Masjid-masjid mereka ramai, tapi kosong dari petunjuk !
(Baginda Muhammad SAW.)
"Kita memiliki sistem politik yang cukup maju dibandingkan negara-negara lain, tapi mengapa tiap hari kita menyaksikan diberbagai sudut negeri membahana ketidakpuasan publik terhadap sistem pemerintah kita ? ..... Beberapa tahun terakhir ini, kita memiliki Presiden yang hampir tiap hari dicaci maki, apapun yang dikerjakannya, selalu dilihat dari sudut yang tidak positif ? ..... Dari waktu ke waktu, infrastruktur pendidikan senantiasa mengarah kepada kemajuan, kurikulum seakan-akan terus disempurnakan, tapi mengapa produk pendidikan tidak seramah tempo doeloe yang nyata-nyata tidak sesempurna sekarang, setidaknya dari aspek infrastruktur dan sistem-nya?", demikian pertanyaan runtut dari seorang kawan saya, sepulang dari musholla, (tentunya) sambil duduk-duduk di kedai dengan minuman favorit, "Teh Pucuk Harum". Teh yang membuat kita "berkejar-kejar" dengan ulat bulu. Diskusi kami begitu hangat. Tentunya tidak sehangat pengamat-pengamat politik "jagoan" di beberapa TV belakangan ini. Diskusi yang boleh "sekehendak hati" memberikan analisis. Maklum, mayoritas kapasitas pesertanya sulit untuk memahami istilah politik pencitraan, surat palsu Mahkamah Konstitusi dan beberapa istilah yang lagi "trend" dalam jagad politik Indonesia belakangan ini. Mereka lebih mudah memahami : "mengapa Malaysia dan Singapura jauh lebih maju dibandingkan Indonesia atau mengapa Sri Mulyani makin lama semakin cantik". Ah .... bingung kan ?
Tapi sudahlah, kembali ke pertanyaan runtut kawan saya tadi. (Sejumlah) pertanyaan yang jawabannya membuat saya teringat dengan cendekiawan Celia Haddon. Haddon (1990: 67) pernah berkata : "Banyak energi dan dana telah dihabiskan untuk membiayai pembangunan gedung pendidikan, kelas-kelas yang representatif dan metode pengajaran yang selalu di up-date. Tapi, sebagian besar ternyata sia-sia. Gedung, ukuran sekolah, perbedaan administrasi dan sistemnya tidak berpengaruh pada kualitas lulusan". Mengapa hal ini terjadi ? Haddon melihat bahwa ada "hal lain" yang sebenarnya tidak begitu menonjol, tapi sangat penting dan sering luput untuk dihadirkan, yaitu "kehangatan institusional". "Kehangatan institusional" itu bukanlah suasana sekolah yang terletak pada bentuk luar bangunan ataupun organisasi yang mempengaruhi murid. Ia terletak pada suasana pada moril keseluruhan guru yang bersedia memberikan waktu ekstra dan perhatian tambahan kepada siswanya, yang menekankan dorongan dan puji-pujian bukan caci-makian". Dalam konteks Haddon ini, kita bisa memotret apa yang terjadi dalam ranah politik, bahkan ranah praktek keagamaan. Dalam ilmu politik, struktur politik pada dasarnya dibangun untuk menegakkan demokrasi. Semua ahli politik, sepakat dengan hal ini. Tetapi lihatlah, para penguasa dipilih dengan (umumnya) memanipulasi simbol-simbol politik serta informasi. Dan (sekali lagi) lihatlah, panggung politik jadi panggung sandiwara yang tidak menghibur. Seakan-akan publik "tak tahu", padahal mereka cerdas. Para penguasa masuk dalam panggung politik dengan membawa sejumlah janji-janji. Publik dilihat sebagai angka-angka. Pemimpin, dalam bahasa Buya Syafii Ma'arif, bukan lagi memimpin, tapi memerintah.
Sementara itu agama juga telah "bermetamorfosis" menjadi sejumlah ritus, upacara bahkan entertain. Dalam bahasa metafora Nabi Mulia Baginda Muhammad putra tersayang Abdullah, "masjid-masjid mereka ramai tetapi kosong dari petunjuk". Kesalehan tidak jarang justru digunakan untuk menyembunyikan keangkuhan dan menutupi penyelewengan. Bahkan, publik tak bisa dibohongi - setidaknya demikian yang saya "tangkap" dari diskusi di kedai malam ini - bahwa lembaga-lembaga agama menjadi lembaga-lembaga yang memberlakukan kasih dan "kehangatan" agama hanya sebagai komoditas. Teks-teks kitab suci digunakan sebagai amunisi untuk "menembaki" orang-orang yang dianggap sesat. Sebagaimana halnya politik, agama pada akhirnya telah kehilangan "kehangatan". "Agama, kata Baginda Nabi Muhammad SAW., adalah kecintaan dan kehangatan yang tulus. Tak ada agama kalau sudah kehilangan kecintaan dan kehangatan yang tulus tersebut". Wallahu A'lam bish Shawab. (Setelah) letih berdiskusi mengenai ini, kami-pun mulai ma-ota-ota ringan. Tentang bola kaki Indonesia yang tak maju-maju, muballigh pop, istri Nazaruddin yang cantik-ciamik, celotehan Sujiwo Tedjo tentang "aura" ibu Ani Yudhoyono dan entah apa lagi.
Tapi sudahlah, kembali ke pertanyaan runtut kawan saya tadi. (Sejumlah) pertanyaan yang jawabannya membuat saya teringat dengan cendekiawan Celia Haddon. Haddon (1990: 67) pernah berkata : "Banyak energi dan dana telah dihabiskan untuk membiayai pembangunan gedung pendidikan, kelas-kelas yang representatif dan metode pengajaran yang selalu di up-date. Tapi, sebagian besar ternyata sia-sia. Gedung, ukuran sekolah, perbedaan administrasi dan sistemnya tidak berpengaruh pada kualitas lulusan". Mengapa hal ini terjadi ? Haddon melihat bahwa ada "hal lain" yang sebenarnya tidak begitu menonjol, tapi sangat penting dan sering luput untuk dihadirkan, yaitu "kehangatan institusional". "Kehangatan institusional" itu bukanlah suasana sekolah yang terletak pada bentuk luar bangunan ataupun organisasi yang mempengaruhi murid. Ia terletak pada suasana pada moril keseluruhan guru yang bersedia memberikan waktu ekstra dan perhatian tambahan kepada siswanya, yang menekankan dorongan dan puji-pujian bukan caci-makian". Dalam konteks Haddon ini, kita bisa memotret apa yang terjadi dalam ranah politik, bahkan ranah praktek keagamaan. Dalam ilmu politik, struktur politik pada dasarnya dibangun untuk menegakkan demokrasi. Semua ahli politik, sepakat dengan hal ini. Tetapi lihatlah, para penguasa dipilih dengan (umumnya) memanipulasi simbol-simbol politik serta informasi. Dan (sekali lagi) lihatlah, panggung politik jadi panggung sandiwara yang tidak menghibur. Seakan-akan publik "tak tahu", padahal mereka cerdas. Para penguasa masuk dalam panggung politik dengan membawa sejumlah janji-janji. Publik dilihat sebagai angka-angka. Pemimpin, dalam bahasa Buya Syafii Ma'arif, bukan lagi memimpin, tapi memerintah.
Sementara itu agama juga telah "bermetamorfosis" menjadi sejumlah ritus, upacara bahkan entertain. Dalam bahasa metafora Nabi Mulia Baginda Muhammad putra tersayang Abdullah, "masjid-masjid mereka ramai tetapi kosong dari petunjuk". Kesalehan tidak jarang justru digunakan untuk menyembunyikan keangkuhan dan menutupi penyelewengan. Bahkan, publik tak bisa dibohongi - setidaknya demikian yang saya "tangkap" dari diskusi di kedai malam ini - bahwa lembaga-lembaga agama menjadi lembaga-lembaga yang memberlakukan kasih dan "kehangatan" agama hanya sebagai komoditas. Teks-teks kitab suci digunakan sebagai amunisi untuk "menembaki" orang-orang yang dianggap sesat. Sebagaimana halnya politik, agama pada akhirnya telah kehilangan "kehangatan". "Agama, kata Baginda Nabi Muhammad SAW., adalah kecintaan dan kehangatan yang tulus. Tak ada agama kalau sudah kehilangan kecintaan dan kehangatan yang tulus tersebut". Wallahu A'lam bish Shawab. (Setelah) letih berdiskusi mengenai ini, kami-pun mulai ma-ota-ota ringan. Tentang bola kaki Indonesia yang tak maju-maju, muballigh pop, istri Nazaruddin yang cantik-ciamik, celotehan Sujiwo Tedjo tentang "aura" ibu Ani Yudhoyono dan entah apa lagi.
Foto : americangallery.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar