Kamis, 15 September 2011

Koran Tanpa Kertas

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

CEO sekaligus penerbit The New York Times, Arthur Sulzberger Jr mengungkapkan bahwa korannya tidak akan terbit lagi. Dia akan konsentrasi ke edisi online. Dalam beberapa tahun terakhir sirkulasi koran di Amerika Serikat turun terus sekitar 27 persen per tahun. Demikian kita kutip sebagian artikel di majalah Info Kita, majalah spesial untuk para pensiunan Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Penulisnya Budiarto Shambazy (BAS), putera Amir Shambazy dan ibunya Eli, asal nagari Sulit Air, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. BAS melanjutkan tulisannya: Menurut jajak pendapat Pew Research Centre Juli 2010 sekitar 64 persen responden di Amerika Serikat yakin koran dan media cetak lainnya akan punah tahun 2050. Mereka yakin pada tahun tersebut – sekitar 40 tahun lagi – masyarakat memasuki dunia tanpa kertas (paperless future). Berarti eksistensi kertas sebagai media tradisional, makin terancam. Meski begitu, berita sebagai produk tetap akan laris dilahap pembaca. Penerbit koran memerlukan berbagai inovasi untuk bertahan hidup antara lain dengan membangun platforms lain seperti media elektronik ataupun online. Ada asumsi peranan media tradisional berkurang drastis karena diambil alih media sosial seperti Twitter atau Facebook. Jika ingin tetap bertahan, koran dan media cetak lainnya mesti menyajikan berita yang berkualitas. Ia hanya multidimensional mendalam, mengandung analisa mencerahkan open ended dan menggiring opini masyarakat, pemahaman duduk perkara sesungguhnya dari sebuah peristiwa. Satu hal lagi yang tak kalah penting visualisasi yang lebih dari biasa dengan foto-foto istimewa, grafik-grafik menarikdari sajian data terinci. Semua hanya bisa dilakukan dengan lay-out koran mutakhir.

Itulah yang dilakukan koran-koran terkemuka Amerika Serikat. Meskipun bisnis media cetak cenderung merugi, tapi pers di negeri Paman Sam menjadi sumber kecemburuan dunia, karena memiliki: Pertama, misi yang kuat (sense of mission) untuk membayar kepentingan umum. Kedua, secara prinsipil mampu mempertahankan kemerdekaan editorial sekalipun mengalami tekanan dari kekuasaan dunia bisnis dan penerbit. Ketiga, kemerdekaan pers dilindungi oleh konstitusi. Kemerdekaan pers itulah yang sejak tahun 1919 menfungsionalkan pers sebagai pertama sumber berita. Kedua. bagian dari eksperimentasi untuk melayani kepentingan umum, dan ketiga mengawal demokrasi. Warga Amerika Serikat tetap membutuhkan pers yang merdeka dan independen di era globalisasi. Untuk menghadapi tantangan di abad ke-21, pers punya “alat pelindung” yakni jurisprudensi dalam bentuk keputusan-hukum/konsitusional berbagai kebijakan publik yang bertujuan meningkatkan kinerja wartawan dari kultur profesionalisme. Dengan kata lain, sebenarnya kehidupan pers di negara demokrasi juga appliable di negara demokrai lainnya, termasuk Indonesia. Empat sistem pers ini amat berkaitan dengan hubungan yang saling mempengaruhi antara media massa dengan kekuasaan. Sistem yang otoriter dari komunis Uni Sovyet memanipulasi media untuk alat propoganda. Sedang sistem yang libertarian menyanjikan pers ala Barat. Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang tetap menganut sistem yang bertanggung-jawab sosial dengan sejumlah varian/kombinasi yang diambil dari sistem otoriter.

Di setiap negara demokratis, media disebut sebagai the fourth estate, pilar kekuatan yang keempat setelah kekuasaan/absolut pemerintahan, the ruling elite dan masyarakat umum. Setiap kekuatan (power) memanfaatkan media melalui cara-cara kursif maupun persuasif dalam rangka diseminasi kebijakan-kebijakan publik kepada rakyat. Power tidak lagi dimonopoli pemerintah, the ruling elite, masyarakat umum dan media saja. Aktor-aktor bukan negara, seperti lembaga internasional (PBB), Uni Eropa atau berbagai LSM internasional, entitas bisnis, mulai dari MNC (multi national corporation) sampai SME (small and medium enterprises), institut-institut politik (parpol, gerilyawan, pemberontak, kelompok terorisme, tokoh informal atau berbagai LSM lokal maupun komunitas-komunitas kecil (misalnya koperasi atau kelompok petani/nelayan) semakin membutuhkan media. Sebaliknya media sebagai industri raksa juga membutuhkan pemberitaan mengenai peranan aktor-aktor bukan negara tersebut. Ruang publik menjadi tempat pertemuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masing-masing yang saling menguntungkan. Setiap pihak berhak atas ruang publik yang terbuka lebar dan tersedia setiap saat dalam mencapai tujuan masing-masing. Di ruang publik berlaku pameo who gets what, when and how. Pada dasarnya setiap pihak yang berkompetisi di ruang pulik ingin bersama-sama menciptakan perimbangan kekuatan yang harmonis, stabil dan jinak. Era reformasi mencabut aturan SIUP (Surat Izin Usaha Izin Penerbitan) yang tidak demokratis. Namun masih didapat berbagai bentuk pembatasan atau kontrol oleh pemerintah terhadap pers yang berkaitan dengan isu-isu sensitif seperti hubungan antar agama, pornografi, dan sebagainya. Kehidupan media Indonesia diatur dengan UU Nomor 40/1999. Pasal 9 Ayat 1 mengatakan setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, dan ayat 2 mengatakan setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum. Pasal 4 ayat 2 menegaskan “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran pembreidelan atau pelarangan penyiaran”. Tanggung-jawab sosial pers tercermin dari pasal 5 ayat 1 yang mengatakan pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini, dengan menghormati norma agama, dan rasa kesusilaan masyarakat serta praduga tidak bersalah.

Sumber/referensi : (c) Martias Doesky Pandu/Padang Ekspres September 2011
Foto : www.bcpiweb.com

Tidak ada komentar: