Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan ummat Islam. Biasanya hadits ini akan dipegang teguh. Begitu juga halnya dengan hadits al-aimmatun min quraisyin. Hadits ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses keberlangsungan Dinasti Abbasiyah dalam lintasan sejarah peradaban ummat manusia. Selama berabad-abad lamanya, para ulama dan ummat Islam meyakini bahwa kepala negara (khalifah) haruslah berasal dari suku Quraisy, sebab menurut mereka hadits ini dalam posisi harus diamalkan. Ibn Hajar al-Atsqalani (w. 852 H./1449 M.) telah membahas kandungan hadits tersebut secara panjang lebar. Ia mengatakan bahwa tidak ada seorang ulama-pun kecuali dari kalangan Muktazilah dan Khawarij yang membolehkan jabatan kepala negara (khalifah) diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Dijelaskan juga, bahwa dalam sejarah Islam telah ada penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah dan mereka tidak berasal dari suku Quraisy. Maka menurut pandangan ulama sebutan khalifah tersebut tidak dapat diartikan sebagai kepala negara (al-imamah al-uzhma),[1] karena mereka bukan berasal dari suku Quraisy. Berhubungan dengan hal ini, maka al-Qurthubi (w. 671 H./1273 M.) menyebutkan bahwa kepala negara disyariatkan harus dari suku Qurays. Sekiranya, menurut al-Qurthubi, suatu saat tinggal satu orang saja, maka yang satu orang tersebutlah yang berhak sebagai kepala negara.[2] Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya telah pernah dimunculkan oleh al-Mawardi (364-450 H./ 975-1059 M.) yang merupakan salah seorang ulama pemikir paling berpengaruh pada masa Dinasti Abbasiyah. Dalam tulisannya, al-Mawardi tetap mempertahankan kepala negara dari suku Quraisy, termasuk juga para wazir tawfidh dan para pembantunya. Hak prerogatif bagi suku Quraisy didasarkan atas hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa : “pemimpin itu harus berasal dari suku Quraisy” dan hadits lainnya : “Sesungguhnya orang-orang Quraisy itu pemegang amanah”. Ungkapan-ungkapan hadits tersebut diterima oleh semua pihak baik ulama maupun masyarakat, tidak ada yang meragukan kebenaran nya dan tidak ada yang menyanggahnya.[3]
Pemahaman secara tekstual hadits tersebut dan yang sepemahaman dengannya dalam sejarah Islam telah menjadi pendapat umum para ulama dan kaum muslimin serta menjadi landasan normatif bagi pemegang kekuasaan selama berabad-abad. Dalam perkembangan sejarah Dinasti Abbasiyah, walaupun khalifahnya lemah, sementara dinasti-dinasti kecil berdiri dan memiliki kekuatan untuk merebut jabatan khalifah seperti Dinasti Seljuk[4] dan Dinasti Buwaihi[5], akan tetapi mereka tidak memiliki keberanian untuk merebut jabatan khalifah. Salah satu sebabnya adalah karena mereka merasa bahwa mereka bukan berasal dari suku Quraisy dan mereka yakin bahwa mereka tidak berhak untuk jabatan khalifah tersebut. Pemahaman hadits secara tekstual itulah yang menyebabkan kemudian Dinasti Abbasiyah dapat bertahan lama sampai datangnya serangan Mongol. Setelah berlangsung pemahaman tekstual selama berabad-abad terhadap hadits tersebut, maka muncullah seorang ulama yang mempelopori pemahaman hadits tersebut secara kontekstual. Dia adalah Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa hak kepemimpinan bukanlah terletak pada suku Quraisy, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW orang-orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakatnya adalah dari suku Quraisy. Apabila pada suatu waktu ada orang yang bukan berasal dari suku Quraisy namun memiliki kewibawaan dalam memimpin, maka orang tersebut bisa diangkat sebagai pemimpin atau kepala negara (khalifah).[6] Apabila kandungan hadits diatas dihubungkan dengan fungsi kenabian Nabi Muhammad SAW., maka dapatlah dinyatakan bahwa pada waktu nabi Muhammad SAW mengeluarkan hadits tersebut, posisi beliau adalah kepala negara yang menjadi indikasi antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial yaitu sifat yang mengutamakan suku Quraisy. Hal ini bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an yang mengatakan bahwa yang paling utama disisi Allah adalah yang paling taqwa (QS. Al-Hujurat : 13). Mengutamakan suku Qurays bukanlah ajaran dasar dari ajaran agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW., karena hadits tersebut hanyalah ajaran yang bersifat temporal. Namun terlepas dari perdebatan pemahaman, baik perspektif tekstual maupun kontekstual, namun yang jelas hadits ini telah memberikan daya normatif ketahanan Dinasti Abbasiyah sehingga mampu bertahan dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Dis-integrasi dalam bidang politik sebenarnya telah dimulai pada masa akhir pemerintahan Dinasti Umayyah. Namun, bila berbicara tentang politik dalam lintasan sejarah Islam akan terlihat perbedaan yang cukup signifikan antara pemerintahan Dinasti Umayyah dengan pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Hal ini dapat dilihat, bahwa wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dari masa awal berdirinya hingga masa keruntuhannya cenderung sama – untuk tidak mengatakan cenderung bertambah luas. Sementara pada Dinasti Abbasiyah, hal yang dialami oleh Dinasti Umayyah tidaklah sama. Karena pada masa Dinasti Abbasiyah, wilayah kekuasaannya memeiliki kecenderungan terpecah-pecah dibawah pemerintahan dinasti-dinasti kecil. Disamping itu, kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini tidak pernah diakui di Spanyol dan Afrika Utara, kecuali Mesir. Akan tetapi, pengakuan Mesir tersebut tidak berlangsung lama. Hal ini terbukti dengan berdirinya Dinasti Fathimiyah yang memiliki khalifah sendiri yang sekaligus merupakan tandingan bagi khalifah Abbasiyah.[7] Bahkan dalam kenyataannya dapat dilihat bahwa banyak daerah-daerah yang tidak dapat dikuasai oleh Dinasti Abbasiyah. Secara nyata, wilayah-wilayah tersebut berada dibawah kekuasaan para gubernur wilayah yang bersangkutan. Hubungannya dengan pemerintah pusat (khalifah) tidak hanya ditandai dengan pembayaran upeti, tetapi juga dengan menyebutkan nama khalifah dalam setiap sholat Jumat dan di dalam mata uang yang beredar.
Ada anggapan yang mengatakan bahwa khalifah Dinasti Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tersebut, seperti pembayaran upeti. Alasan yang dikemukakan adalah khalifah tidak memiliki kekuasaan dan kekuataan yang cukup kuat untuk membuat mereka tunduk dan para penguasa Dinasti Abbasiyah lebih menitikberatkan pemerintahan nya pada pembinaan dan pengembangan peradaban dan kebuda-yaan dari pada ekspansi wilayah. Akibat kebijaksanaan yang dijalankan oleh Dinasti Abbasiyah dengan lebih mengutamakan kepada pengembangan dan pembinaan peradaban tersebut menyebabkan munculnya beberapa dinasti kecil. Pada satu sisi, kemunculan dinasti-dinasti kecil ini memberikan potensi yang potensial dalam menngkondisikan kelemahan bagi pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sementara pada sisi lain justru hal ini memperlambat runtuhnya Dinasti Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena mereka turut membantu dinasti ini dalam menghadapi segala bentuk ancaman yang datang menyerang pusat kekuasaannya.
Kekuatan lain yang dimaksud dalam buku ini adalah kekuatan di luar Bani Abbasiyah yang berasal dari suku Quraisy. Akibat adanya landasan normatif agama Islam—dalam hal ini hadits yang mengutamakan suku Quraisy sebagai pemimpin – maka hal ini memperkuat posisi kekhalifahan Abbasiyah untuk bertahan dalam waktu yang lama. Tidak adanya dinasti dari suku Quraisy selain dinasti Abbasiyah membuat kekhalifahan Abbasiyah memiliki keleluasaan dalam “memonopili justifikasi normatif keagamaan” tersebut. Potensi ini kemudian ditambah lagi dengan kepatuhan beberapa kekuatan-kekuatan lainnya (maksudnya dinasti-dinasti Islam lainnya yang secara kekuasaan dan kekuatan militer berpotensi besar bisa mengalahkan dinasti Abbasiyah), namun karena kepatuhan terhadap hadits tersebut, maka dinasti-dinasti yang berasal dari non-Qurays ini merasa terpanggil untuk mempertahankan eksistensi Dinasti Abbasiyah karena panggilan dan justifikasi keagamaan. Tidak bisa dibayangkan apabila ada kekuatan lain (dalam hal ini Dinasti lain dari Bani Quraisy, maka kekuasaan Dinasti Abbasiyah memiliki potensi besar untuk dapat bertahan dalam masa yang demikian panjang tersebut.
Sebagai epilog, dapat disimpulkan bahwa keyakinan terhadap hadits yang menyatakan bahwa ada “nilai lebih” pada suku Quraisy untuk menjadi kepala negara (dalam hal ini khalifah) membuat hal ini menjadi faktor paling potensial dalam mempertahankan eksistensi Dinasti Abbasiyah dalam waktu yang sangat lama. Justifikasi-normatif keagamaan ini memiliki daya besar untuk menimbulkan rasa fanatik bagi ummat Islam. Disamping itu, jabatan khalifah dianggap sesuatu yang sakral. Dua hal ini menjadi suatu faktor yang paling signifikan dalam melihat daya tahan politik Dinasti Abbasiyah. Justifikasi terhadap hadits dan sakralisasi jabatan kepala negara (khalifah) yang juga dijustifikasi secara normatif oleh ajaran Islam. Sementara itu, munculnya dinasti-dinasti kecil telah memberikan kontribusi besar bagi Dinasti Abbasiyah. Pada masa inilah pemberontakan-pemberontakan yang potensial melemahkan kewibawaan Baghdad, bisa diatasi oleh dinasti-dinasti kecil ini. Disamping itu, dinasti-dinasti kecil ini mayoritas adalah dinasti-dinasti yang memiliki apresiasi yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tidaklah mengherankan apabila Dinasti Abbasiyah dikenal dalam sejarah sebagai salah satu Dinasti besar yang mampu melahirkan capaian-capaian peradaban dan ilmu pengetahuan paling unggul untuk masanya dalam sejarah peradaban Islam. Namun, bila kita jujur terhadap sejarah, semua ini tidak terlepas dari kontribusi dinasti-dinasti kecil tersebut. Disamping justifikasi normatif agama tentang nilai plus suku Quraisy menjadi khalifah dan sakralisasi jabatan kepala negara, daya tahan Dinasti Abbasiyah juga disebabkan karena tidak adanya kekuatan lain yang muncul “sebanding” dengan kekuatan Dinasti Abbasiyah. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan yang sama-sama berasal dari suku Qurays.
[1] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Juz IV., tt.: dar al-Fikr wa Maktabah al-Salafiyah, t.th., hal. 526-536
[2] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Atsqalani, Fath ……, hal. 118
[3] Al-Mawardi, Al-Ahkam ……, hal. 4-5
[4] Dinasti ini berasal dari kabilah kecil keturunan Turki yaitu kabilah Qunud yang didirikan oleh Tughril Beq, salah seorang keturunan Saljuk ibn Tuqaq pada tahun 429 H./1036 M. Dalam perkembangan selanjutnya, para penguasa Dinasti Seljuk memasuki kota Baghdad setelah berhasil mengalahkan kekuatan Dinasti Buwaihi. Ditangan mereka, posisi khalifah agak lebih baik dibandingkan pada masa Buwaihi, paling tidak, kewibawaan khalifah dalam bidang agama dikembalikan. Akan tetapi dalam bidang politik, mereka tetap menguasai khalifah.
[5] Dinasti ini didirikan oleh tiga orang bersaudara yaitu ‘Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi dan Ahmad bin Buwaihi. Tiga orang bersaudara ini kemudian diangkat jadi amir al-umara, kepada mereka diberikan gelar Muiz ad-Daulah untuk Ahmad, Imad al-Daulah untuk Ali dan Rukn al-Daulah untuk Hassan. Ditangan mereka, khalifah Dinasti Abbasiyah tidak lebih dari sekedar boneka yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa.
[6] Ibnu Khaldun, The Muqaddimah ….., hal. 242
[7] Sir William Muir, The Caliphate : Its Rise, Decline an Fall, New York: AMS Press Inc., 1975, hal. 430
Tidak ada komentar:
Posting Komentar