Oleh : Muhammad Ilham
A. Latar Belakang Masalah
Ulama dikenal sebagai pemimpin umat Islam bukan saja dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang sosial kemasyarakatan. Sebagai pewaris nabi1, kehadiran seorang ulama tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan konsep komunitas Islam atau apa yang biasa disebut ummah, yaitu komunitas kaum beriman yang diikat oleh kesamaan pandangan tentang kesucian, moral dan spritual. Sebagai ikatan kaum beriman, ummah dapat pula dianggap sebagai komunitas-kognitif, dimana keyakinan transedental dan pengetahuan individu mendapatkan konfirmasi sosial (Abdullah, 1991: 16). Oleh sebab itu, ulama tidak hanya bisa dilihat dari segi apa yang dikerjakannya dan karakteristik pribadi, tetapi yang lebih penting dari itu adalah sejauh mana ummah memberikan pengakuan kepadanya.
Dalam menegakkan eksistensi dan meneruskan cita-cita ummah, seorang ulama dapat dianggap sebagai "perumus realitas" (definer of reality) tentang apakah yang riil dan bukan serta yang esensial dan aksidental serta sebagai penerus pengetahuan, terutama tentang apa yang dirumuskan oleh teks-teks suci (Rahardjo, 1984: 27). Dalam konteks ini, eksistensi dan tugas ulama sangat penting dan berat. Sebab dalam melakukan fungsinya, ia harus selalu berhadapan dengan masalah waktu yang selalu beralih dan tempat yang berbeda. Hal ini menuntut kemampuan ulama untuk menjadikan agar simbol dan idiom agama menemukan relevansinya dalam ruang sosial (social sphere) yang berlainan dan dimensi waktu (time dimention) yang beralih, agar ulama mampu menjaga dan mengayomi serta diakui eksistensi mereka oleh komunitas Islam dimana mereka berada.
Sebagai pemimpin komunitas Islam, ulama mempunyai tanggung jawab dalam merumuskan nilai-nilai dasar Islam itu ke dalam realitas sosial ummatnya, sehingga ummat dapat di bimbing dan diarahkan sesuai dengan ajaran Islam. Semua ini memperlihatkan bahwa ulama merupakan bagian dari kelompok sosial yang memiliki peranan besar dan signifikan dalam mempengaruhi arah dan perkembangan suatu masyarakat. Sejarah telah membuktikan, khususnya sejarah sosial politik Indonesia, bahwa kalangan ulama merupakan kelompok sosial yang memiliki potensi kepemimpinan yang besar sebagai perumus realitas dan penentu arah perkembangan suatu kelompok sosial (lebih lanjut lihat : Salotere dalam Kartodirdjo, 1981: 43-59; Abdullah, 1991: 12-75).
Menurut Nashir (1997: 79-80) bahwa kepemimpinan ulama itu berubah dan berkembang sejalan dengan perkembangan atau dinamika peran yang terjadi dalam masyarakat terutama masyarakat yang sedang berubah dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern atau dari masyarakat mekanik kepada masyarakat organik.1 Secara otomatis, fungsi dan peranan ulama sebagai salah satu pemimpin masyarakat Islam dengan sendirinya juga ikut berubah bila masyarakat Islam tersebut berubah kepada arah masyarakat modern. Beberapa kajian terdahulu yang pernah dilakukan oleh beberapa pakar seperti Ali (1984), Kuntowijoyo (1998), Rahardjo (1993), Noer (1982), Azra (1994), Pabotinggi (1984), Asfar (1997) dan lain-lain, memperlihatkan terjadinya perubahan-perubahan peran yang dialami oleh ulama sekarang dengan ulama masa dahulu. Pada masa lalu, ulama tidak hanya dianggap sebagai pemimpin agama saja tetapi juga memiliki peran diluar pemimpin agama bagi masyarakat, khususnya dalam urusan duniawi. Ulama sering ikut menangani permasalahan-permasalahan dalam bidang pertanian, perdagangan, kesehatan dan ketertiban masyarakat, seperti mengobati orang sakit, sebagai penasehat kejiwaan dan menjaga keamanan.2
Dalam konteks politik, sejarah telah memperlihatkan bahwa masyarakat Islam senantiasa merujuk pilihan dan tingkah laku politik mereka pada pilihan dan tingkah laku politik ulama dibandingkan dengan tokoh masyarakat yang lain (Walinono, 1987: 101).3 Ulama sering dilihat bukan hanya sebagai tokoh agama saja, tetapi juga tokoh adat dan politik. Sekarang, peran ulama yang begitu banyak mulai berubah dan ulama cenderung hanya berperan sebagai pemimpin agama saja. Terjadinya pembagian peran-peran sosial itu, seolah-olah fungsi ulama kemudian menjadi sempit. Dalam konteks ini, penyempitan peran ulama disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adanya birokratisasi4 yang dilakukan pemerintah terhadap ulama dan munculnya peran-peran baru dalam masyarakat dimana peran-peran tersebut menuntut keahlian tersendiri. Dalam bidang pertanian, perdagangan, kesehatan dan lain-lain memerlukan keahlian tertentu yang tidak dimiliki oleh seorang ulama. Semua hal diatas juga terjadi dalam bidang politik dimana selama ini ulama dijadikan rujukan politik oleh masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan politik menjadi berubah dan beralih kepada pemegang baru (yaitu para politisi yang mayoritas tamatan perguruan) serta dianggap memiliki kepakaran dalam bidang politik. Perubahan ini terlihat dalam beberapa pemilihan umum terakhir yang terjadi di Indonesia. Selama ini, pemilihan yang dilakukan satu kali dalam lima tahun bisa dijadikan sebagai indikator sejauh mana kepemimpinan politik ulama bisa terlihat.
Beberapa kali pemilu yang dilakukan pemerintah Indonesia setelah Indonesia merdeka yaitu tahun 1955 yang merupakan satu-satunya pemilu pada masa presiden Soekarno atau lebih dikenal masa orde lama dan pemilu masa orde baru tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 19975 memperlihatkan bagaimana ulama mampu berperan secara aktif dalam mempengaruhi orientasi pilihan politik masyarakat Islam di berbagai tempat, terutama di kecamatan Sungai Beremas yang ditetapkan sebagai lokasi dilakukannya penelitian. Kajian ini akan meneliti perubahan identifikasi politik ulama dan pengaruhnya terhadap pilihan politik ummat Islam di kecamatan Sungai Beremas dengan mengambil indikatornya dari hasil pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru dan setelah Orde Baru dengan fokus pada hasil empat pemilu terakhir yaitu pemilu tahun 1992, 1997, 1999 dan 2004. Selain itu, penelitian ini akan menelusuri faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan identifikasi politik ulama tersebut dan menganalisis bagaimana pengaruhnya tersebut terhadap pilihan politik ummat Islam di kecamatan Sungai Beremas.
B. Identifikasi Masalah
Di kecamatan Sungai Beremas sejak awal kemerdekaan hingga berakhirnya kekuasaan orde baru, ulama mampu menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan dalam mempertahankan eksistensi partai-partai politik Islam seperti partai Masyumi pada masa orde lama yang berhadapan dengan partai-partai nasionalis dan Parti Persatuan Pembangunan (PPP) pada masa orde baru yang berhadapan dengan Golongan Karya (Golkar).6 Golkar adalah organisasi peserta pemilu pada masa orde baru dan dianggap sebagai organisasi politik pendukung pemerintah bahkan dianggap sebagai partai politik milik pemerintah orde baru. Secara otomatis, Golkar mendapat banyak fasilitas dan banyak memperoleh kemudahan birokratis dalam melakukan sosialisasi politik dari pemerintah orde baru dibandingkan dengan PPP maupun Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang cenderung dipersulit untuk melakukan sosialisasi politik mereka.
Berbagai intimidasi maupun janji-janji manis melalui bantuan uang dan barang-barang material lainnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang dilakukan oleh penguasa terhadap masyarakat dan ulama, tidak mampu merubah secara signifikan pilihan politik masyarakat Islam dalam pemilu di kecamatan Sungai Beremas. Hal ini terlihat secara jelas pada pilihan raya yang dilakukan pada masa orde baru tahun 1971, 1977, 1982, 1987 dan tahun 1993.7 Pada masa-masa terakhir Orde Baru, tepatnya menjelang tahun 1997, beberapa ulama diberbagai daerah di kabupaten Pasaman bisa ditarik oleh penguasa (dalam hal ini aparat pemerintahan yang mempunyai kepentingan untuk memenangkan Golkar) untuk pindah kepada Golkar dan dijadikan calon legislatif. Pindahnya beberapa orang ulama tersebut dari PPP ke Golkar disebabkan oleh adanya konflik internal dalam PPP dimana calon-calon legislatif yang diajukan oleh PPP untuk ikut pemilu mayoritas berasal dari kalangan ulama disalah satu kecamatan saja.
Setelah masa Orde baru tahun 1997, terjadi pula dinamika yang sangat dinamis dalam masyarakat. Pada pemilu yang cukup demokratis pada tahun 1999 dan diikuti oleh banyak partai politik, sangat memungkinkan rakyat Indonesia khususnya di kabupaten Pasaman Barat, untuk memilih secara bebas dan memiliki banyak alternatif karena banyak partai politik yang ikut dalam pemilu ini dibandingkan pada masa orde baru yang hanya diikuti oleh dua partai politik dan Golkar. Namun diantara banyak partai peserta pemilu tahun 1999 tersebut, partai-partai masa orde baru tetap memperoleh suara yang cukup besar terutama PDI-P dan parti Golkar. Ilham (2000: 11-12) mengatakan bahwa di kabupaten Pasaman, partai Golkar (Golkar pada masa orde baru)8 memperoleh suara yang signifikan sama halnya dengan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P)9 serta Partai Amanat Nasional (PAN). Dalam laporan penelitian yang bersifat deskriptif tersebut terlihat bahwa calon-calon legislatif yang dijadikan oleh parti Golkar, PAN serta PDI-P bukan berasal dari kalangan ulama. Ulama-ulama yang selama ini ikut secara aktif dalam PPP dan Golkar, banyak yang dijadikan sebagai calon legislatif oleh partai-partai yang berasaskan Islam yaitu PPP dan Parti Bulan Bintang (PBB). Akan tetapi, dua partai ini (PPP dan PBB) tidak memperoleh suara yang maksimal, bahkan untuk wilayah kabupaten Pasaman (termasuk kabupaten Pasaman Barat sekarang) PPP dan PBB pada pemilu 1999 dianggap sebagai partai dengan perolehan suara yang cukup kecil. Padahal pengurus dan calon legislatif partai-partai ini banyak berasal dari para ulama yang pada masa orde baru terlibat aktif dalam dunia politik lewat PPP dan Golkar.
Fenomena ini juga berlanjut dalam pemilu tahun 2004 yang jauh lebih demokratis dibandingkan dengan pemilu tahun 1999.13 Laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten Pasaman Barat (Laporan KPU Pasaman Barat, April 2004: 11-31) memperlihatkan dominasi dari partai Golkar, PAN dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera).10 Mayoritas calon legislatif dari partai Golkar berasal dari pengusaha, bekas tokoh birokrasi dan pemuda.11 Sedangkan calon legislatif dari PAN mayoritas berasal dari tokoh-tokoh muda Muhammadiyah yang tidak bisa dikategorikan sebagai ulama dalam perspektif masyarakat umum. Demikian juga halnya dengan PKS yang didominasi oleh generasi muda Islam yang mayoritas memiliki latar belakang pendidikan sekuler.12 PPP dan PBB yang dianggap sebagai partainya orang Islam dan ulama serta penerus partai Masyumi, justru mengalami kekalahan.
C. Fokus dan Rumusan Masalah
Dengan latar belakang kajian diatas, rumusan masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah :
1. Mengapa terjadi perubahan identifikasi politik ulama dan pengaruhnya terhadap pilihan politik ummat Islam di Kecamatan Sungai Beremas?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut ?.
3. Apa pengaruhnya terhadap pilihan politik ummat Islam serta pengaruhnya terhadap ulama di Kecamatan Sungai Beremas ?.
Penelitian ini dilakukan di kecamatan Sungai Beremas Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat. Kemudian batasan temporalnya adalah masa Orde Baru dan pasca Orde Baru dengan fokus pada pemilihan umum tahun 1992 dan 1997 (masa Orde Baru) dan pemilihan umum tahun 1999 serta 2004 (pasca Orde Baru).
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dengan permasalahan seperti diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dinamika perubahan identifikasi politik ulama di kecamatan Sungai Beremas.
2. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya dinamika perubahan identifikasi politik ulama di kecamatan Sungai Beremas.
3. Untuk mengetahui dan memahami akibat dari dinamika perubahan identifikasi politik ulama tersebut terhadap pilihan politik ummat Islam dan ulama itu sendiri di kecamatan Sungai Beremas.
Kemudian, penelitian ini dipandang sangat penting untuk :
1. Mendapat pemahaman akademik tentang dinamika identifikasi politik ulama dan kepemimpinan politiknya sebagai salah satu unsur penting dalam memperkaya dinamika politik Indonesia, khususnya kecamatan Sungai Beremas. Dengan menganalisis dinamika perubahan kepimpinan politik ulama tersebut, maka akan didapatkan pemahaman akademik tentang penyempurnaan pembangunan demokrasi Indonesia.
2. Menganalisis tentang faktor-faktor yang menjadi sebab terjadinya dinamika perubahan identifikasi pilihan politik ulama dan pengaruhnya terhadap pilihan politik ummat Islam dan juga pengaruhnya terhadap ulama itu sendiri. Hal ini sangat penting bagi kajian ilmu sejarah dan ilmu politik.
3. Menganalisis kajian teoritis terhadap pentingnya manfaat kepemimpinan politik Islam, dalam hal ini kepemimpinan politik ulama bagi sistem demokrasi Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran
Kajian ini menggunakan konsep perilaku pemilih dan perubahan politik. dengan menganalisis pertanyaan asas daripada kemunculan teori ini iaitu "Mengapa seseorang melakukan amalan politik tertentu? Mengapa pilihan politik seseorang terhadap suatu parti politik cenderung konsisten, sementara yang lain berubah-ubah?" (Lipset, 1981; Mulkhan, 1991; Gaffar, 1988). Pertanyaan-pertanyaan ini akan dianalisis dengan tiga perspektif iaitu perspektif sosiologis, perspektif psikologi, dan perspektif rasional politis. Sedangkan konsep perobahan politik akan dianalisis konsep daripada Huntington (1994), Huntington (1999), Effendi (2003) dan Syamsuddin (2004). Konsep perobahan politik penting untuk dijelaskan untuk melihat perobahan politik yang terjadi di Indonesia dalam tempoh yang relatif singkat dan sangat mempengaruhi struktur-struktur sosial Indonesia, salah satu antaranya adalah kepimpinan politik ulama.
Mengapa seseorang melakukan tindakan politik tertentu, sementara yang lain tidak ? Mengapa seseorang memilih satu parti politik tertentu manakala yang lain memilih parti politik yang lain ? Mengapa pilihan seseorang terhadap suatu parti politik cenderung stabil dan konsisten setiap pilihan raya diamalkan manakala yang lain berubah-ubah ? Mengapa kelompok masyarakat tertentu cenderung mempunyai pilihan parti politik yang hampir sama ? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang memilih parti politik dalam pilihan raya ?
1. Perspektif Sosiologis
Perspektif sosiologis sebenarnya berasal daripada Eropa yang kemudian dikembangkan di Amerika Serikat oleh pakar-pakar ilmu politik yang memiliki latar belakang pendidikan Eropa. Karena itulah ada yang menyebut perspektif ini sebagai model sosiologi politik Eropa. David Denver ketika menggunakan perspektif ini untuk menjelaskan perilaku pemilih masyarakat Inggris, menyebutnya dengan social determinism approach. Pendekatan ini pada asasnya menghuraikan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokkan-pengelompokkan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokkan sosial seperti umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-perempuan) agama dan sebagainya dianggap mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokkan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, profesi, kelompok okupasi, kelompok penekan (pressure group) dan sebagainya maupun pengelompokkan informal seperti keluarga, perkawanan ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik, kerana kelompok-kelompok ini mempunyai peranan yang besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.
Dalam konteks perspektif ini, beberapa pakar menjelaskan perilaku pemilih dari kasus-kasus yang mereka teliti. Dean Jarros mencoba menghubungkan antara keanggotaan dalam suatu kelompok dengan perilaku politik seseorang. Ia menyederhanakan pengelompokkan sosial kedalam tiga kelompok yaitu kelompok primer, kelompok sekunder dan kelompok kategori. Gerald Pomper17 menguraikan pengaruh pengelompokkan sosial dalam kajian voting behaviour kedalam dua variabel yaitu predisposisi sosial-ekonomi pemilih. Menurutnya, predisposisi sosial-ekonomi pemilih dan keluarga pemilih mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku pemilih. Kemudian Seymor Martin Lipset18 melihat adanya hubungan antara agama dan jantina dengan kecenderungan perilaku pemilih (Mujani, 2004: 3-9). Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih. Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap parti politik tertentu.19
Dari berbagai ragam perbedaan dalam struktur sosial, yang paling tinggi tingkat pengaruhnya terhadap perilaku politik adalah faktor kelas (status ekonominya) terutama di hampir semua negara Industri. Namun untuk kasus Indonesia yang dilakukan oleh Affan Gaffar dijelaskan bahwa pengaruh kelas dalam perilaku pemilih di Indonesia tidak begitu dominan. Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku politik antara mereka yang masuk kedalam kategori orang kaya maupun orang miskin, antara yang memiliki tanah yang luas dengan yang sedikit, antara yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang dengan buruh tani dan sebagainya (Gaffar, 1988: 97-101).20 Walaupun banyak pakar politik di Indonesia yang tidak setuju dengan perspektif ini karena alasan bahwa di Indonesia tidak dikenal adanya kelas berdasarkan status ekonomi, bukan berarti teori ini tidak bisa dipakai untuk melihat perilaku pemilih masyarakat Islam Indonesia dalam pemilu. Ide dasar perspektif ini bisa menjadi model pendekatan yang dapat menjelaskan perilaku pemilih di Indonesia terutama ide tentang pengelompokkan masyarakat dari aspek tingkat pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal (kota-desa) dan lain-lain.
2. Pendekatan Psikologis
Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap perspektif sosiologis. Perspektif sosiologis dianggap sulit untuk diukur seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya. Secara materi patut dipersoalkan apakah benar variabel-variabel sosiologis seperti status sosial ekonomi keluarga, kelompok-kelompok primer atupun sekunder itu memberi kontribusi pada perilaku pemilih. Sosialisasilah yang sebenarnya menentukan, bukan karakteristik sosiologis.21 Menurut perspektif ini, para pemilih menentukan pilihan karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi. Sikap seseorang yang merupakan refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya.
Mengapa perspektif psikologis menganggap sikap sebagai variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih ? Adalah karena fungsi sikap itu sendiri yang menurut Greenstein ada tiga (Asfar, 1996: 53-55) yaitu : (i). Sikap merupakan fungsi kepentingan. Penilaian terhadap suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut (ii). Sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutan. (iii). Sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik atau tekanan psikis yang mungkin berwujud kepada mekanisme pertahanan diri seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan identifikasi.
Namun sikap bukanlah sesuatu yang bersifat telah ada sejak awal, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang, sejak lahir sehingga dewasa. Melalui proses sosialisasi ini kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan institusi kemasyarakatan atau partai politik, yang berupa simpati terhadap partai politik. Ikatan psikologis ini yang kemudian dikenal dengan identifikasi partai. Konsep identifikasi partai dijadikan sebagai variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih oleh pengikut perspektif psikologis. Identifikasi partai disini berbeda dengan voting. Identifikasi partai lebih kepada pengertian psikologis, yang ada dalam konstruksi pemikiran manusia dan tidak dapat diobservasi secara langsung, sedangkan voting merupakan tindakan yang jelas dan dapat diobservasi secara langsung. Bagi pengikut perspektif psikologis, hubungan antara perilaku identifikasi partai dengan perilaku pemilih sudah menjadi aksioma. Salah seorang tokoh perspektif ini, David Denver, setelah mengamati perilaku pemilih di di Inggris dan menemukan data bahwa sebahagian besar pemilih di Inggris memilih partai yang sama setiap pemilu selama seperempat abad merumuskan bahwa pilihan seseorang haruslah dipahami sebagai pernyataan loyalitas (identifikasi partai) yang dibentuk oleh pengalaman (sosialisasi) sepanjang hidup. Perspektif psikologis, sebagaimana halnya perspektif sosiologis, juga tidak lepas daripada kritik. Para pengkritik tersebut mempersoalkan antara sikap dan perilaku. Apakah benar sikap seseorang mempengaruhi perilakunya? Belum tentu orang yang menyukai partai politik tertentu dalam pemilu nantinya akan memilih sesuai dengan posisi sikapnya.
3. Perspektif Rasional Politis
Perspektif rasional politis dalam menjelaskan perilaku pemilih oleh pakar ilmu politik pada prinsipnya diadaptasi daripada ilmu ekonomi. Mereka melihat adanya analogi antara pasar (ekonomi) dengan perilaku pemilih (politik). Apabila secara ekonomi anggota masyarakat dapat bertindak secara rasional yaitu menekan biaya sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka dalam perilaku politik, masyarakat akan dapat bertindak secara rasional pula yaitu memberikan suara kepada partai politik ataupun calon legislatif yang diajukan oleh salah satu partai politik yang dianggap mendatangkan keuntungan.
Oleh karena itu, perilaku pemilih berdasarkan pertimbangan rasional tidak hanya berupa memilih alternatif yang paling menguntungkan (maximum gained) atau yang mendatangkan kerugian yang paling sedikit, tetapi juga dalam arti memilih alternatif yang menimbulkan resiko yang paling kecil. Dengan begitu, diasumsikan bahwa para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang ditawarkan maupun calon legislatif yang ditampilkan. Penilaian rasional terhadap para calon legislatif tersebut bisa didasarkan pada informasi, pribadi yang populer karena prestasi dan sebagainya. Dalam konteks ini, Him Melweit (Surbakti, 1992: 17) mengatakan bahwa perilaku pemilih merupakan pengambilan keputusan yang bersifat sementara dan cepat, tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan-keputusan lain.22
Perspektif ini juga menjelaskan bahwa perilaku pemilih memiliki hubungan dengan adanya tekanan-tekanan politik seperti tekanan struktural. Tekanan ini bisa dalam bentuk halus (mobilisasi) dan paksaan. Dalam konteks pemilu di Indonesia, berdasarkan pengalaman sejarah pemilu pada masa Orde Baru terdapat tiga bentuk paksaan yaitu ancaman administratif, ekonomi dan ideologi. Ancaman administrasi terlihat dalam perlakuan aparat pemerintah tingkat bawah dalam bentuk mempersulit pelayanan surat menyurat. Apabila seseorang tidak memilih salah satu partai politik yang dekat dengan pemerintah, maka pelayanan surat menyurat seperti mengurus KTP dan sebagainya akan dipersulit. Bentuk ancaman ekonomi bagi yang tidak memilih partai politik atau calon legislatif dari salah satu partai politik seperti kehilangan pekerjaan dan sebagainya, juga merupakan bentuk tekanan struktural yang bisa mempengaruhi seseorang memilih kecenderungan politik mereka dalam pemilu.
Meskipun perspektif rasional politis ini cukup memuaskan untuk menjelaskan perilaku pemilih, khususnya di Indonesia, masih ada berbagai pertanyaan yang belum terjawab secara memuaskan. Persoalan penting berasal dari asumsi perspektif rasional politis yang menganggap para pemilih mempunyai informasi yang relatif akurat mengenai setiap alternatif yang tersedia dan menganggap para pemilih bebas dari tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan kehendak lingkungan. Realitasnya, tidak semua pemilih mempunyai informasi yang cukup bagus mengenai isu-isu politik dan latar belakang calon legislatif yang diajukan suatu partai politik.
4. Perubahan Politik
Perubahan politik (potical change) selalu terjadi. Keberlangsungan hidup setiap pemerintah sangat tergantung kepada kemampuannya untuk mengubah dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di berbagai negara berkembang, pemerintahnya menjadi tidak stabil karena mereka kurang mempunyai kepandaian dan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan perobahan dalam masyarakat (Huntington, 1982: 23-24). Stabilitas suatu sistem politik selama satu masa waktu bukan berarti tidak ada perubahan melainkan karena sistem itu mampu mengubah tujuan-tujuan dan kepemimpinan yang ada secara damai. Kelompok yang puas di dalam masyarakat lebih menyukai perubahan tanpa kekerasan sedangkan kelompok yang tidak puas cenderung mendukung metode kekerasan (Huntington, 1990: 16).
Perubahan politik adalah transformasi struktur, proses atau tujuan-tujuan yang mempengaruhi distribusi dan penggunaan kekuasaan yang memerintah dalam suatu masyarakat. Perubahan politik bisa terjadi karena penyesuaian sistem terhadap tuntutan-tuntutan baru dan perubahan lingkungan atau karena suatu sistem tidak mampu lagi mempertahankan diri sehingga diganti dengan sistem yang lain. Perubahan politik yang terjadi secara luas dan berlangsung lama di dalam suatu masyarakat bisa disebut revolusi. Perubahan politik secara damai mungkin bisa disebut sebagai perbaikan dan bisa disamakan dengan perubahan konstitusional di dalam kepemimpinan atau penataan kembali pengaruh politik di dalam masyarakat (Eisseinstadt, 1989: 97).
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam (indeepth interview) dan komunikasi tertulis. Kemudian pengumpulan data juga didapatkan dari dokumen-dokumen yang merupakan data sekunder yang ada kaitannya dengan topik kajian. Wawancara dan komunikasi tertulis dilakukan dengan informan yang dipilih secara purposive-sampling. Langkah ini diambil karena pertimbangan bahawa proses penelitian kualitatif tidak mengenal konsep keterwakilan sampel dalam usaha untuk mencapai generalisasi suatu populasi. Prosedur yang dilakukan adalah dengan terus mencari informasi yang memenuhi syarat keluasan dan keterkaitan informasi yang sesuai dengan permasalahan dalam topik penelitian ini.
Wawancara dan komunikasi tertulis merupakan data primer dilakukan dengan tokoh-tokoh masyarakat yang diklasifikasikan kepada tokoh agama (ulama) terutama ulama yang merupakan anggota suatu partai politik dan terlibat secara aktif dalam politik di kecamatan Sungai Beremas, kemudian tokoh birokrasi-pemerintahan yang bukan berasal dari tokoh agama maupun tokoh adat. Wawancara juga dilakukan dengan masyarakat umum. Disamping itu dilakukan wawancara ataupun komunikasi tertulis dengan pimpinan institusi-institusi di kecamatan Sungai Beremas yang diperkirakan bisa melengkapi data yang ada hubungannya dengan permasalahan seperti Kanwil Departemen Agama kabupaten Pasaman Barat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Pasaman Barat, Kantor Dinas Sosial Politik Kabupaten Pasaman Barat dan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) di kabupaten Pasaman Barat. Wawancara dan komunikasi tertulis dibuat secara bebas dengan rujukan kepada pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendukung dan melengkapi data kajian.
Kemudian data sekunder untuk kajian ini dilakukan dengan penelitian perpustakaan untuk mengkaji bahan-bahan bacaan dan dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan topik permasalahan. Penelitian perpustakaan tersebut dilakukan di perpustakaan Pusat Studi Otonomi Daerah Universitas Andalas Padang Sumatera Barat, Laporan dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sumatera Barat dan kabupaten Pasaman Barat, Laporan dari Biro Sosial Politik Pemerintah Daerah kabupaten Pasaman Barat dan laporan dari Centre for Electoral (Cetro) Jakarta serta berbagai dokumen yang diperoleh secara pribadi dari beberapa NGO dan tokoh-tokoh politik ataupun ulama di kecamatan Sungai Beremas. Pengumpulan data-data tersebut diusahakan bisa menggambarkan fenomena yang utuh (integral) berdasarkan kepada fenomena yang ada dan model analisis yang ada hubungannya dengan tema-tema kajian terdahulu. Data yang dikutip dalam kajian ini dianalisis secara deskriptif dan dilakukan interpretasi secara kritis, khususnya berkaitan dengan perubahan kepemimpinan politik ulama di kecamatan Sungai Beremas. Interpretasi kritis mempertimbangkan konteks kefahaman sosial budaya masyarakat. Penulis memilih kaedah ini karena dapat menjamin pengumpulan data secara luas.
F. Sistematika Penulisan
Kajian ini mempunyai lima bab. Urutan bab disesuaikan dengan pertimbangan kronologi masa dan pemilihan huraian menjadi bab demi bab didasarkan atas klasifikasi tematik. Bab II akan membincangkan tentang kajian kepustakaan dengan menelusuri beberapa perdebatan teoritik yang mendukung penelitian ini, terutama perdebatan teoritik pilihan politik dan perubahan politik. Sedangkan bab III akan membahas tentang metode penelitian. Bab IV membahas tentang temuan penelitian. Sedangkan Bab V menyimpulkan seluruh aspek kajian dan menjawab permasalahan kajian. Bab ini juga membincangkan penemuan kajian dan sasaran yang dimajukan serta penutup.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Munir Mulkhan. 1989. Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam Indonesia 1965-1987. Jakarta: Rajawali Press
Ahmad Syafii Maarif. 1999. Politik Belah Bambu : Politik Islam Pada Masa Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Gema Insani Press
Alfian. Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES
Azyumardi Azra. 1993. Jaringan Ulama. Bandung: Mizan
_____________ . 1994. Pergolakan Politik Ummat Islam. Jakarta: Paramadina
Bakaruddin Ahmad Rosyidi.2000. UU Nomor 22/1999 dan Prospek Kepimpinan Ulama di Sumatera Barat. Laporan Penyelidikan. Padang: Genta Budaya
Bakhtiar Effendi. 1998. Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina
Chairusdi. 1999. Buya dalam Pandangan Budaya Masyarakat Minangkabau. Laporan Penyelidikan. Padang: Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang
Dawam Rahardjo. 1985. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES
Deliar Noer. 1992. Partai Politik Islam di Pentas Nasional. Jakarta: LP3ES
Diah Ambarwati. 2001. Tandeh Abih : Hilangnya Pengaruh Politik Pemimpin Lokal Minangkabau. Jakarta: Dian Ilmu Press
Fachry Ali. 1984. Pasang Surut Peranan Politik Ulama. Jakarta: LP3ES
Firman Hassan.2000. Otonomi Daerah dan UU Nomor 22 Tahun 1999. Kertas Kerja Seminar ICMI Sumatera Barat. Bukittinggi: 22-23 Januari 2000
Ghazali Mayuddin.1999. Pengundian dan Identifikasi Parti. Dalam Ghazali Mayuddin, Teori Sains Politik Pilihan : Aplikasi dalam Konteks Malaysia. UKM : Jabatan Sains Politik
Hasan Walinono. 1987. Kepemimpinan Lokal dan Kewibawaan. Jakarta: Rajawali Press
Henny Susilastri. 1999. Ulama dan Politisasi Lembaga Surau di Sumatera Barat. Jakarta: Hikmah Press
Ibnu Qoyyim. 1996. Kiai Penghulu dan Kapengulon di Jawa. Jakarta: GI Press
Irhash A. Shamad. 2002. Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah. Jakarta: Haifa Press
Johnson, Doyle Paul. 1989. Teori Sosiologi Klasik dan Moden. terjemahan. Jakarta: Gramedia
Kuntowijoyo. 1998. Identitas Politik Ummat Islam. Bandung: Mizan
Leflian Hadi.2000. Ulama Sumatera Barat dan Dinamika Politik Orde Baru. Bandung: Lentera
Mochtar Naim. 1994. Ulama Suluh Bandang dalam Nagari. Dalam Efri Haldi. 1994. Kepemimpinan Ulama di Minangkabau. Jakarta: Pustaka Hasta
Mochtar Pabottinggi. 1987. Dinamika Politik Ummat Islam pada Masa Orde Baru. Jakarta: Gramedia
Mohd. Asfar. 1997. Pergeseran Otoritas Kepemimpinan Politik Kiai. Jakarta: Gramedia
Mohd. Yusof Kasim (ed.). 2002. Politik Baru dalam Pilihan Raya Umum. Bangi: Penerbit UKM
Mugiman. 2001. Kemenangan Partai Golongan Karya di Kecamatan Ranah Batahan Kabupaten Pasaman : Perspektif Sosiologi Politik. Skripsi Sarjana S1. Padang: Universitas Andalas Padang
Muhammad Ilham. 1999. Analisis Sosiologis Intimidasi Politik terhadap Ummat Islam di Kecamatan Sungai Beremas. Laporan Penelitian. Padang: Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang
Sacchedina, Abdul Aziz A. 1989. Kepemimpinan Dalam Islam. terjemahan. Bandung: Mizan
Sartono Kartodirdjo. 1980. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya
Shiraishi, Takashi. 1994. Zaman Bergerak. Terjemahan. Yogyakarta: Shalahuddin Press
Syaiful Mujani, “Arah Baru Perilaku Memilih dalam Pemilihan Umum”, Kompas tanggal 10 Agustus 2004
___________ , “Partai Politik Islam dan Kepemimpinan Politik Berbasis Religius”, Kompas tanggal 16 Agustus 2004
___________ , “Perubahan Signifikansi Politik Aliran”, Kompas tanggal 21 Maret 2004
___________ , “Survey Perilaku Memilih Ummat Islam”, Kompas tanggal 21 Juni 2004
Syofyan Asnawi. 2000. Kepemimpinan Menurut Adat Minangkabau. Kertas Kerja Seminar ICMI Sumatera Barat. Bukittinggi: 22-23 Januari 2000
Taufik Abdullah (ed.). 1996. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press
Taufik Abdullah.2000. Sebuah Diktum Keramat dalam Sejarah Intelektual Minangkabau. Kertas Kerja Seminar ICMI Sumatera Barat. Bukittinggi: 22-23 Januari 2000
Tim Media Transparansi, “Evaluasi Pelaksanaan Pemilu 1971-1997, Media Transparansi Edisi 5/Februari 2005
Zaini Nashir. 1997. Kepemimpinan Ulama dalam Menghadapi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Kalam Press
Zamakhsyarie Dhoffier. 1982. Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES
www.cetro.or.id
www.lsi.or.id
www.lp3es.or.id
www.freedominstitute.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar