Minggu, 01 Juli 2012

Bola van Kampoeng Tertjinta

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam bahasa sosiologi, "fanatisme selalu terletak pada simbol". Walaupun ada yang mengatakan bahwa fanatisme itu berkecambah dalam ranah ideologi, namun selalu berawal dari simbol-simbol yang tumbuh berkembang pada ranah interaksi sosial. Biasanya fanatisme lintas strata sosial. Dan fanatisme terhadap simbol (bukan ideologi), yang lintas strata sosial tersebut, bisa terlihat ketika event sepakbola berlangsung. Sepak bola memiliki "takdir" bagus dibandingkan dengan, golf dan bowling - misalnya, yang dianggap sebagai olah raga yang diminati dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Ketika event sepakbola bergulir, fantasi saya terbang ke kampung halaman tercinta.  Apalagi suasana Piala Eropa sekarang ini. Ya, daerah pantai paling barat di Sumatera Barat itu, memiliki suasana yang "menggairahkan" ketika event bola skala dunia bergulir. Saking menggairahkan sehingga di Air Bangis dikenal adanya kedai (biasa disebut Lopo) Real Madrid, Manchester United, AC Milan, Inter Milan dan seterusnya, tapi tidak ada kedai Semen Padang, Sriwijaya FC apatah lagi PSP Padang. Mungkin sekarang sudah ada Lopo Lionel Messi atawa Criatiano Ronaldo atau-pun Milanisti dan Internisti, tapi Lopo Nurdin Halid, Lopo La Nyalla dan seterusnya dijamin 100 peratus (bak kata orang Malaysia), tak ada. Masyarakat nelayan disana memiliki "cita rasa" tinggi sehingga mereka tidak tahu menahu tentang perkembangan Liga Indonesia, siapakah Beni Dolo, Nil Maizar (paling-paling mereka mulai hafal dengan baik Alfred Riedl) atau nama-nama pemain yang diimpor dari luar negeri sana untuk memperkaya dinamika persepakbolaan Indonesia. Tapi jangan tanya tentang Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Wayne Rooney, Alex Fergusson, Mourinho, Massimo Moratti, Cannavaro, der-Kaizer, Les-Blues, Los Galacticos hingga Total Footbal dan Cattenaccio, praktis banyak para "komentator" bola dadakan di kampung saya tersebut bisa menjelaskan dengan baik, bahkan hampir mirip - untuk tidak mengatakan kalah - dari komentator sekaliber M. Kusnaeni atawa Rayana Djakasurja. 

Tidak berlebihan memang, tapi banyak diantara komentator kelas kampung tersebut memiliki pengetahuan umum persepakbolaan dunia yang cukup mengagumkan. Bahkan perselingkuhan Silvio Berlusconi, John Lampard, Ryan Gigs atau John Terry bisa dengan baik dan antusias mereka ceritakan mengalahkan penceritaan perselingkuhan artis-artis Indonesia. Dan analisa itu selalu "mendapat tempatnya" atau " mengena" karena selalu dihubungkan dengan maju mundurnya sebuah klub. Kegagalan AC Milan dalam mereka kaitkan dengan kegilaan si pemilik klub, Berlusconi, terhadap wanita. Chelsea menurun karena isu perselingkuhan sang kapten, John Terry. Pokoknya, setiap yang berbau "sensasi atau bumbu-bumbu"pun mampu mereka hubungkan dengan moncernya sebuah klub. Dan ini terjadi hampir di segala level usia. Tahun kemaren, ketika piala AFF berlangsung, saya dapat SMS dari sahabat di kampung nan denai cintai itu, nama Riedl telah mengalahkan Fergusson. Firman Utina cs "mulai" familiar. Bahkan banyak yang sudah tahu, Kiki Amalia itu istri si Markus "kiper" dan Irfan Bachim sudah punya pacar ... halah !

Bila sebuah perhelatan event sepakbola berlangsung, maka malam di kampung halaman saya tidak memiliki arti. Pertandingan Liga Champions, misalnya, yang selalu ditayangkan tengah malam tidak menjadi halangan. Kedai-kedai bahkan menjadi lebih hidup dengan teriakan dan sedikit (pertaruhan). Apalagi Piala Dunia sekarang, praktis kedai-kedai di Air Bangis "menggeliat-kencang" tanpa kenal lelah. Adu mulut, komentar jenius hingga analisis asbun menghiasi tayangan selama pertandingan. Asap rokok mengepul (mungkin merasa berhutang budi, karena rokok-lah yang mampu menjadi sponsor sebuah TV swasta sehingga bisa menyiarkan secara Live). Minuman bergizi seumpama Teh Telor dan Teh Susu menjadi menu paling favorit. Dan ketika pertandingan usai - sekitar jelang Shubuh - mayoritas dari mereka-pun menyebar dengan saling "menertawakan", terutama yang jadi pesakitan adalah pihak yang klub jagoannya kalah. Dan yang kalah tidak merasa gundah, bahkan sering ketawa sambil berkompensasi ria dengan analisis yang terkesan justifikatif terhadap kekalahan klub kesayangannya. "Pola permainan yang tidak pas, pelatih yang tidak jempolan ataupun belum saatnya untuk menang". Tapi yang jelas, perdebatan dan gurauan di antara mereka sangat humanis tanpa dendam dan kepentingan apapun. Ketika uang minuman dan makanan dibayar, bahkan bisa terkadang lebih karena biasa saja setiap selesai pertandingan berlangsung, satu dua buah gelas-piring akan terburai-pecah, mereka ada yang terus melaut (ke laut), sebagian lagi pulang ke rumah.

Sungguh, bola memberikan nilai tersendiri bagi sebagian (kaum laki-laki) di kampung halaman saya. Candu bola ini nampaknya sudah berlangsung lama, seusia dan seumur dengan TV dan listrik masuk ke daerah ini. Saya masih ingat, kala Piala Dunia Meksiko 1982, demam bola (Piala Dunia) sudah mulai terasa. Padahal TV dan listrik baru masuk hanya berjarak satu Pemilu. Dari Piala Dunia Meksiko ini pula, untuk kali pertama saya merasa jatuh hati dengan Maradona dan tim Tango-nya. Melihat dari TV Hitam Putih yang dibeli ayah saya di Bukittinggi, bagaimana Maradona mencatatkan sejarah "tangan Tuhan"nya. Bagaimana Karl Heinz Rummenigge memperkenalkan "tendangan pisang"nya dan seterusnya. Siaran Live TVRI (waktu itu hanya Live untuk pertandingan Semi Final dan Final saja) pukul 05.00 dinihari bukan menjadi halangan untuk "begadang". Ketika sampai di sekolah dengan mata "redup" 3 jam berikutnya, Maradona menjadi perbincangan hangat diantara anak-anak SD ingusan jelang bel tanda masuk berbunyi. Saya pribadi, mendapat berkah dari pertandingan bola ini yaitu : belajar menghapal nama-nama pemain bola. Sehingga sekarang, nama-nama seperti Jorge Valdano, Boniek, Paolo Rossi, Bettega, Buruchaga, Karl Heinz Rumenigge, Johan Cruijf, Sergio Goecheycea, "si dinamit" Preben Elkjaer, "si kembar" Brian dan Michael Laudrup, "Si Burung Nasar" Emillio Butragueno, Hugo Shanchez, Ian Rush dan seterusnya masih teringat dengan baik. Jangan ditanya tentang Maradona yang Diego Armando itu, rasanya masih lekat-lengket gaya mainnya. Dan pada detik itu saya melihat, bola menawarkan : keindahan, sportifitas untuk mengatakan saya kalah serta apa yang dinamakan dengan kerja tim. Karena itulah mungkin saya merindukan suasana kampung halaman saya di kala Piala Eropa ini bergulir. 

Catatan tambahan

Salah seorang teman saya, pernah mengganti Sticker salah seorang calon Gubernur dengan gambar Maradona. Ia menjadi marah bergejolak, ketika gambar itu ditutup kembali dengan sticker baru oleh tim sukses salah seorang calon gubernur. "Maradona dan Piala Dunia jauh lebih bermakna dibandingkan Pilkada", setidaknya demikian yang ingin ia sampaikan. 

(Tulisan ini telah dipublish tahun kemaren di Harian Singgalang)

Sumber foto : detik.sport.com

Tidak ada komentar: