Oleh : Muhammad Ilham
A. LATAR BELAKANG
1. Migrasi, atau dalam bahasa lain – merantau, merupakan fenomena sosial yang dilegitimasi oleh asas normatif kultural Minangkabau (karatau madang daulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, dikampuang baguno alun).
2. Merantau merupakan konsep spesifik sosiologis kultural (specific concept of culture sociologic), khas Indonesia (Melayu-Minangkabau) yang secara sosiologis mengandung enam unsur pokok (lebih lanjut lihat Mochtar Naim, 1984: 2-3)
3. Secara sosiologis, merantau adalah relatively moving away from one geographical location to another (David Lee, 2001: 62).
4. Fenomena migrasi atau (khasnya : merantau) tidak terlepas dari berbagai motivasi. Secara sosiologis antropologis, merantau memiliki motivasi ekonomi (lihat Brinley Thomas, 1989: 55), ekonomi yang membudaya (culturized economic) (lihat Mochtar Naim, 1984: 48), resistensi ekonomi dan budaya (culture and economic resistention ) (lihat Mochtar Naim, 1984 : 72; Kartini Syahrir, 1988 : 77) dan resistensi politik (political resistention) (lihat Mochtar Naim, 1984 : 93; Tamrin Amal Tomagola, 1994: 38).
5. Secara umum, merantau dalam perspektif historis, sosiologis dan kultural Minangkabau dilatarbelakangi oleh motivasi perbaikan ekonomi dan resistensi budaya.
6. Tujuan merantau secara sosiologis selalu berdasarkan kepada pertimbangan ekonomi, dimana tujuan utama adalah pusat-pusat sirkulasi ekonomi (Kartini Syahrir, 1988: 12) dan tujuan yang berdasarkan kepada pertimbangan asosiasi klan ataupun etnis (Brinley Thomas, 1989: 92). Kota-kota besar, pusat-pusat perdagangan dan link-link spatial (lihat Kartini Syahrir, 1988) yang dibangun oleh etnis Minangkabau merupakan tujuan orang-orang Minangkabau merantau, baik didalam negeri maupun diluar negeri.
7. Tradisi merantau di Malaysia diasumsikan telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda (Mochtar Naim, 1984 : 77; Tamrin Amal Tomagola, 1994: 14; Wan Syahibuddin Wan Idris, 1999: 37-61). Motivasi utama pada masa itu adalah motivasi adanya resistensi politik (Mochtar Naim, 1984: 104). Setelah kemerdekaan, motivasi merantau beralih kepada motivasi ekonomi dan ini berlanjut hingga saat sekarang.
8. Lingk-Link Spatial merupakan salah satu faktor dan motivasi terpenting orang minangkabau merantau ke Malaysia pasca kemerdekaan. Sehingga tidak mengherankan apabila perantau-perantau minang membentuk enclave-enclave tersendiri di beberapa daerah Malaysia. Talcott Parsonn (1989: 77) mengatakan bahwa social enclave terbentuk karena perwujudan proteksi dan aktualisasi nilai-nilai budaya.
9. Di Malaysia banyak ditemukan enclave-enclave perantau minangkabau diantaranya kumpulan perantau dari daerah Pesisir Selatan. Masing-masing daerah memiliki kecenderungan profesi yang sama, sehingga diasumsikan pola merantau yang mereka lakukan disamping adanya resistensi ekonomi adalah dikarenakan timbulnya Link Spatial.
10. Timbulnya kelas-kelas dalam lingkungan sosial perantau pesisir selatan. Perantau yang sudah dianggap sebagai WN Malaysia merupakan kelas tertinggi, sedangkan yang telah memiliki IC (identity Card) dianggap lebih berkelas dibandingkan perantau yang hanya memiliki visa apalagi yang dianggap sebagai TKI Illegal. Konsekuensi dari semua ini, terjadinya distorsi nasionalisme di beberapa kelas perantau pesisir Selatan.
B. PERMASALAHAN
Mayoritas para perantau Minangkabau berasal dari daerah Pesisir Selatan, Agam dan Pasaman di Semenanjung Malaysia (Malay Peninsular) tersebar di beberapa daerah seperti di Selangor, Negeri Sembilan, Malaka, Johor dan Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur. Para perantau (migrant) di daerah Selangor mayoritas berasal dari daerah Pesisir Selatan dan Pasaman yang tersebar di daerah Hulu Langat, Kajang, Shah Alam, dan Klang. Karakteristik dari perantau Minangkabau yang berasal dari daerah Pesisir Selatan – dan daerah-daerah lain Minangkabau – terlihat dari kesamaan profesi dan terciptanya kesamaan enclave tersendiri. Akan tetapi yang lebih spesifik adalah kesamaan profesi memiliki korelasi dengan asal daerah. Di daerah Hulu Langat, misalnya, profesi berjual buah-buahan mayoritas berasal dari daerah Bayang dan Balai Selasa. Sedangkan yang berprofesi sebagai penjual Es Krim (ice cream) mayoritas berasal dari daerah Air Haji. Sedangkan perantau yang berasal dari daerah Pasaman mayoritas berprofesi sebagai penjual sayur-sayuran.
Kesamaan enclave justru terlihat agak cair dimana perantau Minangkabau yang berasal dari Pesisir Selatan banyak berdampingan dengan perantau dari daerah Pasaman yang banyak berprofesi sebagai penjual sayur. Sehingga ini menimbulkan ikon ataupun imej tersendiri. Ketika ada orang Minangkabau di Malaysia menyebut profesinya sebagai penjual buah-buahan maka dengan otomatik orang akan menganggapnya berasal dari Bayang atau Balai Selasa. Ini juga terjadi untuk profesi penjual es krim untuk orang Air Haji dan penjual sayur-sayuran bagi orang Pasaman.
Berangkat dari penjelasan penjelasan diatas, maka dirumuskan beberapa item pertanyaan yang akan menjadi titik fokus penelitian, iaitu :
1. Bagaimana proses terciptanya enclave dan lingk spatial perantau Minangkabau di daerah Selangor Malaysia ?
2. Bagaimana perantau Minangkabau di daerah Selangor Malaysia memandang in-group dan out group mereka ?
3. Bagaimana perantau Pesisir Selatan di daerah Selangor Malaysia memandang keberagaman identitas mereka didaerah rantau ?
C. SKOP KAJIAN
Dari item-item rumusan masalah diatas, maka skop kajian yang ingin dibahas adalah :
1. a. Proses yang dilihat dalam kerangka historis.
b. Proses yang dilihat dalam kerangka sosiologis-antropologis.
c. Penekananan kepada antro-demografis.
2. a. Pandangan perantau pesisir selatan terhadap etnis Melayu, India dan.
Cina
b. Pandangan perantau pesisir selatan terhadap etnis Indonesia lainnya
sesama perantau di Malaysia.
3. a. Nasionalisme Kedaerahan
b. Nasionalisme Keindonesiaan.
D. BEBERAPA KAJIAN MIGRASI TOPIKAL
1. Mochtar Naim (1984) lewat karya klasiknya Merantau. Dalam karya yang merupakan dissertasi Ph.D-nya di Universitas Singapura ini juga dibahas mengenai perantau-perantau Minangkabau di beberapa daerah di Malaysia terutama di Selangor (tujuan terbesar perantau Minangkabau) yang meliputi daerah Hulu Langat, Klang, Port Klang, Jelebu dan Shah Alam. Kemudian daerah Johor Bahru, Pahang, Negeri Sembilan dan daerah-daerah lainnya. Akan tetapi Mochtar Naim tidak menyinggung masalah enclave dan link spatial serta kesamaan profesi. Bahkan tidak disinggung rasa nasionalisme kedaerahan.
2. Kartini Syahrir (1988) membahas tentang Asosiasi Klan Batak di Berbagai Kota Besar di Indonesia. Kartini, dalam bukunya ini, menyinggung adanya pola enclave dan link spatial yang terjadi pada masyarakat Batak dibeberapa kota-kota besar di Indonesia. Namun daloam karya ini tidak dibahas tentang pola enclave dan pola link spatial serta tidak dibahas mengenai distorsi rasa kedaerahan (nasionalisme kedaerahan).
3. David Lee (2001) dalam salah satu bagian bukunya yang berjudul Asimilation Ethnic in Malaysian : Problem and Sollution, menyinggung potensi perantau Minangkabau untuk menciptakan enclave tersendiri sebagaimana halnya yang terjadi bagi orang Cina diberbagai belahan dunia (China Town). Namun dalam buku ini, pembahasannya sangat sedikit dan terkesan distortif serta subjektif. Pembahasan tentang Link Spatial tidak dibahas, apalagi mengenai rasa kedaerahan perantau Minangkabau, tidak disinggung sedikitpun.
4. Tamrin Amal Tomagola (1994) dalam tulisannya tentang Perbedaan Migran Batak dan Minangkabau Dibeberapa Kota Besar di Indonesia menyinggung mengenai karakteristik perantau minang yang identik dengan pedagang sedangkan perantau batak identik dengan sopir dan pekerja otot. Dalam tulisannya ini, Tomagola berhasil melihat adanya link spatial tapi tidak terlihat adanya enclave tersendiri. Ikatan kedaerahan juga tidak dibahas dalam tulisan ini.
E. SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka penelitian ini memiliki signifikansi sebagai berikut :
1. Perantau Minangkabau merupakan asset terbesar daerah Propinsi Sumatera Barat. Kontribusi ekonomi perantau Minangkabau bagi daerah mereka, tidak bisa dianggap kecil. Untuk itu, kajian ini penting dilakukan untuk melihat tingkat kontribusi dan implikasi dari kontribusi perantau tersebut bagi pertumbuhan ekonomi daerah Sumatera Barat.
2. Dengan adanya kelas-kelas yang tercipta karena faktor sosiologis-politis di Malaysia dikalangan perantau Minangkabau, maka hal ini akan menimbulkan distorsi ikatan kedaerahan. Kecintaan terhadap in-group mulai memudar. Secara politis, ekonomis, sosio-kultural dan nation, hal ini jelas merugikan bagi daerah Minangkabau. Kajian ini sangat penting dilakukan untuk melihat bagaimana hal ini bisa terjadi. Berangkat dari hal tersebut, maka diharapkan timbul beberapa alternatif solusi.
3. Beberapa kajian tentang migran Minangkabau, terutama di beberapa daerah di negara Malaysia, yang telah dilakukan, belum terlihat secara detail dan spesifik mengenai timbulnya enclave dan link spatial. Kajian ini penting dilakukan untuk berusaha menambah aspek aksiologi dan epistimologi penelitian sejenis terdahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar