Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Pemberitaan yang dirilis PressTV dan IRIB Indonesia baru-baru terkait
pernyataan komandan staff gabungan militer AS, Gen. Dempsey sangat
menarik. Dalam wawancaranya dengan CNN, Dempsey menyebut Iran sebagai
‘aktor rasional’. Saya sulit menilai bahwa ini sebuah pujian, sehingga
saya mencari transkrip asli wawancaranya. Ternyata, Dempsey menyebut
kerasionalan Iran itu terkait dengan sanksi embargo bertubi-tubi yang
tengah diarahkan kepada Iran. Dempsey yakin bahwa karena rasionalitas
itu, lambat-laun Iran akan tunduk pada kemauan Barat. Saya pun membuka-buka kembali text-book Foreign Policy Analysis
yang sudah pasti memuat bahasan soal ‘aktor rasional’. Dalam kajian
Hubungan Internasional, pelaku aktivitas politik internasional itu
diistilahkan dengan ‘aktor’. Aktor ini bisa berupa negara, perusahaan,
LSM, atau bahkan individu. Dalam analisis Kebijakan Luar Negeri
(selanjutnya saya singkat KLN), sebuah negara (yang diistilahkan dengan
‘aktor’) diharapkan bertindak rasional sehingga menguntungkan
kepentingan nasionalnya. Dalam kasus Iran, ketika sudah ‘habis-habisan’
diembargo—menurut perspektif AS—tindakan rasional yang dilakukan Iran
seharusnya adalah tunduk kepada AS. Tentu saja, bagi Iran, tunduk kepada
AS jelas bukan KLN yang rasional. Dalam tulisan saya sebelumnya, saya
sudah menjelaskan bahwa kekuatan soft power Iran justru sangat tangguh
dan ketundukan pada AS sangat kontradiktif dengan soft power yang
dimiliki Iran.
Dengan demikian pertanyaannya sekarang, rasionalitas itu dari sisi
mana? Dari perspektif siapa? Bila sebuah negara menolak solusi yang
dipaksakan oleh negara lain, apakah bisa disebut tidak rasional?
Sayangnya, sebagaimana diakui oleh Janice Gross Stein (2008), tidak ada
konsep yang memuaskan tentang rasionalitas KLN. Stein hanya bisa
menjelaskan konsep-konsep dasar soal rasionalitas ini, yaitu bahwa
orang-orang yang memiliki posisi sebagai pengambil KLN haruslah mampu
berpikir logis, terbuka, sekaligus selektif, terhadap data-data, serta
mampu bersikap koheren dan konsisten terhadap argumen-argumen logis. Di sisi ini, pernyataan Dempsey soal rasionalitas jelas menggelikan.
Siapakah pihak yang tidak logis dalam berpikir? Bukankah Bush dan
kemudian Obama, yang terbukti menerima mentah-mentah data-data yang
salah soal nuklir Iran; menuduh Iran tengah berupaya membuat senjata
nuklir; lalu mengambil KLN yang membahayakan perekonomian dunia?
Bukankah para presiden AS yang menerima mentah-mentah data-data palsu
intellijen soal terorisme, lalu menyerang Irak, Afghanistan, Pakistan,
atau Yaman, yang dituduh melindungi teroris? Dalam kajian HI, sayangnya, standar rasionalitas tidak dijelaskan
secara gamblang. Bila semua pihak menggunakan rasionalitas dari
kacamatanya masing-masing, sudah tentu akan timbul konflik. Dan, justru
banyak pemikir HI di Barat (dan diadopsi oleh penstudi HI di berbagai
penjuru dunia) yang melanggengkan paradigma konflik ini. Menurut mereka,
karena masing-masing negara akan bersikap rasional dan memperjuangkan
kepentingan nasional masing-masing, situasi konflik (diistilahkan dengan
‘anarkhi’) memang akan terus-menerus terjadi. Mereka pun menyarankan
agar masing-masing negara memperkuat militer nya dan bersiap siaga,
karena setiap saat negara lain mungkin menyerang.
Sekilas, logika ‘anarkhi’ ini terlihat benar. Namun bila kita
menelisik lebih lanjut, apakah benar ini berlandaskan rasionalitas? Mari
kita lihat kasus perang Afghanistan. AS menyerang Afghanistan dengan
alasan mengamankan kepentingan nasionalnya yang terancam oleh Al Qaida.
Dari sisi ini, seolah-olah AS bertindak ‘rasional’. Padahal, tidakkah
ini hanya sekedar strategi untuk bertahan hidup dan justifikasi untuk
menundukkan negara lain atas nama kepentingan nasional? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rasional artinya ‘cocok dengan
akal’. Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas dan
akal. Banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia agar berpikir. Bila
melihat kepada konsep Islam, kita akan menemukan kejanggalan pada
konsep rasionalitas yang dikembangkan oleh ilmuwan HI Barat itu. Konsep
rasionalitas yang dikembangkan pemikir HI Barat berlandaskan pada
keyakinan bahwa manusia adalah animus dominandi atau hewan yang haus
kekuasaan dan egois. Karena itulah, sebuah negara menyerang negara lain
demi ‘menyelamatkan kepentingan nasional’ dianggap rasional. Sebaliknya, Islam percaya bahwa manusia itu diciptakan dalam berbagai
ras dan suku untuk saling berinteraksi berdasarkan kesamaan kebenaran
yang disepakati bersama (lita’aarafuu). Sehingga, pola hubungan
internasional dalam pandangan Islam adalah pola hubungan yang
berlandaskan akal sehat. Inilah yang kemudian diterjemahkan Iran dalam
interaksinya dengan negara-negara Barat. Pemimpin Iran selalu
menggunakan logika yang sangat kuat dan sulit dibantah saat mengkritik
perilaku AS dan sekutunya.
Misalnya, dalam pidatonya di PBB tahun 2011, Ahmadinejad mengatakan:
“Sudah bukan zamannya lagi sebagian negara menjadikan dirinya
sebagai definisi demokrasi dan kebebasan, sekaligus mengangkat diri
sebagai hakim dan eksekutornya. Sementara pada saat yang sama mereka
juga memerangi negara lain yang [dibangun] berlandaskan demokrasi
hakiki.” “Kini, [sekelompok negara] tidak boleh lagi melakukan pendudukan
militer terhadap satu negara dengan slogan melawan terorisme dan
narkotika, sementara produksi narkotika menjadi berkali lipat, wilayah
terorisme menjadi lebih luas, ribuan orang tak berdosa tewas, cidera dan
mengungsi, infrastruktur hancur dan keamanan regional terancam.
Lucunya, para pelaku utama tragedi kemanusiaan ini malah terus menuduh
pihak lain sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.” “Kini, [sekelompok negara] tidak boleh lagi meneriakkan slogan
persahabatan dan solidaritas kepada bangsa-bangsa dan bersamaan dengan
itu mereka memperluas pangkalan-pangkalan militer di dunia, termasuk
Amerika Latin.”
Pidato Ahmadinejad jelas meruntuhkan bangunan rasionalitas ala AS:
bagaimana mungkin AS meneriakkan demokrasi dan perdamaian jika pada saat
yang sama justru AS-lah negara dengan anggaran militer terbesar di
dunia dan menebarkan perang di berbagai negeri? KLN Iran pun dibangun
atas rasionalitas semacam ini: bagaimana mungkin sebuah negara yang
mengaku berlandaskan Islam mau tunduk patuh pada negara yang menebarkan
kejahatan di muka bumi? Justru tidak rasional buat Iran bila menyerah
kepada AS. Rasionalitas yang benar haruslah dibangun di atas landasan akal.
Nilai-nilai keadilan, sikap mulia, tidak saling merugikan, adalah
nilai-nilai universal yang diterima oleh semua umat manusia yang berakal
sehat. Namun, sayangnya segelintir negara –dikomandani AS—terus-menerus
memaksakan nilai-nilai kejahatan yang dibungkus ‘rasionalitas’, dan
menuduh pihak lain yang sedang benar-benar berusaha rasional dalam
membangun perdamaian dunia sebagai pihak yang salah dan harus diperangi.
© Dina Y. Sulaeman
Foto : valuewalk.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar