Demokrasi memakan anak kandungnya. Sebagai salah satu instrumen demokrasi, demonstrasi telah kehilangan ruhnya. Anarkisme dan pragmatisme-instan telah mengalahkan “hati”. Belakangan ini, kita justru melihat demonstrasi justru memberikan kontribusi mencederai hakikat luhur demokrasi. Apa yang sebenarnya terjadi ? Mengapa alam demokrasi yang “mulai ramah” di Indonesia, justru tidak bisa melahirkan tradisi berdemokrasi yang demokratik dan bermartabat? Apa kata dunia (meminjam istilah Nagabonar), bila demonstrasi identik dengan anarkisme dan “proyek”?.
Dalam perspektif komunikasi politik, kondisi sosial sekarang telah terjadi nabalisme komunikasi. Artinya, pesan dan substansi telah kehilangan konteks dan justru yang terjadi adalah kebosanan dan deviasi pesan (penyimpangan pesan). Tanyalah masyarakat secara acak (khususnya masyarakat “akar rumput”) konsep demonstrasi. Mayoritas jawaban cenderung mengatakan bahwa demonstrasi adalah anarkisme, mubazir dan tidak efektif. Parahnya lagi, demokrasi diposisikan sejajar dengan pemahaman demonstrasi. Gara-gara demokrasilah, terjadi “premanisme” transformasi pendapat, dan seterusnya. Substansi kehilangan konteks karena telah terjadi penyuguhan demonstrasi anarkis secara berketerusan, sehingga pemahaman substansi demokrasi kena imbasnya. Jadi, janganlah heran bila ada kalangan masyarakat yang justru “merindukan” kondisi stabil, walau otoriter, pada masa Orde Baru.
Nabalisme politik juga terlihat dari spanduk, baliho dan berbagai bentuk advertising para calon legislatif. Menjelang Pemilu legislatif 9 April 2009 mendatang, diseluruh sudut daerah, baliho dan spanduk para caleg “yang mengadu peruntungan”, terpampang dengan semua aksesoris dan redaksi bahasanya. Estetika eksterior jelas-jelas tidak terlihat. Pohon, tiang listrik, jembatan, sudut-sudut jalan, pertokoan, halte, infrastruktur publik dan pembatas jalan protokol, penuh dengan baliho dan spanduk yang menampilkan para caleg dalam versi variatif terkadang lucu : melambaikan tangan, menunjuk nomor urut, senyum sedikit, sedikit tertawa tampak gigi, berdiri disamping tokoh partainya, bahkan yang lucunya ada caleg laki-laki yang bila dilihat secara “serius” justru pakai lipstik (coba lihat bibir para caleg, rata-rata merah-ranum) Kata-kata yang disampaikan dalam baliho atau posternya tersebut sangat empati, patriotik, propagandis tapi tetap menampilkan kesan bahwa pesan itu disampaikan bukan dengan “hati”. Salah satu baliho yang cukup membuat kita tertawa adalah baliho caleg yang terdapat didalamnya kata-kata : “Pilihlah saya, pengurus jenazah kota Padang”. Ada lagi kata-kata lucu lainnya : “bila saya terpilih, lomba mancing terus kita lakukan”. “Caleg pilihan Pemburu Babi”. Gila. Namun secara umum, seluruh baliho menampilkan tulisan-tulisan klaim sepihak dan ingin menyampaikan pesan kepada para pembaca bawa kata-kata itu pada prinsipnya “berbalik” dengan kondisi sebenarnya. “Pilihan Kita adalah Wakil Kita yang akan Berjuang untuk Kita”, “Mengabdi dengan Penuh Pengabdian Demi Rakyat”, “Hidup adalah Perbuatan, Saya akan Berbuat” (mungkin Sutrisno Bachir salah cari moto, pabuatan dalam bahasa Minangkabau justru berkonotasi negatif), “Jangan Ragu, Jangan Bimbang karena Saya Tak Pernah Ragu dan Bimbang untuk Berbuat Untuk Rakyat”, dan seterusnya.
Para Caleg umumnya tak ada yang “main-main” dari aspek performance, berusaha tampil gagah-cantik dengan kata-kata empatik-mengharukan. Tapi yang herannya, banyak masyarakat berkata : “peragawan panduto”. Peragawan bukan pengakuan akan kekaguman fisik, tapi lebih kepada kemuakan (nabalisme). Sebaik apapun kata-kata yang disuguhkan, klaim “panduto” yang justru mengedepan.
Nabalisme politik juga terlihat dari spanduk, baliho dan berbagai bentuk advertising para calon legislatif. Menjelang Pemilu legislatif 9 April 2009 mendatang, diseluruh sudut daerah, baliho dan spanduk para caleg “yang mengadu peruntungan”, terpampang dengan semua aksesoris dan redaksi bahasanya. Estetika eksterior jelas-jelas tidak terlihat. Pohon, tiang listrik, jembatan, sudut-sudut jalan, pertokoan, halte, infrastruktur publik dan pembatas jalan protokol, penuh dengan baliho dan spanduk yang menampilkan para caleg dalam versi variatif terkadang lucu : melambaikan tangan, menunjuk nomor urut, senyum sedikit, sedikit tertawa tampak gigi, berdiri disamping tokoh partainya, bahkan yang lucunya ada caleg laki-laki yang bila dilihat secara “serius” justru pakai lipstik (coba lihat bibir para caleg, rata-rata merah-ranum) Kata-kata yang disampaikan dalam baliho atau posternya tersebut sangat empati, patriotik, propagandis tapi tetap menampilkan kesan bahwa pesan itu disampaikan bukan dengan “hati”. Salah satu baliho yang cukup membuat kita tertawa adalah baliho caleg yang terdapat didalamnya kata-kata : “Pilihlah saya, pengurus jenazah kota Padang”. Ada lagi kata-kata lucu lainnya : “bila saya terpilih, lomba mancing terus kita lakukan”. “Caleg pilihan Pemburu Babi”. Gila. Namun secara umum, seluruh baliho menampilkan tulisan-tulisan klaim sepihak dan ingin menyampaikan pesan kepada para pembaca bawa kata-kata itu pada prinsipnya “berbalik” dengan kondisi sebenarnya. “Pilihan Kita adalah Wakil Kita yang akan Berjuang untuk Kita”, “Mengabdi dengan Penuh Pengabdian Demi Rakyat”, “Hidup adalah Perbuatan, Saya akan Berbuat” (mungkin Sutrisno Bachir salah cari moto, pabuatan dalam bahasa Minangkabau justru berkonotasi negatif), “Jangan Ragu, Jangan Bimbang karena Saya Tak Pernah Ragu dan Bimbang untuk Berbuat Untuk Rakyat”, dan seterusnya.
Para Caleg umumnya tak ada yang “main-main” dari aspek performance, berusaha tampil gagah-cantik dengan kata-kata empatik-mengharukan. Tapi yang herannya, banyak masyarakat berkata : “peragawan panduto”. Peragawan bukan pengakuan akan kekaguman fisik, tapi lebih kepada kemuakan (nabalisme). Sebaik apapun kata-kata yang disuguhkan, klaim “panduto” yang justru mengedepan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar