Berbicara mengenai politik itu mudah, dimanapun bisa dilakukan. Bila saya pulang kampung, satu hal yang sangat saya rindukan ……. duduk di sebuah kedai, dipersimpangan empat dekat batang sungai Air Bangis yang hiruk-bising lagi polutif. 24 jam, kedai ini “hidup”. Energinya sungguh luar biasa. Seluruh topik jadi pembicaraan hangat. Tanpa teori apalagi metodologi. “Penguasa” forum, parameternya cuma satu …… “intonasi suara”. Awal Januari kemaren saya pulang kampung. Tak lupa saya singgah ke kedai di persimpangan empat tersebut, ingin “nimbrung” Today’s Dialog. Tanpa moderator, diskusi pun mulai. Bush yang dilempar sepatu, Megawati yang semakin cantik dan kamek, baliho-baliho caleg yang memuakkan hingga mirip iklan XL (Baca : mirip baruak bukan Luna Maya), BBM, PNPM Mandiri, “kantong mata” SBY yang makin tebal hingga perselingkuhan anggota DPR terhormat dengan selebritis. Semuanya jadi satu. Satu dua orang akan fokus terhadap satu dua topik. Tapi itu hanya untuk sementara, karena pasti ada yang lain menjadi “pengacau” untuk mengacaukan topik tertentu. Biasa saja, dipertengahan Today’s Dialog satu dua gelas pecah. Diakhir diskusi mereka patungan untuk bayar gelas yang “badarai”. Saya sangat menikmatinya. Masa-masa inilah saya mempraktekkan apa yang disarankan oleh Raja Faisal : “Allah memberikan satu mulut, dua mata dan dua telinga, maka banyaklah kamu melihat dan mendengar”. Sambil minum “kopsteng” (Kopi Susu Setengah Gelas), saya jadi best hearer. Sangat antusias. Forum kala itu memposisikan saya sebagai “insan yang marginal”.
Ada kelucuan, keluguan, rasa ingin tahu yang besar hingga ingin menunjukkan posisi eksistensinya di tengah-tengah forum. Semua orang, siapapun ia, apakah ia SBY, Megawati ataupun para Caleg yang “terlambat jadi foto model” (yang ini istilah mereka), “dikupas tuntas” dengan baik menurut versi mereka. Tanpa metodologi ataupun teori apalagi moderator secerdas Meutya Hafidz, seluruh persoalan politik Indonesia (bahkan dunia), “seakan-akan” terjawab dalam diskusi kedai di persimpangan empat tersebut. Di akhir dialog hari itu, timbul pertanyaan :”Tidakkah kita pusing dengan banyaknya partai?”. Untuk topik lain, umumnya mereka berbeda, tapi untuk topik yang satu ini, jawaban mereka umumnya sama. Aklamasi mereka mengatakan : “Siapapun Presidennya, Indonesia tetap seperti ini. Sekarang masa kita untuk memeras mereka. Siapapun yang datang pada kita, pemberian mereka halal, karena memang selama ini mereka-merekalah yang mengajarkan kita. Kata siapa pemilu sekarang buat kita bingung? Kalau bisa, pemilu 2014 yang akan datang lebih dari 100 partai. Coba bayangkan : 100 baju, 100 topi, 100 kalender, 100 X Rp. 50.000 untuk upah menempelkan gambar di dinding, 200 batang kayu 10/12 untuk baliho mereka … lumayan, selesai ½ bangunan dapur kita, 100 spanduk untuk ganti seng penutup kamar mandi, 100 kartu nama untuk mainan anak-anak kita, untung-untung kita dapat 100 jaket ….. Sungguh hari-hari yang menyenangkan. Ketika hari pencoblosan, lebih baik kita melaut untuk cari uang belanja yang akan datang, karena pasti mereka tak akan memberikan kita lagi uang. Apalagi bagi yang kalah, kita jelas dilihatnya seperti "parasit-predator" (yang ini istilah saya). Semoga pemilu tahun 2009 ini, kami bisa mengganti dapur. Lumayan, 42 batang kayu 10/12 sudah kita tandai. Ketika mereka duduk nantinya, kayu 42 batang itulah yang akan menjadi kenang-kenangan mereka. Kita dan mereka, kemudian, sama-sama lupa”.
Mereka betul-betul politisi. Selama ini, para calon atau politisi menganggap mereka hanya “angka-angka”, namun bagi saya, merekalah sebenarnya yang mampu mempraktekkan apa yang dikatakan oleh Harold Laswell : “politics is who get what how and when”, walaupun dalam perspektif “tujuan”, terkesan sangat instan-minimal, namun secara substantif, mereka sungguh sangat “pintar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar