Jombang, ada-ada saja. Daerah santri di Jawa Timur ini ibarat Minangkabau pada awal hingga pertengahan abad ke-20. Melahirkan fenomena dan tokoh multi-talenta. Minangkabau pada awal hingga pertengahan abad ke-20, melahirkan tokoh-tokoh sosialis-komunis sekaliber Tan Malaka, sang nasionalis Hatta, Syahrir yang sosialis, Agus Salim yang religius-nasionalis, Natsir dengan “Masyumi”nya, M. Yamin dengan nasionalis-romantiknya, bahkan Chalid Salim yang atheis, ulama-ulama modernis seperti HAKA, yang “komunis” a-la Dt. Batuah hingga ulama-ulama tradisionalis-tareqat. Sangat beragam dengan level yang bukan hanya “lokal”. Demikian juga Jombang pada saat sekarang ini. Sebagaimana halnya Minangkabau pada masa dulu, Jombang juga melahirkan figur-figur yang “mencengangkan”. Di Kota ini, lahir tokoh pemikir Islam Nurcholish Madjid (Cak Nur), budayawan “mbeling” Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), penjahat fenomenal Kusni Kasdut, Pelawak Asmuni hingga Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan “sang penjagal” Ryan juga berasal dari kota ini. Jombang, seakan-akan tidak pernah sepi dari pemberitaan. Terakhir yang paling unik dari kota ini adalah fenomena Dukun Cilik Ponari.
Ponari, sang dukun cilik (ini mungkin bahasa media) asal Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh Jombang mampu menyedot ribuan masyarakat untuk berobat. Sebagian pasien meyakini dirinya sembuh, tapi pakar mengatakan itu hanya sugesti. Benarkah batu Ponari bisa menyembuhkan penyakit? Fenomena masyarakat tersebut bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia. Pendekatan terapi alternatif meski tidak rasional dan tidak sesuai dengan kaidah medis modern lebih sering dapat diterima oleh kelompok masyarakat tertentu. Fenomena ini tampaknya mungkin hampir sama dengan kecenderungan yang ada dalam masyarakat mengapa film atau cerita yang berbau mistis lebih laris dan diminati. Banyak faktor yang mempengaruhi mengapa terapi alternatif, mayoritas terkesan klenik, masih menjadi primadona masyarakat Indonesia. Faktor ekonomi, sosial, pendidikan dan pengetahuan masyarakat sangat mempengaruhi perilaku tersebut. Faktor ekonomi sering disebut sebagai biang keladi mengapa terapi alternatif tumbuh subur. Tetapi bila dicermati faktor ekonomi sebenarnya bukanlah yang utama. Hal ini dapat dilihat sewaktu berobat ke Ponari masyarakat harus menyumbang uang administrasi atau keamanan sebesar seribu hingga lima ribu rupiah ditambah uang sukarela untuk keluarga sebesar sepuluh ribu hingga duapuluh ribu rupiah. Belum lagi beberapa orang harus menggunakan biaya transportasi yang jaraknya relatif jauh. Bandingkan dengan Rumah Sakit dan Puskesmas terdekat yang relatif sudah menyediakan biaya gratis untuk pasien tidak mampu. Bukan rahasia lagi bahwa banyak masyarakat berduit juga beralih ke terapi alternatif.
Tetapi masyarakat harus cermat dalam menerima informasi kesembuhan pasien Ponari. Tidak seperti dalam terapi medis untuk menilai keberhasilan terapi harus dengan alat ukur klinis dan laboratorium. Dalam terapi alternatif biasanya alat ukur yang dibuat adalah pengakuan penderita. Seringkali sugesti dan faktor kepercayaan membuat nyaman secara psikologis sehingga keluhan penyakitnya sementara tertutupi. Hal ini akan membuat lebih spektakular dan bombastis bila pengakuan tersebut beredar dari mulut ke mulut. Mungkin setelah air yang dicelup batu Ponari secara segesti membuat badan nyaman, seorang penderita stroke mendapat dapat energi ekstra untuk berdiri sesaat, tetapi berita yang keluar adalah seorang stroke bisa berjalan setelah diobati Ponari. Isu kehebatan Ponari akan dihembuskan lebih hebat lagi oleh berbagai pihak yang mengeruk keuntungan materi dari ribuan pasien yang berbondong-binding ke desanya. Berbeda dengan pengakuan keberhasilan terapi alternatif, sebaliknya ketidak berhasilannya tidak akan beredar dari mulut ke mulut. Hal inilah yang mengakibatkan ketidakberhasilan, efek samping dan komplikasi yang ditimbulkannya dari terapi alternatif jarang terungkap.
Penggunaan terapi alternatif secara klinis masih belum dilakukan penelitian secara menyeluruh tentang manfaat dan efek sampingnya. Sehingga seringkali klinisi tidak bisa mengungkapkan kemungkinan bahaya penggunaan terapi alternatif. Sampai saat inipun masih belum ada penelitian klinis yang dapat membuktikan efek samping dan bahaya berbagai terapi alternatif. Bahaya dari terapi alternatif adalah sering mengakibatkan keterlambatan penanganan bagi penderita yang seharusnya dapat disembuhkan secara medis. Keterlambatan penanganan tersebut mengakibatkan timbulnya komplikasi yang lebih berat dari penyakit itu sendiri. Dalam keadaan tertentu mungkin terapi alternatif tidak menjadi masalah bila keadaan penyakit sudah sangat berat dan secara medis dokter sudah tidak bisa menangani lagi.
Merupakan peta pertarungan antara rasionalitas dengan irrasionalitas. Tiga irrasionalitas dalam ruang publik saat ini—sekurang-kurangnya melalui mass media—beradu memperebutkan opini publik. Dan terlihat, beberapa kali rasionalitas harus kebakaran jenggot. Irrasionalitas menang, rasionalitas bertekuk lutut. Bagi para ilmuwan irrasionalitas tak hanya berbahaya. Berbahaya karena irrasionalitas tak dapat diteliti, tak dapat dikontrol dan tak dapat dikendalikan oleh mereka. Sekurang-kurangnya pendekatan rasional seperti inilah (dapat diteliti, dapat dikontrol, dan dapat dikendalikan) yang terjadi semenjak zaman modern berlaku. Rasional manakala mencukupi beberapa klaim, di luar itu pengetahuan seberapa pun canggihnya dianggap irrasional, mistik, dan klenik. Secara sosiologis orang-orang modern mempercayai bahwa sejarah manusia bergerak linier. Sebutlah August Comte yang ditasbihkan sebagai Bapak Sosiologi, ia menyatakan bahwa perubahan masyarakat dimulai dari teologis kemudian metafisik dan yang paling mutakhir adalah positivistik. Meski ilmu pengetahuan dan teknologi sudah cukup membudaya di negeri ini, kepercayaan akan hal-hal di luar nalar tetap menjamur dan terwariskan dari satu ke generasi selanjutnya. Belajar dari logika ilmu alam, para ilmuwan sosial positivistik menganggap bahwa dengan menemukan hukum sosial suatu gejala sosial, maka perubahan ke depannya akan dapat diprediksi, dikalkulasi dan dikendalikan. Nalar ini menjamur di era 1970-an. Paradigma positivisme dengan kuantitatifnya lebih mendapat simpati di perdebatan ilmiah.
Dalam babak pegulatan ilmu pengetahuan sosial, kita lihat Teori Kritik Sosial datang untuk mengoreksi kepercayaan positivistik itu. Adorno dan Horheimer menyatakan bahwa logos masyarakat modern tak ubahnya mitos masyarakat primitif. Melampaui paradigma positivistik atau kritis, posmodern datang membawa kabar gembira. Pertarungan antara rasionalitas dengan irrasionalitas tidak mengharuskan salah satu yang menjadi pemenangnya. Baik rasional pun irrasional, dua-duanya patut dirayakan, patut dipertimbangkan dan dipergunakan. Semenjak itu, kearifan-kearifan masyarakat tradisional atau pedalaman tidak ditindas dan diberangus oleh klaim rasional, berbudaya atau beradab. Sebutlah Mbah Marijan yang membawa kabar gembira bahwa Merapi tidak akan meletus, merupakan salah satu dari sekian banyak kearifan lokal yang tak terpahami oleh nalar positivistik. Namun, fakta menunjukan bahwa kearifan itu pada titik tertentu ternyata lebih canggih daripada teknologi deteksi gempa, pencatat aktivitas gunung yang diselenggarakan lembaga modern nan rasional. Boleh jadi beberapa fenomena irrasional itu memberi peluang untuk membuka pintu irrasional yang telah lama ditutup, dibungkam dan ditindas oleh rasio modern. Dalam alam posmodern, semuanya menjadi sah, dan semuanya menjadi layak untuk kita perhatikan, baik rasionalitas pun irrasionalitas. Selamat datang irrasionalitas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar