Minggu, 22 Juli 2012

Tragedi Di Balik Pemutaran Film The Dark Knight Rises

Ditulis ulang :  Muhammad Ilham 

Tampak di depan layar sosok besar mengenakan topeng, bernama Bane (diperankan oleh Tom Hardy), tengah memimpin pasukannya untuk menyelusup masuk di gedung Bursa Saham Kota Gotham.  Rentetan tembakan mengenai berbagai panel LCD yang tergantung di dinding ruangan dan sontak suasana riuh terjadi seketika. Begitu pula yang terjadi di sebuah bioskop di Colorado ketika seorang pemuda bertopeng ala Bane yang berumur 24 tahun tiba-tiba melemparkan gas air mata ke arah penonton lalu menembaki mereka secara acak. Bunyi sound effect dari tembakan komplotan Bane di layar ditingkahi oleh desing puluhan peluru yang berhamburan di dalam bioskop. Penonton awalnya mengira ini adalah bagian dari pertunjukan tapi ketika mengetahui beberapa orang di samping mereka yang tertembak mereka pun berusaha melarikan diri namun James Holmes, kandidat Ph.D di bidang neuroscience yang tak memiliki catatan kejahatan sebelumnya, kembali mengarahkan peluru ke arah mereka yang berlari menuju pintu keluar. Berdasarkan laporan Associated Press (20/7) setidaknya jumlah yang meninggal mencapai 12 orang termasuk dikabarkan seorang bayi berumur 3 bulan sebagai salah satu korban dan mereka yang terluka mencapai 58 orang yang 3 di antaranya adalah WNI. Berdasarkan dari banyaknya jumlah korban maka peristiwa ini menjadi peristiwa penembakan massal terbesar dalam sejarah Amerika. Apa motif dari orang yang mengaku sebagai The Joker dalam melakukan tindakan keji tersebut hingga kini masih dalam penyelidikan FBI. 

Hari ini (20/7) adalah hari pertama penayangan film penutup trilogi Batman yang disutradarai oleh Christopher Nolan di seluruh dunia. Film The Dark Knight Rises (TDKR) adalah film yang ditunggu-tunggu kehadirannya setelah Batman Begins (2005) dan The Dark Knight (2008) berhasil menjuarai tangga film blockbuster Amerika. Antusias mengenai film TDKR terlihat dari tiket yang sold-out di hampir seluruh bioskop Amerika. Pada hari itu juga rakyat Amerika kembali diingatkan pada peristiwa berdarah di bulan April 1999 di SMU Columbine dimana dua orang siswa, Eric Harris (18 tahun) dan Dylan Klebold (17 tahun), menembaki 12 siswa, seorang guru dan melukai 26 orang lainnya sebelum kemudian mereka berdua menembak diri sendiri. Bahkan Gus Van Sant menyutradarai Elephant (2003) berdasarkan kejadian berdarah di sekolah yang lokasinya tidak jauh dari gedung bioskop yang kini telah dipasangi garis polisi. Lalu apa korelasi penembakan di gedung bioskop ini dengan Batman? 

Batman dan Kejahatan 

Batman adalah tokoh fiktif yang diciptakan oleh Bob Kane dan pertama kali muncul dalam Detective Comics #27 pada bulan Mei 1939—satu tahun setelah tokoh Superman lahir. Dalam genre superhero, Batman menjadi satu-satunya pahlawansuper yang tidak memiliki kekuatan super sama sekali sehingga memberikan distingsi yang jelas jika dibandingkan dengan pahlawansuper berkostum lainnya. Batman adalah alter ego dari tokoh Bruce Wayne (dalam trilogi Nolan diperankan oleh Christian Bale) yang kehilangan kedua orangtuanya setelah ditembak oleh seorang penjahat jalanan ketika masih remaja. Ini memperlihatkan bahwa kelahiran Batman sangat terkait dengan dunia kejahatan—dalam hal ini keterlibatan senjata akan menjadi sorotan. Batman versi Bob Kane lahir ketika Amerika tengah dilanda Depresi Besar sebagai akibat dari ambruknya saham Wall Street—hal yang sepertinya diinginkan tokoh Bane dalam film TDKR. Sementara Batman versi Nolan lahir sebagai reaksi dari peristiwa 9/11 yang mengguncang Amerika beberapa tahun sebelumnya sehingga sisi traumatik memberi ruang aktualisasi bagi kemunculan kembali Batman. 

Sebagai sutradara beraliran neo-noir, Nolan memberikan tekanan psikologis terhadap tokoh Bruce Wayne terutama mengenai keputusan di balik pemakaian topeng kelelawar dan bagaimana terorisme menjadi identik dengan musuh-musuh yang dihadapi Batman dalam triloginya. Dari trilogi Batman, Nolan memperlihatkan intensitas kejahatan yang semakin meninggi dari satu film ke film selanjutnya. Bagi Bruce, kelelawar adalah bentuk figuratif dari segala bentuk kesedihan, ketakutan dan kemarahan yang muncul dari masa lalu yang kelam. Dengan menjadi Batman, Bruce ingin membagi ketakutan itu kepada para penjahat sebagai suatu simbol—simbol harapan. Dari trilogi Batman yang dihadirkan Nolan terdapat tiga musuh bebuyutan yang harus dikalahkan Batman, mereka adalah Ra’s Al Ghul, Joker dan Bane. Ra’s Al Ghul adalah mentor Bruce Wayne sekaligus musuh Batman dalam film Batman Begins yang berkeinginan untuk memusnahkan kota Gotham dengan senjata pemusnah massal dengan dalih mengembalikan Gotham ke titahnya. Kota Gotham adalah representasi dari kota modern yang korup, penuh dengan kejahatan dan ketimpangan sosial yang terpampang jelas, untuk itu restorasi radikal adalah satu-satunya cara yang tertinggal—Gotham harus dihancurkan. Ide mentor Batman yang tak kesampaian di film pertama kemudian diteruskan oleh Bane di film ketiga yaitu dengan mengisolasi Gotham dari dunia luar dalam menjalankan revolusinya. Namun dari dua tokoh penjahat tersebut, adalah Joker musuh Batman yang paling menyita perhatian. 

Joker (diperankan oleh mendiang Heath Ledger) tak memiliki keinginan tertentu dalam menjalankan aksinya, berbeda dengan Ra’s Al Ghul dan Bane yang memperlihatkan sisi idealitas tertentu. Joker digambarkan sebagai sosok psikotik yang menyenangi segala tindak kejahatannya—Joker melakukan kejahatan murni untuk kejahatan itu sendiri. Joker melakukan perampokan dan pembunuhan berdasarkan faktor kesenangan yang timbul dari kebosanan. Joker hanya berusaha membuktikan bahwa antara dirinya dan Batman itu tak jauh berbeda karena sama-sama dianggap gila oleh masyarakatnya, sama-sama menutupi identitasnya, dan sama-sama terobsesi dengan kejahatan. Batman dan Joker saling mengisi dirinya masing-masing dalam jarak yang jauh sekaligus dekat karena keberadaan Joker-lah yang menjadikan inisiasi Batman layak sebagai superhero. Kualitas penjahat dalam melakukan intensitas kejahatanlah yang menentukan kualitas pengorbanan seorang superhero. 

Ketika Joker Menginspirasi 

Batman dan Joker tentu hanyalah tokoh fiktif namun akan sangat berbeda bagi mereka yang benar-benar menjadikan dua tokoh ini sebagai panutan. Beragam komunitas bermunculan di seluruh penjuru dunia yang mencoba memberi makna bagi perjuangan Batman dalam mengentaskan kejahatan. Ada semangat yang sama bagi pecinta Batman bahwa semua orang bisa menjadi Batman—semua orang bisa menjadi pahlawan. Mereka berusaha memaknai arti pahlawan dengan melakukan hal-hal yang mereka sukai dan sanggup mereka lakukan. Namun bagaimana jika kemudian semua orang pun bisa menjadi Joker? Jika memang James Holmes melakukan penembakan dengan dalih bahwa dirinya adalah Joker tentu semua hal yang diulas dalam tulisan ini memiliki keterkaitan. Sisi psikotik Joker setidaknya dapat dijadikan acuan dalam menggali sisi psikologis pelaku yang sesungguhnya membuka mata kita akan bentuk kejahatan dalam subkultur modern. James Holmes, seperti dilansir ABC News (21/7), memiliki empat senapan dengan ribuan amunisi yang dibeli secara legal bahkan kepolisian setempat telah menemukan beragam alat peledak di apartemen yang ia tinggali. Walaupun pihak FBI menemukan bahwa James Homes tidak terlibat dengan kelompok teroris yang menjadi musuh Amerika, namun setidaknya hal ini telah membuka selubung fakta mengenai bebasnya penjualan senjata di Amerika. Jika kita kembali mengambil sisi rasional dari sekian aksi penembakan massal yang pernah terjadi di Amerika setidaknya dapat ditarik tiga kesamaan; pelaku adalah korban bullying, memiliki gejala psikopatik dan depresi, serta memiliki adiksi terhadap video game berkonten kekerasan. Tentu tiga hal ini tidak untuk menjustifikasi apa yang telah mereka perbuat namun setidaknya memperlihatkan suatu fenomena sosial yang terjadi di era kontemporer. Kejahatan menjadi hal yang dekat dengan produk-produk subkultur seperti musik, komik, film hingga ke video games. 

Batasan antara fakta dan fiksi yang semakin mengabur menjadikan kehidupan modern menjadi sedemikian absurd. Fanatisme berlebihan terhadap apapun yang kemudian dipadu dengan mudahnya akses dalam kepemilikan senjata menjadikan apapun yang tersembunyi di dalam diri setiap manusia modern ibarat bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Apabila ini terjadi tentu ini membenarkan asumsi bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki sisi Joker dalam dirinya. Kita semua rentan menjadi Joker, dan di saat-saat seperti ini kita pun kemudian bertanya kemanakah para superhero itu ketika mereka sedang sangat dibutuhkan. Akankah kita semua tegak berdiri untuk menjadi pahlawan bagi diri kita masing-masing dan bagi masyarakat tentu menjadi pertimbangan sesudahnya. Oh James Holmes, why so serious?!

(c) Devy Kurnia A "Opick"
Sumber Foto : ABC.News.com 

Tidak ada komentar: