Artikel ini merupakan penggalan dari makalah Penulis (Pengantar Ketua Redaksi) dalam Jurnal Khazanah Fakultas Adab-Ilmu Budaya Islam IAIN Padang Vol. 1 No. 5/Januari-Juni 2011.
Ada diktum sederhana dalam sejarah, bila anda membaca sejarah peradaban-perdaban bangsa di dunia, anda akan temukan sebab kemajuan dan kehancuran sebuah peradaban. Kuncinya adalah belajar. Kecepatan belajar dari kesalahan dan mempelajari kesuksesan out-group adalah point dalam menentukan nasib sebuah bangsa - bak kata Ibnu Khaldun - akan memimpin, tertinggal atau terhapus dalam sejarah. Peradaban Mongol, misalnya, pernah sempat muncul dalam lembaran sejarah peradaban dunia, bahkan "menggetarkan". Tapi kemudian peradaban yang founding father- nya Jengis Khan ini, lenyap-terhapus dalam sejarah. Peradaban Indian dengan Aztek, Inca dan Maya itu, pernah berkilauan dalam lembaran sejarah peradaban ummat manusia. Tapi hari ini hanya tinggal nama. Bahkan ada pula peradaban canggih pada masanya yang terdengar oleh kita, tapi jejaknya hingga hari ini susah untuk ditemukan. Pada akhirnya, peradaban yang (dikatakan) canggih pada masanya tersebut hanyalah berakhir pada mitos. Inti dari semua itu adalah, kecepatan dan semangat belajar pendukung peradaban bersangkutan, menjadi hal penting dalam menjamin apakah peradaban tersebut akan terus brkembang atau kemudian, hanya jadi catatan manis lembaran sejarah. Peradaban Islam, Barat dan Jepang dianggap sebagai 3 peradaban dengan kemampuan dan kecepatan belajar yang amat tinggi. Peradaban Islam, misalnya, tidak hanya ada karena tuntunan semata dari Allah SWT. lewat Nabi dan kitab suci. Tapi lebih dari itu, peradaban ini mampu menjadi estafet, penyelamat dan filter dari peradaban-peradaban besar sebelumya seperti peradaban Romawi dan Yunani Klasik. Peradaban Barat-pun demikian juga adanya. Mereka tak hanya dianggap sebagai "pewaris sah" peradaban Romawi dan Yunani, tapi mereka juga dipandang sebagai peradaban yang menerima tongkat estafet kejayaan Islam yang (mulai) memudar. Sementara itu Peradaban Jepang, memang belum bisa disebut meneruskan estafet dari peradaban Barat. Tapi meskipun demikian, peradaban Jepang ini dianggap sebagai simbol semangat belajar yang luar biasa. Bahkan Jepang dianggap sebagai trigger bagi munculnya - dalam istilah John Naisbitt (1995) - the next civilization, Asia Timur.
Pada abad ke-7 M., ketika dunia sedang berada dalam bahasa Philip K. Hitti (1982) - Dark Ages - Abad-Abad Kegelapan (khususnya kegelapan terhadap apresiasi terhadap potensi intelektualisme dan humanisme), di semenanjung Arab muncul "harapan" dari seorang buta huruf tapi jenius, Muhammad SAW. Ia dilantik "langit" untuk memimpin perubahan dunia. Muhammad SAW. tidak hanya dianggap sukses dalam menyebarkan agama, ia juga memimpin sebuah peradaban, demikian kata Michael H. Hart (1981) dalam 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia. Sampai abad ke-16, menara peradaban Islam makin menjulang terang ke seantero dunia. Peradan ini bermula dari Mekkah dan Madinah. Muhammad SAW. memimpin dan merubah bangsa yang (pada awalnya) suka berperang menjadi bangsa yang tangguh dan smart. Ia memimpin otak-otak cemerlang bangsa Arab yang hanya butuh sedikit polesan dan lecutan motivasi untuk melejit. Orang-orang Arab ini tidak hanya duduk melingkari sang Nabi untuk mendengar tuturan kata-katanya. Mereka tak hanya merekamnya dengan sempurna di otak mereka (al-Qur'an dan Hadits), tapi juga mempraktekkan ilmu yang mereka dapatkan. Karena itu, dalam masa yang tak terlalu lama, nabi Muhammad SAW. telah menguasai jazirah Arab sebelum ia wafat. Nabi melihat masa depan peradaban Islam dari wajah para sahabat-sahabatnya. Para sahabat-sahabat ini telah dimotivasi oleh nabi Muhammad SAW. untuk mengajar-belajar dan terus mengajar-belajar. Bangsa Arab kemudian tak hanya betul-betul kuat dari olah fisik dan persenjataan, mereka juga dibekali motivasi penguasaan ilmu dan motivasi iman yang tinggi. Tak mengherankan apabila belum sampai setengah abad, mereka sudah berhadap-hadapan dengan "negara super power" kala itu, Romawi dan Persia. Benderang agama sekaligus semangat ilmu bak kecepatan cahaya, segera menjalar ke seluruh negeri yang ditaklukkan.
Empat khalifat pasca nabi Muhammad SAW. yang dikenal dengan istilah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) tidak hanya meneruskan keimanan (dalam hal ini : Islam sebagai din), tapi mereka juga belajar dan mengajarkan bagaimana mengelola negara yang teramat luas. Dinasti Umayyah kemudian melanjutkan kesuksesan Khulafaur Rasyidin ini dengan meletakkan pondasi pemerintahan yang kuat dan ilmu yang cemerlang. Pondasi tradisi ilmiah ini kemudian disempurnakan pada masa Dinasti Abbasiyah. Maka tak mengherankan apabila banyak lahir ilmuan-ilmuan sekaligus ulama-ulama pada masa-masa tersebut. Dinasti Abbasiyah menyulap Baghdad menjadi metropolis Asia, pada masanya. Sementera itu, Dinasti Umayyah juga menjadikan kota-kota di Spanyol seperti Andalusia, Cordoba dan Toledo serta Malaga menjadi "bintang gemerlap" di Eropa. Sejarawan Hendri S. Lucas mengatakan bahwa kekhalifahan Abbasiyah barangkali merupakan periode yang paling makmur dalam sejarah peradaban ummat manusia, bahkan hingga hari ini .... Ini kata Lucas, bukan kata saya. Baghdad bukan hanya menjadi centrum ilmu pengetahuan, tapi juga menjadi pusat ekonomi, penghubung pusat-pusat ekonomi lainnya. Baghdad bak pemilik silk road, Jalur Sutera. Kata Lucas, Baghdad-Bashrar-Iskandariyah Mesir seumpama New York-Tokyo-London pada aman sekarang. Peradaban ini mengembankan kertas yang mereka pelajari dari peradaban Cina, berdagang sampai ke Nusantara, membangun perindustrian dan pertanian. Bahkan pada masa ini, para petani telah menggunakan sistem silang, irigasi, kanal, dan pupuk penyubur tanah.
Islam di Andalusia-pun tak kalah ilmiah. Bahkan saking cintanya terhadap ilmu pengetahuan, salah seorang khalifahnya, Al-Hakam II, dikenal sebagai khalifah yang memiliki perpustakaan pribadi dengan 400.000 koleksi buku. Ia mendorong penterjemahan dan pencarian buku-buku terbaik. Pada masa itu pula, Cordoba tak kalah maju dibandingkan dengan Baghdad. Kertas dan buku adalah salah satu kunci kemajuannya. Dari tradisi Baghdad dan Andalusia ini, lahir ilmuan-ilmuan besar yang nama mereka hari ini masih dianggap otoritatif seperti Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat, An-Nafis untuk ilmu kedokteran (sirkulasi darah), Ibnu Haitam yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Optik, si penemu obat cacar Ar-Razi, Al-Farabi filosof yang ahli musik, Al-Battani si ahli astronomi, Ibnu Batuta yang dipandang sebagai ahli ilmu bumi serta penjelajah dunia yang populer, Al-Khawarizmi yang dianggap sebagai matematikus penemu angka nol, dan Ibnu Sina yang wajahnya terpahat di gerbang masuk Universitas Paris Perancis. Ibnu Sina (Avissena) melahirkan buku Al-Qanuun (The Cannon) yang menjadi rujukan ilmu kedokteran dunia hampir 700 tahun lamanya karena tak tergantikan. Demikian juga dengan Ibnu Khaldun sang bapak Ilmu Sosial. Khusus Ibnu Khaldun, karena masterpiece-nya Mukaddimah begitu otoritatif dalam kajian ilmu sosial (bahkan hingga sekarang), tak salah kemudian, Adam Smith, "mbah" Kapitalisme dalam bukunya Nation of Wealth yang asli mencantumkan nama Ibnu Khaldun sebagai inspiratornya.
:: Rasanya cerita-cerita manis peradaban diatas, bisa ditulis menjadi panjang-terbentang. Tapi point yang bisa kita petik adalah, peradaban tersebut menjadi besar, karena pendukung-pendukung peradaban memiliki kecepatan belajar dari kesalahan dan mempelajari kesuksesan out-group untuk mengembangkan potensi diri mereka.
Ada diktum sederhana dalam sejarah, bila anda membaca sejarah peradaban-perdaban bangsa di dunia, anda akan temukan sebab kemajuan dan kehancuran sebuah peradaban. Kuncinya adalah belajar. Kecepatan belajar dari kesalahan dan mempelajari kesuksesan out-group adalah point dalam menentukan nasib sebuah bangsa - bak kata Ibnu Khaldun - akan memimpin, tertinggal atau terhapus dalam sejarah. Peradaban Mongol, misalnya, pernah sempat muncul dalam lembaran sejarah peradaban dunia, bahkan "menggetarkan". Tapi kemudian peradaban yang founding father- nya Jengis Khan ini, lenyap-terhapus dalam sejarah. Peradaban Indian dengan Aztek, Inca dan Maya itu, pernah berkilauan dalam lembaran sejarah peradaban ummat manusia. Tapi hari ini hanya tinggal nama. Bahkan ada pula peradaban canggih pada masanya yang terdengar oleh kita, tapi jejaknya hingga hari ini susah untuk ditemukan. Pada akhirnya, peradaban yang (dikatakan) canggih pada masanya tersebut hanyalah berakhir pada mitos. Inti dari semua itu adalah, kecepatan dan semangat belajar pendukung peradaban bersangkutan, menjadi hal penting dalam menjamin apakah peradaban tersebut akan terus brkembang atau kemudian, hanya jadi catatan manis lembaran sejarah. Peradaban Islam, Barat dan Jepang dianggap sebagai 3 peradaban dengan kemampuan dan kecepatan belajar yang amat tinggi. Peradaban Islam, misalnya, tidak hanya ada karena tuntunan semata dari Allah SWT. lewat Nabi dan kitab suci. Tapi lebih dari itu, peradaban ini mampu menjadi estafet, penyelamat dan filter dari peradaban-peradaban besar sebelumya seperti peradaban Romawi dan Yunani Klasik. Peradaban Barat-pun demikian juga adanya. Mereka tak hanya dianggap sebagai "pewaris sah" peradaban Romawi dan Yunani, tapi mereka juga dipandang sebagai peradaban yang menerima tongkat estafet kejayaan Islam yang (mulai) memudar. Sementara itu Peradaban Jepang, memang belum bisa disebut meneruskan estafet dari peradaban Barat. Tapi meskipun demikian, peradaban Jepang ini dianggap sebagai simbol semangat belajar yang luar biasa. Bahkan Jepang dianggap sebagai trigger bagi munculnya - dalam istilah John Naisbitt (1995) - the next civilization, Asia Timur.
Pada abad ke-7 M., ketika dunia sedang berada dalam bahasa Philip K. Hitti (1982) - Dark Ages - Abad-Abad Kegelapan (khususnya kegelapan terhadap apresiasi terhadap potensi intelektualisme dan humanisme), di semenanjung Arab muncul "harapan" dari seorang buta huruf tapi jenius, Muhammad SAW. Ia dilantik "langit" untuk memimpin perubahan dunia. Muhammad SAW. tidak hanya dianggap sukses dalam menyebarkan agama, ia juga memimpin sebuah peradaban, demikian kata Michael H. Hart (1981) dalam 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia. Sampai abad ke-16, menara peradaban Islam makin menjulang terang ke seantero dunia. Peradan ini bermula dari Mekkah dan Madinah. Muhammad SAW. memimpin dan merubah bangsa yang (pada awalnya) suka berperang menjadi bangsa yang tangguh dan smart. Ia memimpin otak-otak cemerlang bangsa Arab yang hanya butuh sedikit polesan dan lecutan motivasi untuk melejit. Orang-orang Arab ini tidak hanya duduk melingkari sang Nabi untuk mendengar tuturan kata-katanya. Mereka tak hanya merekamnya dengan sempurna di otak mereka (al-Qur'an dan Hadits), tapi juga mempraktekkan ilmu yang mereka dapatkan. Karena itu, dalam masa yang tak terlalu lama, nabi Muhammad SAW. telah menguasai jazirah Arab sebelum ia wafat. Nabi melihat masa depan peradaban Islam dari wajah para sahabat-sahabatnya. Para sahabat-sahabat ini telah dimotivasi oleh nabi Muhammad SAW. untuk mengajar-belajar dan terus mengajar-belajar. Bangsa Arab kemudian tak hanya betul-betul kuat dari olah fisik dan persenjataan, mereka juga dibekali motivasi penguasaan ilmu dan motivasi iman yang tinggi. Tak mengherankan apabila belum sampai setengah abad, mereka sudah berhadap-hadapan dengan "negara super power" kala itu, Romawi dan Persia. Benderang agama sekaligus semangat ilmu bak kecepatan cahaya, segera menjalar ke seluruh negeri yang ditaklukkan.
Empat khalifat pasca nabi Muhammad SAW. yang dikenal dengan istilah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) tidak hanya meneruskan keimanan (dalam hal ini : Islam sebagai din), tapi mereka juga belajar dan mengajarkan bagaimana mengelola negara yang teramat luas. Dinasti Umayyah kemudian melanjutkan kesuksesan Khulafaur Rasyidin ini dengan meletakkan pondasi pemerintahan yang kuat dan ilmu yang cemerlang. Pondasi tradisi ilmiah ini kemudian disempurnakan pada masa Dinasti Abbasiyah. Maka tak mengherankan apabila banyak lahir ilmuan-ilmuan sekaligus ulama-ulama pada masa-masa tersebut. Dinasti Abbasiyah menyulap Baghdad menjadi metropolis Asia, pada masanya. Sementera itu, Dinasti Umayyah juga menjadikan kota-kota di Spanyol seperti Andalusia, Cordoba dan Toledo serta Malaga menjadi "bintang gemerlap" di Eropa. Sejarawan Hendri S. Lucas mengatakan bahwa kekhalifahan Abbasiyah barangkali merupakan periode yang paling makmur dalam sejarah peradaban ummat manusia, bahkan hingga hari ini .... Ini kata Lucas, bukan kata saya. Baghdad bukan hanya menjadi centrum ilmu pengetahuan, tapi juga menjadi pusat ekonomi, penghubung pusat-pusat ekonomi lainnya. Baghdad bak pemilik silk road, Jalur Sutera. Kata Lucas, Baghdad-Bashrar-Iskandariyah Mesir seumpama New York-Tokyo-London pada aman sekarang. Peradaban ini mengembankan kertas yang mereka pelajari dari peradaban Cina, berdagang sampai ke Nusantara, membangun perindustrian dan pertanian. Bahkan pada masa ini, para petani telah menggunakan sistem silang, irigasi, kanal, dan pupuk penyubur tanah.
Islam di Andalusia-pun tak kalah ilmiah. Bahkan saking cintanya terhadap ilmu pengetahuan, salah seorang khalifahnya, Al-Hakam II, dikenal sebagai khalifah yang memiliki perpustakaan pribadi dengan 400.000 koleksi buku. Ia mendorong penterjemahan dan pencarian buku-buku terbaik. Pada masa itu pula, Cordoba tak kalah maju dibandingkan dengan Baghdad. Kertas dan buku adalah salah satu kunci kemajuannya. Dari tradisi Baghdad dan Andalusia ini, lahir ilmuan-ilmuan besar yang nama mereka hari ini masih dianggap otoritatif seperti Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat, An-Nafis untuk ilmu kedokteran (sirkulasi darah), Ibnu Haitam yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Optik, si penemu obat cacar Ar-Razi, Al-Farabi filosof yang ahli musik, Al-Battani si ahli astronomi, Ibnu Batuta yang dipandang sebagai ahli ilmu bumi serta penjelajah dunia yang populer, Al-Khawarizmi yang dianggap sebagai matematikus penemu angka nol, dan Ibnu Sina yang wajahnya terpahat di gerbang masuk Universitas Paris Perancis. Ibnu Sina (Avissena) melahirkan buku Al-Qanuun (The Cannon) yang menjadi rujukan ilmu kedokteran dunia hampir 700 tahun lamanya karena tak tergantikan. Demikian juga dengan Ibnu Khaldun sang bapak Ilmu Sosial. Khusus Ibnu Khaldun, karena masterpiece-nya Mukaddimah begitu otoritatif dalam kajian ilmu sosial (bahkan hingga sekarang), tak salah kemudian, Adam Smith, "mbah" Kapitalisme dalam bukunya Nation of Wealth yang asli mencantumkan nama Ibnu Khaldun sebagai inspiratornya.
:: Rasanya cerita-cerita manis peradaban diatas, bisa ditulis menjadi panjang-terbentang. Tapi point yang bisa kita petik adalah, peradaban tersebut menjadi besar, karena pendukung-pendukung peradaban memiliki kecepatan belajar dari kesalahan dan mempelajari kesuksesan out-group untuk mengembangkan potensi diri mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar