Darat yang pro dan yang anti penculikan-penculikan serta pembunuhan-pembunuhan di Solo, yaitu pertempuran pada tanggal 18 September 1948 malam. Dalam keadaan kacau balau demikian ini Residen Kepala Daerah tidak ada di Madiun, Wakil Residen tidak mengambil tindakan apa-apa sedangkan Walikota sedang sakit. Untuk mengatasi keadaan ini maka Front Demokrasi Rakyat, dimana PKI termasuk di dalamnya, mendesak supaya Kawan Supardi, Wakil Walikota Madiun bertindak untuk sementara sebagai penjabat Residen selama Residen Madiun belum kembali. Wakil Walikota Supardi berani mengambil tanggung jawab ini. Pengangkatan Kawan Supardi sebagai Residen sementara ternyata juga disetujui oleh pembesar-pembesar militer dan pembesar-pembesar sipil lainnya. Tindakan ini segera dilaporkan ke pemerintah pusat dan dimintakan instruksi dari pemerintah pusat tentang apa yang harus dikerjakan selanjutnya. Nah, tindakan inilah, tindakan mengangkat Wakil Walikota menjadi Residen sementara inilah yang dinamakan oleh pemerintah Hatta tindakan "merobohkan pemerintah Republik Indonesia", tindakan "mengadakan kudeta" dan tindakan "mendirikan pemerintah Soviet".
Kalau dengan mengangkat seorang Wakil Walikota menjadi Residen sementara bisa dinamakan merobohkan pemerintah Republik Indonesia, bisa dinamakan kudeta dan bisa dinamakan mendirikan pemerintah Soviet, nama apakah lagi yang bisa diberikan kepada tindakan komplotan Simbolon dan "Dewan Banteng" di Sumatera? Selain daripada itu, jika memang demikian halnya, alangkah mudahnya merobohkan pemerintah Republik Indonesia, alangkah mudahnya mengadakan kudeta dan alangkah mudahnya mendirikan pemerintah Soviet! Jika memang demikian mudahnya, saya kira sekarang sudah tidak ada lagi Republik kita, karena nafsu merobohkan Republik sekarang, begitu dikobar- kobarkan dan begitu besarnya di sementara golongan, terutama di kalangan sebuah partai kecil yang kalah dalam pemilihan umum yang lalu. Tetapi saya kira, merobohkan Republik Indonesia tidaklah begitu mudah sebagaimana sudah dibuktikan oleh kegagalan Simbolon dan oleh makin merosotnya pamor "Dewan Banteng", disamping Republik Indonesia tetap berdiri tegak. Apalagi mendirikan pemerintah Soviet, tidaklah semudah mengangkat seorang Wakil Walikota menjadi Residen sementara. Rakyat Tiongkok dan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok yang sudah berjuang mati-matian selama berpuluh-puluh tahun di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok hingga sekarang belum sampai ke taraf mendirikan pemerintah Soviet, artinya pemerintah sosialis di Tiongkok. Jadi, alangkah bebalnya, atau alangkah mencari-carinya orang-orang yang menuduh PKI merobohkan Republik dan mendirikan pemerintah Soviet di Madiun dengan mengangkat Wakil Walikota Supardi menjadi Residen sementara.
Berdasarkan kejadian pengangkatan Wakil Walikota Supardi menjadi Residen sementara dan atas tanggung jawab sepenuhnya dari pemerintah Hatta, maka pada tanggal 19 September 1948 oleh Presiden Sukarno dadakan pidato yang berisi seruan kepada seluruh Rakyat bersama-sama membasmi "kaum pengacau", maksudnya membasmi kaum Komunis dan kaum progresif lainnya secara jasmaniah. Saya katakan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah Hatta, karena Hattalah yang menjadi Perdana Menteri ketika itu. Tapi karena Hatta tahu bahwa pengaruhnya sangat kecil di kalangan Angkatan Perang dan alat-alat negara lainnya, apalagi di kalangan masyarakat, maka Hatta menggunakan mulut Sukarno dan meminjam kewibawaan Sukarno untuk membasmi Amir Syarifuddin dan beribu-ribu putera Indonesia asal suku Jawa. Ini, sekali lagi, kalau kita mau berbicara dalam istilah kesukuan yang sekarang banyak dilakukan oleh pembela-pembela kaum pemberontak di Sumatera, sesuatu yang sedapat mungkin ingin kami hindari.
Demikianlah, "kebijaksanaan" Hatta sebagai Perdana Menteri dalam menghadapi persoalan-persoalan masyarakat dan persoalan politik yang kongkrit. Karena kepicikannya dari kesombongannya sebagai borjuis Minang yang ingin melonjak cepat sampai ke angkasa, karena kehausannya akan kekuasaan, karena kepala batunya, karena ketakutannya yang keterlaluan kepada Komunisme, maka Hatta sebagai Perdana Menteri dengan secara gegabah mengerahkan alat-alat kekuasaan negara untuk menculik, membunuh dan mengobarkan perang saudara. Orang sering salah kira dengan menyamakan sifat kepala batu Hatta dengan "kemauan keras" atau sikap yang "konsekwen". Tetapi saya yang juga mengenal Hatta dari dekat berpendapat, bahwa sifat kepala batu Hatta adalah disebabkan karena sempit pikirannya, dan karena sempit pikirannya ia tidak bisa bertukar pikiran secara sehat, tidak pandai bermusyawarah dan tahunya hanya main "ngotot", "mutung", "basmi" dan "tangan besi". Dan apa akibatnya permainan "basmi" dan "tangan besi" Hatta? Beribu-ribu pemuda dan Rakyat dari kedua belah pihak yang berperang mati karenanya. Seluruh Rakyat sudah mengetahui dari pengalamannya sendiri bahwa semua ini dilakukan hanya untuk melapangkan jalan bagi Hatta buat pelaksanaan Konferensi Meja Bundar dengan Belanda yang langsung diawasi oleh Amerika Serikat, untuk membikin perjanjian KMB yang khianat dan yang sudah kita batalkan itu.
Sifat gegabah dari tindakan Hatta lebih nampak lagi ketika ia meminta kekuasaan penuh dari BPKNIP, dimana di dalam pidatonya dinyatakan bahwa "Tersiar pula berita -- entah benar entah tidak -- bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Syarifuddin Perdana Menteri". Lihatlah betapa tidak bertanggungjawabnya tindakan Hatta. la bertindak atas dasar berita yang sifatnya "entah benar entah tidak" bahwa sesuatu "akan" terjadi. Ya, Hatta bertindak atas berita yang masih diragukan tentang akan terjadinya sesuatu. Tetapi, adalah tidak diragukan lagi bahwa tindakan Hatta sudah berakibat dibunuhnya ribuan orang yang tidak berdosa tanpa proses.
Hatta lngin Berkuasa Sewenang-wenang Lagi. Berdasarkan pengalaman dengan Peristiwa Madiun, dimana Hatta menelanjangi dirinya sebagai manusia yang tidak berperi kemanusiaan, maka saya seujung rambutpun tidak ragu bahwa Hatta, seperti belum lama berselang dimuat dalam koran-koran pemah mengucapkan kepada Firdaus A. N., hanya bersedia berkuasa jika tidak bisa dijatuhkan oleh Parlemen. Kalau mau tahu tentang Hatta, inilah dia! lnilah politiknya, inilah moralnya, inilah segala-galanya! Yaitu, seorang yang mau berkuasa secara sewenang-wenang.
Hatta sama sekali tidak menghargai jerih payah Rakyat yang kepanasan dan kehujanan antri untuk memberikan suaranya untuk Parlemen kita sekarang. Lebih daripada itu, ia juga tidak menghargai suaranya sendiri yang diberikannya ketika memilih Parlemen ini. Orang yang tidak menghargai orang lain sering kita temukan di dunia ini. Tetapi orang yang tidak menghargai suaranya sendiri, ini keterlaluan. Hatta ingin berkuasa kembali tanpa bisa dijatuhkan oleh Parlemen, ia memimpikan masa keemasannya di tahun 1948. Kali ini yang mau dijadikannya mangsa bukan hanya putera-putera Indonesia asal suku Jawa dan Batak, tetapi juga putera-putera suku lain, termasuk putera-putera suku Minangkabau, karena PKI sekarang sudah tersebar di seluruh Indonesia dan di semua suku. Tetapi, sebelum Hatta sampai ke situ, perlu saya peringatkan bahwa dalam tahun 1948 ia hanya berhadapan dengan 10.000 Komunis yang hanya tersebar secara sangat tidak merata di pulau Jawa dan Sumatera, karena PKI ketika itu dilarang berdiri di daerah pendudukan Belanda. Tetapi sekarang, Hatta harus berhadapan dengan lebih satu juta Komunis yang tersebar di semua pulau dan di semua suku. Saya perlu menyatakan ini, hanya untuk menerangkan betapa besar akibatnya kalau Hatta bermain "tangan besi" lagi. Dan .... besipun bisa patah !
Saya yakin, bahwa tiap-tiap orang yang mempunyai peran tanggung jawab tidak ingin terulang kembali tragedi nasional seperti Peristiwa Madiun itu. Dari pihak Partai Komunis Indonesia, seperti sudah berulang-ulang kami nyatakan, dan sudah menjadi pelajaran di dalam Sekolah-Sekolah Kursus-Kursus Partai kami, kami ingin dan kami yakin bisa mencapai tujuan-tujuan politik kami secara parlementer. Kami akan menghindari tiap-tiap perang-saudara selama kepada kami dijamin hak-hak politik untuk memperjuangkan cita-cita kami. Tetapi, kalau kepada kami disodorkan bayonet dan didesingkan peluru seperti dalam peristiwa Madiun, juga seperti selama peristiwa itu, kami tidak akan memberikan dada kami untuk ditembus bayonet dan ditembus peluru kaum kontra-revolusioner. Kami kaum Komunis tidak ingin menggangu siapa-siapa selama kami tidak diganggu. Kami ingin bersahabat dengan semua orang, semua golongan dan semua partai yang mau bersahabat dan bekerja sama dengan kami untuk hari depan yang lebih baik bagi tanah air dan Rakyat Indonesia. Walaupun di hadapan kantor pusat Masyumi di Kramat Raja 45, Jakarta, terpancang dengan jelas papan "Front Anti-Komunis", jadi anti kami, anti saya dan anti kawan-kawan saya, tetapi kami kaum Komunis tidak akan ikut gila untuk juga memancangkan papan "Front Anti-Masyumi"', apalagi "Front Anti-lslam". Kami tidak akan membiarkan diri kami terprovokasi oleh pemimpin Masyumi ini. Saya pribadi tidak mau diprovokasi oleh kenalan lama saya, Sdr. Mohamad Isa Anshari, pemimpin akbar "Front Anti-Komunis". Berangsur-angsur Rakyat Indonesia berdasarkan pengalamannya sendiri menjadi makin yakin bahwa bukanlah kaum Komunis yang anti-agama, tetapi sebaliknya, sejumlah pemimpin partai-partai agamalah yang anti-Komunis dan menghasut anggota-anggotanya supaya anti-Komunis.
Rakyat Indonesa sudah mengetahui bahwa dalam soal pemerintahan kami menginginkan terbentuknya pemerintah persatuan nasional dimana didalamnya duduk 4-Besar, jadi termasuk PKI dan Masyumi, bersama-sama dengan partai-partai lain. Ini akan kami perjuangkan terus walaupun sampai ini hari saya kira Masyumi belum mau, karena masih mengikuti apa yang dikatakan oleh pemimpin Masyumi Sdr. Moh. Natsir dalam muktamar Masyumi di Bandung bulan Desember 1956. Dalam muktamar tersebut Sdr. Moh. Natsir mengatakan antara lain bahwa pimpinan partai Masyumi "meletakkan strateginya menghadapi pembentukan kabinet kepada dua pokok pikiran yaitu (a) Memulihkan kerjasama antara partai-partai Islam (b) Menggabungkan tenaga-tenaga non-Komunis dalam kabinet, Parlemen dan masyarakat serta mengisolir PKI atau para crypto-Koi-ntinis dari kabinet". (Halaman 22 "Laporan Beleid Politik Pimpinan Partai Masyumi"). Cobalah renungkan, bukan persatuan nasional yang mereka ajarkan dan amalkan, tetapi perpecahan nasional. Mengisolasi PKI adalah identik dengan mengisolasi berjuta-juta Rakyat Indonesia. Bagaimana persatuan nasional akan bisa tercapai dengan sikap yang a-priori semacam ini. Sikap semacam ini hanya mempertegas keadaan politik di negeri kita, dan yang untung bukan bangsa Indonesia, tetapi kaum imperialis asing, yang memang menginginkan peruncingan keadaan dan perpecahan di dalam tubuh bangsa kita. Jadi, kapankah semua pemuka bangsa kita akan belajar dari pengalaman Peristiwa Madiun yang tragis itu, supaya tidak lagi mengulangi kesalahan tindakan dan kebijaksanaan agar persatuan bangsa kita terpelihara baik, supaya kita tidak gegabah dalam mengambil tindakan-tindakan, apalagi tindakan-tindakan yang bisa berakibat luas? Saya berusaha dan terus akan berusaha untuk menarik pelajaran sebanyak-banjyaknya dari pengalaman sejarah itu. Kabinet Ali-ldham Ber-puluh2 Kali Lebih Bijaksana Daripada Kabinet Hatta
Dibanding dengan kebijaksanaan pemerintah Hatta dalam menghadapi kejadian di Madiun dalam bulan September 1948, kabinet Ali-ldham sekarang berpuluh-puluh kali lebih bijaksana. Padahal kalau melihat kejadiannya, pengangkatan seorang Wakil Walikota menjadi Residen sementara karena dipaksa oleh keadaan, belumlah apa-apa kalau dibanding dengan pengoperan pimpinan pemerintah daerah Sumatera Tengah oleh orang-orang "Dewan Banteng", yang terang-terangan direncanakan terlebih dulu dalam reuni ex-divisi Banteng bulan November 1956, dan yang terang-terangan sudah pernah menolak dan menghina perutusan pemerintah pusat yang datang untuk berunding. Apalagi kalau dibanding dengan perbuatan komplotan kolonel Simbolon pada tanggal 22 Desember 1956, yang terang-terangan menyatakan tidak lagi mengakui pemerintah yang sah sekarang. Apalagi, kalau kita ingat bahwa maksud yang sesungguhnya dari semua tindakan itu ialah untuk memisahkan Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat, mendirikan negara Sumatera dan Kalimantan serta mengadakan hubungan luar negeri sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa ada maksud-maksud untuk menyerahkan pulau We di Utara Sumatera kepada negara besar tertentu untuk dijadikan pangkalan-perang. Apalagi kalau diingat bahwa semua rencana itu sesuai sepenuhnya dengan apa yang direncanakan oleh Pentagon dan State Department Amerika Serikat, oleh "jendral-jendral" DI-TII dan aparat-aparat serta kakitangan-kakitangan Amerika lainnya yang ada di Indonesia. Jika diingat semuanya ini, maka pengangkatan Wakil Walikota Supardi menjadi Residen sementara Madiun adalah hanya "kinderspel" (permainan kanak-kanak).
Tetapi penamaan apa yang diberikan oleh Hatta kepada kejadian-kejadian di Madiun bulan September 1948 dan penamaan apa pula yang, diberikan orang kepada perbuatan-perbuatan kaum pemberontak di Sumatera pada bulan Desember 1956? Peristiwa Madiun dinamakan "merobohkan Republik Indonesia", dinamakan "kudeta", tetapi pemberontakan di Sumatera yang sepenuhnya dan secara terang-terangan disokong oleh kaum imperialis asing, terutama kaum imperialis Amerika dan Belanda, mereka namakan "tindakan konstruktif" demi "kepentingan daerah". Saya bertanya : Konstruktif untuk siapa? Untuk kepentingan daerah mana? Memang konstruktif sekali tindakan kaum pemberontak di Sumatera, konstruktif dalam rangka membangun pangkalan-pangkalan perang SEATO! Memang untuk kepentingan daerah, kepentingan perluasan daerah SEATO! Jadi, sama sekali tidak konstruktif untuk Rakyat Indonesia dan sama sekali bukan untuk kepentingan daerah Indonesia !
Demikianlah, apa sebabnya saya katakan bahwa mengemukakan Peristiwa Madiun dalam keadaan sekarang untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang. Bukannya PKI yang kecipratan, tetapi justru si penepuk air yang sial itu. Mengemukakan soal Peristiwa Madiun dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang berarti memberi alasan yang kuat untuk mengkonfrontasikan kebijaksanaan yang memang bijaksana dari kabinet Ali-ldham sekarang dengan kebijaksanaan yang tidak bijaksana dari Kabinet Hatta dalam tahun 1948. Jika sudah dikonfrontasikan, maka akan merasa berdosalah orang-rang yang berteriak-teriak ingin melihat naiknya Hatta kembali, kecuali kalau orang-orang itu memang ingin melihat Hatta sekali lagi mempermainkan nyawa umat Indonesia sebagai mempermainkan nyawa anak ayam. Kebijaksanaan kabinet Ali-ldham dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang tidak disebabkan terutama karena Ali Sastroamijojo seorang Indonesia dari suku Jawa yang toleran, tidak, tetapi karena pimpinan kabinet sekarang terdiri dari orang-orang yang mempunyai perasaan tanggung jawab yang besar. Syukurlah, bahwa ketika terjadi Peristiwa Sumatera Hatta tidak memegang fungsi dalam pimpinan negara, walaupun saya tidak ragu adanya sangkut paut Hatta dengan kejadian-kejadian itu. Kalau Hatta memegang fungsi penting, apalagi kalau Hatta memegang tampuk pemerintahan, entah berapa banyak lagi korban yang dibikinnya.
Dalam usaha menyelesaikan Peristiwa Sumatera ada orang-orang yang ingin supaya soal kolonel Simbolon "diselesaikan secara adat", supaya soal "Dewan Banteng" diselesaikan "secara musyawarah", secara "potong kerbau" dan dengan "menggunakan pepatah dan petitih". Pendeknya, adat, kerbau serta pepatah dan petitih mau dimobilisasi untuk menyelesaikan soal kolonel Simbolon dan soal "Dewan Banteng". Sampai-sampai orang-orang, yang tidak beradat juga berbicara tentang "penyelesaian secara adat". Tetapi, orang-orang ini pada bungkam semua ketika Amir Syarifuddin dengan tanpa proses ditembus oleh peluru atas perintah Hatta. Ketika Amir Syarifuddin masih ditahan di penjara Yogya sebelum dibawa ke Solo dan digiring ke desa Ngalian untuk ditembak, tidak ada seorang Batak atau siapapun yang tampil ke depan, dan mengatakan: "Mari soal Amir Syarifuddin kita selesaikan secara adat tanah Batak", atau "Mari soal Amir Syarifuddin kita selesaikan secara Kristen".
Saya hanya ingin bertanya: Apakah Amir Sjarifuddin yang bermarga Harahap itu kurang Bataknya daripada kolonel Simbolon sehingga adat Batak menjadi tidak berlaku bagi dirinya? Saya kira Amir Syarifuddin tidak kalah Bataknya daripada orang Batak yang mana jua pun, malahan ia tidak kalah Kristennya dari pada kebanyakan orang Kristen. Amir Syarifuddin meninggal sesudah ia menyanyikan lagu Internasionale, lagu Partainya, lagu kesayangannya, dan ia meninggal dengan Kitab Injil di tangannya. Amir Syarifuddin adalah putera Batak yang baik, yang patriotik, dan karena itu juga ia adalah seorang putera Indonesia yang baik. Jadi tidak sepantasnya adat tanah Batak tidak berlaku baginya.
Bagaimana pula halnya ribuan orang Jawa yang didrel tanpa proses atas perintah Hatta itu? Apakah suku Jawa yang menderita dari abad ke abad tidak mengenal musyawarah dan tidak mengenal pepatah dan petitih sehingga ketika dilancarkan kampanye pembunuhan terhadap orang-orang Jawa selama Peristiwa Madiun tidak ada orang Jawa yang beradat dan tidak ada cerdik-pandai Jawa yang tampil ke depan untuk menyelesaikan persoalan ketika itu secara rembugan (musyawarah), secara adat, dan dengan berbicara menggunakan banyak paribasan (peribahasa), dengan potong sapi, potong kerbau, dan dengan mbeleh wedus (potong kambing)? Ataukah karena pulau Jawa sudah kepadatan penduduk maka pembunuhan atas orang-orang Jawa oleh tangan besi borjuis Minang Mohammad Hatta boleh dibiarkan? PKI tampil ke depan untuk kepentingan, "de zwijgende Javanen" ("Orang2 Jawa Yang Berdiam Diri") ini, baik mereka Komunis atau pun bukan-Komunis. Ya, jika soal ini dibawa ke pengadilan, PKI juga akan berbicara atas nama prajurit-prajurit, bintara-bintara dan perwira-perwira dari suku Jawa yang mati karena melakukan tugas "membasmi Komunis" yang diperintahkan oleh Hatta. Prajurit-prajurit, bintara-bintara dan perwira-perwira yang mati dalam pertempuran melawan Komunis ketika itu adalah tidak bersalah, sama tidak bersalahnya dengan Komunis-Komunis yang mereka tembak. Mereka semuanya adalah korban permainan politik perang-saudara Hatta. Tidak hanya kami, sebagai pewaris-pewaris dari pahlawan-pahlawan Komunis dalam Peristiwa Madiun, tetapi juga keluarga para prajurit, bintara dan perwira TNI yang disuruh "membasmi Komunis" berhak untuk mendakwa Hatta sebagai pembunuh sanak-saudara mereka, jika soal ini dibawa ke pengadilan. Mari sekarang kita lihat bagaimana sikap pemerintah Hatta terhadap perwira yang belum tentu bersalah dalam Peristiwa Madiun, dan bagaimana sikap pemerintah Ali-ldham sekarang terhadap opsir-opsir yang sudah terang bersalah dalarn pemberontakan-pemberontakan di Sumatera.
Pemerintah Hatta dengan tanpa memeriksa lebih dulu kesalahan mereka terus saja memecat perwira-perwira, antara lain yang masih hidup sekarang bekas Jenderal Major Ir. Sakirman, bekas Letnan Kolonel Martono, bekas Major Pramuji, dan banyak lagi. Padahal perwira-perwira ini belum pernah dipanggil untuk menghadap, apalagi diperiksa; jadi sama sekali tidak ada dasar untuk memecat mereka. Para perwira yang belum tentu bersalah tidak hanya dipecat, tetapi banyak juga yang disiksa di luar perikemanusiaan dan dibunuh tanpa dibuktikan kesalahannya terlebih dahulu.
Sekedar untuk mengetahui bagaimana pembunuhan-pembunuhan kejam oleh alat-alat resmi ketika itu, bersama ini, saya lampirkan 3 buah turunan laporan resmi dan pengakuan resmi tentang pembunuhan terhadap diri Sidik Aslan dkk. dan terhadap letnan kolonel Dakhlan dan major Mustoffa. Untuk menghemat waktu tidak saya bacakan lampiran-lampiran ini. Lampiran-lampiran ini, saya sampaikan lepas dari penilaian siapa dan bagaimana major Sabarudin, pembuat pengakuan-pengakuan tersebut. Yang sudah terang major Sabarudin bukan simpatisan PKI, apalagi anggota PKI.
Kekejaman pemerintah Hatta selama Peristiwa Madiun adalah berpuluh-puluh kali lebih kejam dari pada pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi pemberontakan Rakyat tahun 1926. Pemerintah kolonial Belanda masih memakai alasan-alasan hukum untuk membunuh, memenjarakan dan mengasingkan kaum pemberontak, tetapi Hatta sepenuhnya mempraktekkan hukum rimba. Semuanya ini mengingatkan saya kembali pada tulisan Hatta yang berkepala "14 Juli", dimuat dalam harian "Pemandangan" pada 14 Juli 1941 dimana antara lain ia menulis tentang Petain, seorang Prancis boneka Hitler, sebagai "seorang serdadu yang berhati lurus dan jujur". Hanya serigala mengagumi serigala, hanya fasis mengagumi fasis !
Bandingkanlah sikap pemerintah Hatta terhadap kejadian di Madiun dengan sikap pemerintah sekarang terhadap kolonel Simbolon yang sudah terang bersalah karena merebut kekuasaan di sebagian wilajah Republik Indonesia, yang sudah terang melanggar disiplin militer atau yang oleh Presiden Sukarno/Panglima Tertinggi dalam amanatnya tanggal 25 Desember 1956 dirumuskan telah berbuat yang "menggoncangkan sendi-sendi ketentaraan dan kenegaraan kita, dan yang membahayakan keutuhan tentara dan negara kita pula". Kolonel Simbolon hanya diberhentikan sementara sebagai Panglima Tentara dan Teritorium I. Sedangkan terhadap pemimpin-pemimpin pemberontakan militer di Sumatera Tengah sampai sekarang belum diambil tindakan apa-apa. Tentu ada orang-orang yang mengatakan: ya, karena Panglima Tertinggi, Pemerintah dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang sekarang tidak mempunyai kewibawaan, maka mereka tidak menghukum perwira-perwira tersebut seperti Hatta dulu menghukum perwira-perwira yang disangka tersangkut dalam Peristiwa Madiun. Istilah "wibawa" pada waktu belakangan ini banyak dipergunakan orang dengan masing-masing mempunyai interpretasinya sendiri-sendiri. Kalau dengan istilah "wibawa" yang dimaksudkan ialah kemampuan pemerintah untuk bertindak, maka terang bahwa pemerintah sekarang sanggup bertindak, sanggup memerintah, artinya mempunyai kewibawaan. Apakah bukan tanda wibawa dari pemerintah sekarang dengan dapatnya digulingkan kerajaan sehari komplotan kolonel Simbolon dalam waktu yang sangat singkat?
Tanggal 22 Desember 1956 pemerintah memutuskan dan mengumumkan pemberhentian sementara kolonel Simbolon sebagai Panglima TT I dan menyerahkan tanggung jawab TT I kepada letnan-kolonel Jamin Gintings atau letnan-kolonel A. Wahab Macmour. Dalam waktu hanya empat hari, yaitu pada tanggal 27 Desember 1956 komplotan kolonel Simbolon sudah dapat diturunkan dari kerajaan seharinya. Ini artinya bahwa seruan pemerintah dipatuhi, ini artinya pemerintah mempunjai kewibawaan. Tentu ada orang-orang yang berkata lagi: ya, tetapi itu mengenai Sumatera Utara. Mengenai Sumatera Tengah pemerintah tidak mempunyai kewibawaan. Mengenai ini saya jawab sbb. : Tiap-tiap orang yang tahu imbangan kekuatan di dalam negeri tidak sukar memahamkan, bahwa kalau pemerintah pusat sekarang mau bertindak, apalagi kalau mau bertindak serampangan seperti Hatta, maka dengan pengerahan serentak seluruh kekuatan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, dengan dibantu oleh massa Rakyat, maka kerajaan "Dewan Banteng" juga hanya akan merupakan kerajaan sehari.
Soalnya bukanlah hanya menunjukkan kemampuan menggunakan kekuatan seperti yang pernah dilakukan oleh Hatta, tetapi juga kebijaksanaan. Pada pokoknya kami setuju bahwa pemerintah sekarang mengkombinasi kekuatan riilnya dengan kebijaksanaan. Sikap ini merupakan dasar yang kuat bagi pemerintah, jika pada satu waktu pemerintah harus bertindak keras, karena jalan perundingan sudah tidak mempan lagi. Walaupun kami kaum Komunis pernah diperlakukan secara kejam oleh pemerintah Hatta selama Peristiwa Madiun, tetapi kami tidak menyetujui jika pemerintah sekarang mencontoh perbuatan Hatta yang gegabah dan tidak bertanggungjawab itu. Kita semua mengetahui bahwa politik "tangan besi" Hatta sepenuhnya menguntungkan kepentingan kaum imperialis asing. Ya, walaupun banyak perwira penganut cita-cita PKI yang dibasmi secara jasmaniah dalam Peristiwa Madiun, tetapi kami tidak menuntut supaya kolonel Simbolon, letnan kolonel Abmad Husein dll. dibasmi secara jasmaniah. Apalagi kami tahu bahwa banyak opsir-opsir yang tersangkut dalam pemberontakan-pemberontakan di Sumatera adalah karena hasutan-hasutan sebuah partai kecil yang keok dalam pemilihan umun, jl. Kami tidak menghendaki penumpahan darah yang disebabkan oleh kehampaan kebijaksanaan. Jadi apakah yang kami inginkan ?
Kami hanya ingin, supaya disiplin militer berjalan sebagaimana mestinya, supaya hirarki ketentaraan ditaati dengan patuh, supaya Angkatan Perang tetap setia kepada cita-cita Revolusi Agustus 1945, karena hanya dengan demikian kita dapat membangun Angkatan Perang yang mampu membantu menyelesaikan semua tuntutan Revolusi Agustus 1945. Hanya dengan penegakan tata tertib hukum dalam ketentaraan yang berjiwa Revolusi Agustus 1945 Angkatan Perang kita akan setia kepada sumbernya, yaitu Revolusi dan Rakyat.
Sebagaimana sudah saya katakan di atas, ada sementara orang berteriak supaya diadakan penyelesaian "secara adat", "dengan potong kerbau" dan "dengan menggunakan pepatah dan petitih". Tetapi, jika kita tidak waspada, apakah yang tersembunyi di belakang kata-kata ini semuanya? Tidak lain ialah untuk mencairkan disiplin dalam Angkatan Perang kita, untuk mengacau-balaukan hirarki dan tata tertib hukum di dalam ketentaraan kita. Saya tidak berkeberatan jika juga ditempuh jalan secara adat, kerbau-kerbau dipotongi dan segala macam pepatah dan petitih nenek moyang digali dan dipakai, karena semuanya ini memang warisan dan milik kita sendiri. Tetapi jangan lupa, bahwa semuanya ini hanyalah faktor tambahan. Yang primer bagi orang-orang militer ialah tata tertib hukum di dalam ketentaraan. Kalau tidak demikian lebih baik perwira-perwira yang bersangkutan menanggalkan epoletnya dan kembali ke kampung untuk duduk dalam lembaga-lembaga adat dikampung. Disanalah barangkali mereka akan menemukan ketenteraman jiwanya.
Sesudah mengkonfrontasikan Peristiwa Madiun 1948 dengan Peristiwa Sumatera 1956, maka sampailah saya pada kesimpulan, bahwa pemerintah Ali-ldham sekarang berpuluh-puluh kali lebih bijaksana daripada pemerintah Hatta ketika menghadapi kejadian-kejadian di Madiun dalam bulan September 1948. Ini dilihat dari sudut kebijaksanaan. Dilihat dari sudut kewibawaan pemerintah Ali-Idham mempunyai kewibawaan, dibuktikan oleh ketaatan alat-alatnya pada umumnya. Yang tidak mentaati pemerintah sekarang hanya minoritas yang sangat kecil yang sudah diracuni oleh sebuah partai kecil dan oknum-oknum liar yang tidak melihat hari depannya dalam demokrasi, tetapi dalam sesuatu kekuasaan militeris-fasis. Adalah janggal dan tidak bertanggungjawab jika pemerintah Ali-Idham menyerah kepada ambisi partai kecil dan oknum-oknum liar ini. Selanjutnya dapat pula ditarik kesimpulan, bahwa adalah perbuatan yang tidak bertanggungjawab untuk memberi kans sekali lagi kepada Mohamad Hatta, bapak perang-saudara, seorang yang karena haus kekuasaan dan pendek akal telah menewaskan beribu-ribu Rakyat dan pemuda baik orang-orang sipil maupun orang-orang militer kita yang baik-baik.
Dwitunggal Tidak Pernah Ada. Sementara orang tentu akan bertanya: Tetapi bagaimana dengan "dwitunggal"? Pertama-tama perlu saya nyatakan bahwa dwitunggal tidak pernah ada, bahwa dwitunggal hanya ada dalam dunia impian orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk sejarah perjuangan kemerdekaan dan sejarah pencetusan Revolusi Agustus 1945. Kalau orang mau tenang dan mau mengingat-ingat kembali pada pertentangan pendapat yang sengit antara Sukarno dengan "Partai Indonesia" (Partindo) di satu pihak dan Hatta-Sjahrir dengan apa yang dinamakan "Pendidikan Nasional Indonesia" di pihak lain, maka orang akan sependapat bahwa dwitunggal yang sungguh-sungguh memang tidak pernah ada. Untuk pertama kali, pada kesempatan ini ingin saya nyatakan, bahwa saya sudah lama merasa ikut berdosa karena sudah ambil bagian aktif dalam gerakan memaksa Hatta menandatangani Proklamasi 17 Agustus 1945. Hatta sudah sejak semula secara ngotot menentang pencetusan Revolusi Agustus. la menggantungkan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya pada rakhmat Saikoo Sikikan (Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Indonesia) yang tidak kunjung tiba itu.
Saya merasa lebih-lebih ikut berdosa lagi ketika membaca pidato Hatta waktu menerima gelar Dr. HC dari Universitas "Gajah Mada" dimana dengan tegas dikatakannya bahwa revolusi harus dibendung. Kalau saya tidak salah Universitas "Gajah Mada" sudah tiga kali memberikan gelar kehormatan, pertama kepada Presiden Sukarno, kedua kepada Hatta dan ketiga kepada Ki Hajar Dewantara. Pemberian yang pertama dan ketiga, menurut pendapat saya, adalah tepat, karena Universitas "Gajah Mada" yang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada orang-orang revolusioner, pengabdi-pengabdi revolusi. Tetapi pemberian yang kedua, yaitu pada Hatta, maaf, adalah satu kekeliruan yang mungkln tidak disengaja. Betapa tidak keliru, sebuah universitas yang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada seorang yang ingin membendung revolusi, kepada seorang kontra-revolusioner.
Dwitunggal yang terdiri dari seorang revolusioner dan yang seorang lagi kontra- revolusioner sama sekali bukan dwitunggal. Oleh karena itulah saya katakan, dwitunggal tidak pernah ada, kecuali di dalam dongengan dan impian. Dongengan tentang dwitunggal inilah yang antara lain telah membikin revolusi kita menjadi macet, karena dwitunggal yang dibikin-bikin itu, yang heterogen itu, telah membikin kita terjepit di antara dua kutub, kutub revolusi dan kutub kontra-revolusi. Selama lebih sebelas tahun Rakyat Indonesia sudah ditipu dengan apa yang dinamakan dwitunggal. Revolusi kita berjalan terus, semua kekuatan revolusioner harus dipersatukan dan dimobilisasi untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner. Demikianlah, penilaian saya mengenai kebijaksanaan pemerintah sekarang, sesudah saya mengkonfrontasikan kebijaksanaan pemerintah sekarang dengan kebijaksanaan pemerintah Hatta ditahun 1948. Saya dipaksa untuk memberikan penilaian secara ini, karena ada salah seorang anggota Parlemen kita yang dalam pemandangan umumnya membawa-bawa Peristiwa Madiun.
Langganan:
Postingan (Atom)