Oleh : Muhammad Ilham
Malam tadi, saya nonton film “The Bodyguard from Beijing”. Jet Lee sebagai star hero-nya. Sejak saya kenal film-film mandarin, baik yang dibintangi oleh Bruce Lee, Wang Yu, Fa Yu Ching, Chen Kuan Tai, Danny Tan, Danny Low, Jacky Chen, Jet Lee hingga Stephen Cow – untuk menyebut beberapa nama diantaranya – maka satu hal yang mirip : mereka mampu mengalahkan lawan-lawannya dalam jumlah banyak, sendirian. Lakon pasti tidak akan pernah kalah, minimal babak belur, tapi tetap menang. Lalu bagaimana dalam jumlah lawan yang demikian banyak, sang lakon bisa menang? Sepintas lalu, saya teringat dengan ungkapan salah seorang teoritisi sosiologi konflik : “Ketika menghadapi satu tujuan dengan motivasi untuk menang, maka setiap individu akan berfikir secara kelompok, tapi bila mereka merasa keselamatan pribadinya terancam, maka mereka akan berfikir perorangan. Dalam bahaya atau kemelut, kelompok cenderung menjadi buyar”. Ciaaaat, kata Bruce Lee. Satu orang pingsan. Satu lagi terkapar. Yang lain ?..... mereka akhirnya ragu-ragu dan buyar. Hal ini bila dikorelasikan dengan bidang kehidupan lain, bisa nggak? Dalam bidang politik misalnya ?.
Menarik sekali bila melihat “kesan-kesan” yang kita tangkap pada masa jelang Pemilu Legislatif 9 April 2009 yang akan datang. Tiap caleg selalu mengadakan seruan (appeal) untuk memberikan kesan bahwa rakyat yang akan memilih dan dirinya adalah satu. Di sana-sini terdengar janji-janji. Lihatlah spanduk, baliho ataupun sticker dan ragam jenis instrumen sosialisasi lainnya. “Wakil Kita Masa Depan Kita”, “Menciptakan Ekonomi Kerakyatan”, “Mari Kita Sejahterakan Rakyat” dan seterusnya dan seterusnya yang pada prinsipnya membuat kita mengklaim mereka “panduto raya”. Dalam kondisi ini, timbul indentifikasi antara kepentingan rakyat dan kepentingan sang caleg. Sedapat-dapatnya, sang caleg menciptakan kesan berfikir menurut jalan rakyat. Tapi apapun yang dilakukan oleh para caleg belakangan ini, wajar-wajar saja. Sosialisasi yang berhasil, menurut sosiologi politik, adalah yang mampu mengadakan “political engineering” – suatu penyiasatan politik untuk mencapai tujuan politik dan mewujudkan kemauan politik tertentu, dengan cara menciptakan suatu kerangka berfikir menurut kerangka acuan kelompok.
“Historia Vitae Magistra”, kata Bennedicto Croce. Sejarah memberi pengalaman. Pengalaman historis bangsa kita, memberikan pelajaran yang sama. Kolonialisme yang ingin ditumbangkan melahirkan kondisi kerangka berfikir yang sama dalam benak setiap ank bangsa kal itu. Indonesia merdeka pun menjelma. Kemudian, lahir sejumlah kelompok dan partai politik. Kemudian saling gontok-gontokan. Kemudian, terjadi instabilitas. Kemudian, kemudian dan kemudian. Menjadi pertanyaan : “Mengapakah orang-orang yang tadinya demikian bersatu padu, dalam waktu yang tak lama berselang, menjadi amat terpecah belah?”. Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang barangkali membuat rakyat menjadi masygul dan kritis menghadapi seruan politik dalam berbagai kampanye. Persatuan kepentingan dengan mereka dikerahkan sehabis-habisnya tatkala suara atau tenaganya dibutuhkan untuk mensukseskan suatu perjuangan politik. Tetapi begitu perjuangan mulai memperlihatkan hasilnya, mereka cenderung tidak diutamakan lagi, sekurang-kurangnya tak lagi sehebat ketika lagi berjuang. Ungkapan “Wakil Kita Masa Depan Kita” menjadi kehilangan makna.
Lalu bagaimana hubungannya dengan Silat Jet Lee diatas ? Dengan sedikit variasi : “dalam perjuangan politik orang cenderung berfikir kelompok, dalam menikmati hasilnya, orang cenderung berfikir sebagai perorangan”. Pagi hari minggu kemaren, lamat-lamat saya mendengar nyanyian anak-anak yang baru pulang dari Didikan Subuh : Berakit-rakit ke hulu/berenang-renang ke tepian/bersakit-sakit dahulu/bersenang-senang sendirian/. Saya lihat kemudian, rupanya mereka bernyanyi menghadap pada baliho gambar seorang Caleg yang terletak dekat musholla. Setelah nyanyi, mereka pun ketawa dan salah seorang nyeletuk, “Calegnyo bencong, lai laki-laki tapi bibianyo bagincu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar