Pars Pro Toto TKI Malaysia

Oleh : Muhammad Ilham

HALUAN, 2 Agustus 2005. Cerita Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya baca TKI) di Malaysia – dan mungkin juga di negara lain – adalah cerita pergulatan keringat dan pertaruhan harga diri bangsa. Keinginan untuk memperbaiki kehidupan dan kuatnya “lambaian ringgit” membuat TKI menjadi cerita menarik di Malaysia. Hampir satu setengah juta jiwa TKI asal Indonesia mengadu nasib di seluruh pelosok Semenanjung Malaysia, mulai dari Johor hingga Kedah serta Sabah hingga Sarawak. Para TKI ini – bersama-sama dengan tenaga kerja asal Cina, India dan Birma serta Pakistan dan Bangladesh – menjadi entitas tersendiri di negara kerajaan yang berpenduduk lebih kurang 22 juta jiwa ini. Namun entitas TKI jauh lebih mencolok dibandingkan tenaga kerja dari negara-negara lain. Sehingga tidaklah salah apabila dalam perbendaharaan kosa kata masyarakat Malaysia ada kata yang sangat populer yaitu “Indon”, sebuah kata yang menunjukkan entitas orang Indonesia di Malaysia, spesifiknya para TKI – disamping kata “Bangla” untuk menunjukkan entitas tenaga kerja dari Bangladesh.
Di kawasan-kawasan tertentu seperti Kajang, Port Klang, Gombak, Cheras, Klang, Johor Bahru, Seremban, Hulu Langat, Port Dickson, Kuala Lumpur, Melaka, dan Sungai Petani, kata indon adalah kata populer dan sangat familiar. Tak diketahui proses lahirnya kata indon ini. Apakah demi efisiensi atau ejekan, seperti halnya neger untuk negro, sampai sekarang tidak diketahui secara pasti. Tapi yang jelas, ketika saya mulai kuliah di UKM bulan September tahun lalu, penyelia (pembimbing) saya lengkap memanggil nama negara asal saya dengan kata “Indonesia” dan tak pernah sekalipun saya dengar mereka menghilangkan huruf “esia”, sementara itu panggilan indon selalu saya terima ketika saya berbelanja di beberapa sudut kota Kuala Lumpur. Kata indon bahkan untuk diskusi-diskusi lepas yang saya lakukan dengan berbagai kalangan masyarakat Malaysia baik yang beretnis Melayu, India maupun Cina selalu diidentikkan dengan sisi negatif. Nasionalisme saya merasa tertantang. Benarlah kata Hannah Arendt (1988: 174) bahwa kadang-kadang nasionalisme muncul seketika dikala eksistensi simbol negara terlecehkan oleh entitas out group kita. Tapi apa nak mau dikate, cerita negatif tentang TKI belakangan ini di berbagai media massa Malaysia kembali menguatkan panggilan “Indon” identik dengan panggilan bernada ejekan. Kekerasan sosial seperti kasus-kasus pemerkosaan (bahasa Malaysia : rogol), jenayah dan pembunuhan selalu di blowup oleh media massa tempatan dan hampir selalu kejahatan tersebut bersumber dan melibatkan para TKI. Bahkan terkadang timbul prejudice bahwa pemberitaan berbagai media massa Malaysia terhadap kejahatan yang melibatkan para TKI terkesan sebagai sebuah grand disain – atau bisa saja character assasination – untuk membentuk opini bahwa TKI identik dengan kejahatan dan ketidakdisplinan. Padahal bila kita jujur melihat frekuensi kejahatan yang terjadi di Malaysia selain melibatkan para TKI, penduduk tempatan juga banyak yang melakukan kejahatan sosial. Kasus terakhir yang cukup fenomenal adalah penangkapan gank Mamak (mamak adalah panggilan bagi India muslim Malaysia) yang memiliki spesialisasi perampokan nasabah bank dan rumah-rumah mewah. Akan tetapi, kasus-kasus kejahatan yang melibatkan para TKI akhir-akhir ini justru menyedot perhatian dan opini masyarakat Malaysia sehingga di tengah-tengah masyarakat timbul anggapan pars pro toto. Pars pro toto adalah sebuah kesalahan dalam mengambil kesimpulan dimana kasus yang kecil dianggap mewakili entitas kasus tersebut dalam skala besar. Kasus-kasus kejahatan yang terjadi dan disebabkan oleh para segelintir TKI, karena pemberitaan berbagagi media massa, mengkondisikan timbulnya opini bahwa sebagian besar para TKI memiliki potensi besar untuk melahirkan kejahatan sosial.
Ada dua kasus kejahatan besar yang menyedot dan menarik emosi masyarakat Malaysia dua bulan terakhir ini. Kasus tersebut melibatkan TKI. Pertama kasus narkotika (dadah) dengan dihukum gantungnya dua orang pengedar ganja asal Aceh. Kasus dadah merupakan kasus sensitif bagi masyarakat Malaysia, terutama kalangan Melayu. Kejahatan dadah adalah kejahatan tak terampunkan dalam sistem hukum pidana kerajaan Malaysia. Sudah menjadi rahasia umum di Malaysia bahwa diantara ketiga etnik (melayu, india dan cina), maka generasi muda etnik melayu merupakan korban paling parah penggunaan dadah. Sehingga tidaklah mengherankan apabila di berbagai tempat pusat rehabilitasi ketergantungan dadah di Malaysia, hampir 90 % korbannya adalah generasi muda etnik melayu. Pemerintah kerajaan Malaysia merasa khawatir dengan kondisi ini. Bahkan dalam sebuah media massa, seorang petinggi UMNO pernah mengatakan bahwa pengedaran dadah di Malaysia merupakan disain besar untuk melemahkan generasi muda Melayu. Padahal sejak naiknya DR. Mahathir Mohammad ke tampuk kekuasaan, beliau – melalui kebijakan politik yang berpihak kepada etnik Melayu -- berusaha membangun dengan sekuat tenaga agar etnik melayu mampu bersaing dengan etnik Cina dan India. Kebijakan ini diteruskan dalam pendekatan dan gaya yang lain oleh Abdullah Ahmad Badawi. Karena itulah, masyarakat Malaysia terutama etnis melayu sangat sensitif dengan kasus-kasus dadah. Celakanya, berbagai kasus pengedaran dadah di Malaysia selalu melibatkan para TKI. Hukuman gantung bagi dua orang pengedar dadah asal Aceh – dan juga terhadap kasus-kasus dadah terdahulu – di blowup oleh berbagai media massa Malaysia yang pada akhirnya membentuk kondisi pars pro toto diatas. Dalam berbagai diskusi dengan masyarakat awam di kedai-kedai minuman, saya sering mendengar ungkapan : kalau tak karena orang Indon, tak kan dadah ade di Malaysia. Hal ini juga terjadi di Indonesia ketika orang-orang Nigeria banyak yang tertangkap dengan satu modus yang sama, mengedarkan heroin. Pars pro toto akhirnya juga timbul dalam benak masyarakat Indonesia. Padahal kalau kita mau jujur, tak semua orang Nigeria yang “mengadu nasib” di luar negara mereka, berkelakukan seperti itu.
Akhir tahun kemaren, rakyat Malaysia kembali dihentakkan oleh kasus memilukan, seorang anak kecil berumur 10 tahun diperkosa selepas pulang dari mengaji. Kejadian ini terjadi di daerah Sungai Petani Kedah. Setelah diperkosa, anak tersebut dibunuh dan “ditanam” di perkebunan kelapa sawit milik tauke Cina. Dan Malaysia pun gempar. Satu hari setelah ditemukannya mayat tersebut, langsung 14 orang TKI yang bekerja di kebun kelapa sawit itu ditahan. Akhirnya didapatkan satu tersangka utama, seorang anak muda berumur 24 tahun asal Bali, Indonesia. Kejadian memilukan ini menjadi headline berbagai media massa Malaysia hampir satu bulan penuh. Pemberitaan kasus ini berakhir setelah Tsunamy terjadi. Dengan sendirinya hal ini mampu menaikkan “spaning” emosi berbagai lapisan rakyat Malaysia. Bahkan seorang Najib Tun Razak, sang deputi PM Malaysia, mengutuk dengan keras kejadian ini serta merekomendasikan agar para TKI illegal yang akan dipulangkan pada masa pengampunan (Desember 2004 s/d Januari 2005) diwajibkan untuk diambil sidik jarinya ketika akan meninggalkan Malaysia karena diasumsikan para TKI illegal ini memiliki potensi besar pelaku kejahatan masa yang akan datang. Pada masa itu, ketika kita makan di kedai-kedai makanan, telinga kita akan “merah” mendengar berbagai komentar berbagai lapisan masyarakat Malaysia.
Kita setuju bahwa pelaku kejahatan narkoba harus dihukum berat. Pemerkosa sadis perlu dan wajib dipenjarakan. Hukum gantung ataupun hukuman seumur hidup adalah persoalan mekanisme hukum kontekstual. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Persoalan akan timbul dan masuk kedalam wilayah penggerogotan “harga diri bangsa” ketika pars pro toto terjadi. “Segelintir sangat kecil” para TKI yang berbuat salah justru menyebabkan para TKI lain harus menanggung beban “nama buruk”. Rasa kata indon tidak lagi menunjukkan identitas sebuah bangsa, tapi justru lebih identik dengan negative streotype.