Muhammad Ilham BLOG: Iman Sebagai Suluh

Selasa, 17 Juli 2012

Iman Sebagai Suluh

Berjalan menjelajah dan memperlakukan keyakinan ideologis (atau : "iman")

Sebagai suluh bukan sebagai benteng

(Abdurrahman Wahid @ Gus Dur : 1999)

Sumber Foto : lkis.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Langganan: Posting Komentar (Atom)

Bismillahirrahmanirrahim ... Saya, Muhammad Ilham, adalah seorang muslim yang mengakui kepelbagaian aliran pandangan dan mazhab. Ahlussunnah wal Jamaah (Sunni), Syiah, Wahabi-Salafiah, Sufi adalah saudara kita seagama. Kita menyembah Allah SWT. dan memiliki nabi yang mulia "Muhammad SAW", Rasulullah junjungan ummat. Kita juga wajar saling meminjam kebaikan atau kekuatan sesama muslim, demi memantapkan ummah. Musuh kita hari ini adalah kebodohan, kemiskinan dan kurangnya solidaritas dan soliditas sesama Muslim. Dan .... "JIKA dadamu bergetar melihat ketidakadilan, MAKA engkau adalah saudara seperjuanganku"

Hamba yang "Tak Ada Apa-Apa" dimata Tuhan, ......... telah merangkak ke "titik" 37 tahun. "Bertambah" dan "berkurang" adalah perspektif. Karena itu, saya kutiplah apa yang diucapkan Groucho Marx, ·"Age is not a particularly interesting subject. Anyone can get old. All you have to do is live long enough." Jadi mudah sekali sebenarnya untuk bertambah umur. Asal tidak cepat mati. "Umur bukanlah untuk mencaci dan mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat dan menghamba". Pinta-ku pada Yang Maha Kuasa Robbi Izzati hanyalah, bertambah nominal hitungan umur ini membuat hamba semakin "berminyak" dan membaikkan alam serta semua orang.

(Mungkin) Aku Tak Setampan ROMEO, Namun Tak Kusangka Mendapatkanmu yang Seindah Juliet !

Imla W. Ilham (Baju Biru) lagi di Malaysia dan Singapore. Ternyata yang saya butuhkan adalah wanita cerdas yang mau mendukung atas apa yang saya perbuat dalam menjalani hidup bersama. Karena izin Allah, ia adalah cinta Platonik pertama saya. Istri saya, putri tertua Datuk Rajo Amat ini, adalah perempuan yang saya katakan menghasilkan zero problem ketika berkaitan dengan aktivitas saya. Melewati masa-masa kuliah di rumah mamak tercintanya, H. Syahrudji Tanjung ini, dia tidak pernah mengeluh apatah lagi "mematahkan". Saya sangat beruntung. Dengan dia, problem yang saya hadapi menjadi dua kali lebih ringan

AIR BANGIS (My Beloved Nagari)

/Aia Bangih dilingkuang taluak/Taluak dilingkuang pulau sambilan/Manangih adiak sambia taduduk/Aia mato jatuah ka pinggan/ ............. Air Bangis, Nagari dimana saya menghabiskan masa kecil dibawah asuhan "kritis" ayahanda tercinta, Fadli Al-Maturidi Nasution (tukang jahit yang pernah kuliah di Medan dan menjadi Ketua Pemuda Marhaenis Kota Medan tahun 1965 -- sayang "sejarah mengalahkannya"). Di nagari ini pula, ibunda tercinta saya, Nurlian (wanita lugu-sederhana asli Minang suku Jambak yang "buta huruf" tapi kaya hati, wanita yang jarang pakai "sandal", yang selalu membasahkan rambutnya dengan "kemiri" setiap ayah saya pulang kerja, yang tidak pernah menangis walaupun kehidupan begitu pahit dan selalu sering mengeluarkan nasehat terkesan nyinyir : NAK JANGAN LUPA SHOLAT ) mengajarkan kepada saya makna pentingnya kehidupan. Mereka berdua telah "dipanggil" sang Khalik (2005 dan 1999) dan sekarang "berada" ditempat yang berdampingan. Mereka berdualah yang membuat "nagari" saya selalu memanggil pulang.